Halloween party ideas 2015
Tampilkan postingan dengan label Tazkiyatun Nafs. Tampilkan semua postingan


Syaikh 'Abdul 'Aziz Ath-Tharifi berkata,

"Di antara alamat terbesar taufik adalah Allah menjadikan seseorang sebagai pemberi petunjuk pada kebaikan."

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

 إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ

"Sesunggunya di antara manusia ada yang menjadi kunci-kunci pembuka kebaikan dan penutup kejahatan.

Dan di antara manusia itu juga ada yang menjadi kunci-kunci pembuka kejahatan dan penutup kebaikan.

Maka beruntunglah bagi orang yang Allah jadikan dirinya sebagai kunci-kunci pembuka kebaikan, dan celakalah bagi orang yang Allah jadikan dirinya sebagai kunci-kunci pembuka kejahatan," [HR Ibnu Majah].
===============
*raih pahala dengan berbagi konten bermanfaat
===============
Berlangganan tausiyah dari Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter-Sukoharjo:

Instal aplikasi Telegram via Playstore, klik dan join channel kami di:
telegram.me/pptqattaqwa

WA: +6285647172180
===============

~~

Abu Darda Radhiyallahuanhu berkata:

Yang membuatku tertawa ada tiga, dan yang membuatku menangis juga ada tiga.

3⃣Yang membuatku tertawa adalah:
1. Orang yang berangan-angan dengan dunia, padahal maut di depan matanya,

2. Orang yang lalai, padahal ia tidak pernah dilalaikan (selalu diawasi dan dicatat seluruh perbuatannya),

3. Orang yang tertawa terbahak-bahak padahal ia tidak tahu apakah Rabb-nya murka atau senang kepadanya.

3⃣Yang membuatku menangis adalah:
1. Kedahsyatan yang akan dilalui nanti di akhirat setelah kematian,

2. Terputusnya amal

3. Kedudukanku di tangan Allah, di mana aku tidak tahu apakah Allah menyuruhku masuk surga atau neraka.

📚Sumber:
[Al-Bayân wat Tabyiin, III/151].
===============
📲Berlangganan tausiyah dari Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter-Sukoharjo:

Whatsapp: +6285647172180
Telegram: telegram.me/pptqattaqwa
Facebook: facebook.com/pptqattaqwa
Website: www.el-taqwa.com
===============
💰Donasi untuk Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo:
(BRI): 6913-01-018205-53-4
a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa
Konfirmasi: +6285647172180


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَمَنْ يَّعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمٰنِ نُقَيِّضْ لَهٗ شَيْطٰنًا فَهُوَ لَهٗ قَرِيْنٌ

"Dan siapa saja yang berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur'an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya," [QS. Az-Zukhruf: 36].

Ketika menjelaskan ayat di atas, Syeikh Mu'min Al-Haddad mengutip ucapan Imam Asy-Syafii Rahimahullah:

"Waktu itu laksana pedang. Jika mampu, engkau harus memotongnya (memanfaatkannya untuk kebaikan -red). Jika tidak, justru waktu yang akan memotong kalian (menghabiskannya untuk kebatilan -red).

"Pun demikian dengan nafsu. Jika engkau tidak memanfaatkannya dengan benar, ia akan menyeret kalian pada kebatilan."

Sumber:
Al-Haddad, Mu'min.2009.Jangan Shalat Bersama Setan. Solo: Aqwam. Hal.:156.
===============
Website: http://www.el-taqwa.com
Whatsapp: +6285647172180
Facebook: facebook.com/pptqattaqwa
Telegram: telegram.me/pptqattaqwa
===============
Donasi untuk Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo:
(BRI): 6913-01-018205-53-4
a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa
Konfirmasi: +6285647172180


Imam Bukhari di dalam Kitab Shahih Bukhari meriwayatkan dari Wahab bin Munabbih yang berkata, “Bukankah La Ilaa Ha Illalah adalah kunci surga?” Rasulullah bersabda, “Iya. Akan tetapi, bukankah kunci-kunci itu harus memiliki gerigi? Jika engkau membawa kunci yang tidak memiliki gerigi, niscaya engkau tidak akan bisa membukanya.”

Sedangkan dari Muadz bin Jabal ia berkata, Rasulullah bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepadamu tentang pintu-pintu surga?” Aku menjawab, “Iya.” Rasulullah bersabda, “La khaul awa quwwata illa billah (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali Allah),” (HR Ahmad).

Sungguh, Allah menjadikan setiap permintaan itu ada kuncinya;
- Kunci shalat adalah suci
- Kunci ibadah haji adalah ihram
- Kunci kebaikan adalah jujur
- Kunci surga adalah tauhid
- Kunci ilmu adalah bertanya dan menyimak dengan baik
- Kunci pertolongan adalah sabar
- Kunci bertambahnya rejeki adalah sukur
- Kunci diijabahinya permintaan adalah doa
- Kunci kemuliaan adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya
- Kunci semua kebaikan adalah mencintai Alah dan mendahulukan kampung akhirat
- Kunci kejelekan adalah cinta dunia dan panjang angan-angan.

Sumber:
Khadil Arwah, karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah


Alkisah ada seorang ulama yang selalu shalat di baris pertama. Akan tetapi pada suatu hari, ia datang terlambat dan shalat di baris kedua. Ia merasa malu bila orang-orang melihatnya shalat di baris kedua.

Maka dari sini bisa disimpulkan bahwa kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di baris pertama lebih disebabkan karena pandangan manusia kepada dirinya.

Lihat, perbuatan seperti ini sangatlah samar. Jarang sekali amalan-amalan seperti itu terlepas dari penyakit ini, dan sedikit sekali orang yang memperhatikan masalah ini. Hanya orang-orang yang diberi taufiq oleh Allah yang diberi kemudahan untuk beramal secara ikhlas.

Allah berfirman, “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya,” (QS Al-Kahfi: 104).

Di dalam Al-Ihya Ulumuddin disebutkan—berdasarkan dalil-dalil dan realita, bahwa kebahagiaan tidak akan bisa dicapai kecuali dengan ilmu dan ibadah, karena amal yang tidak diiringi dengan niat hanyalah sia-sia, sedangkah niat yang tidak dibarengi dengan ikhlas adalah riya.

Riya tidak jauh berbeda dengan kemunafikan dan kedurhakaan. Ikhlas yang tidak dibarengi dengan kejujuran dan bukti laksana debu yang berterbangan.

Allah berfirman, “Dan Kami hadirkan semua amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan,” (QS Al-Furqan: 23). Wallahu’alam bish shawwab.

Sumber:
Farid, Ahmad. 2008. Olahraga Hati. Solo: Aqwam. Hal.: 25-26.

====================
Zakat, infak, atau sedekah Anda untuk Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo bisa melalui transfer ke No. Rek (BRI): 6913-01-018205-53-4 a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa

Berlangganan tausiyah dari Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo . Ketik "GABUNG" kirim via Whatsapp ke: +6285647172180

Raih pahala dengan berbagi konten bermanfaat



قال بشر بن الحارث : لا تجد حلاوة العبادة حتى تجعل بينك وبين الشهوات حائطا من حديد

Berkata Basyar bin Al Harits, "Tidaklah engkau dapati manisnya ibadah hingga engkau menjadikan antara dirimu dan syahwatmu penghalang berupa dinding dari besi."

قال يحيى بن معاذ: سقم الجسد بالٱوجاع وسقم القلوب بالذنوب فكما لا يجد الجسد لذة الطعام عند سقمه فكذلك القلب لا يجد حلاوة العبادة مع الذنوب

Berkata Yahya bin Muadz, "Sakitnya jasad karena luka, sakitnya hati karena dosa. Sebagaimana jasad tidak dapat merasakan nikmatnya makanan ketika sakit, pun demikian dengan hati. Ia tidak akan merasakan manisnya ibadah dengan berlumur dosa."

Terjemah:
Fatwan AM*
Staf pengajar Aqidah di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah.
====================
Zakat, infak, atau sedekah Anda untuk Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo bisa melalui transfer ke No. Rek (BRI): 6913-01-018205-53-4 a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa

Berlangganan tausiyah dari Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo . Ketik "GABUNG" kirim via Whatsapp ke: +6285647172180

Raih pahala dengan berbagi konten bermanfaat


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

لِّـكَيْلَا تَاْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَاۤ اٰتٰٮكُمْ‌ؕ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرِۙ

"(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri," [QS. Al-Hadid: 23].

Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, inilah dasar hukum dari apa yang disebut dengan zuhud. Lantas, beliau mengutip komentar para ulama dari kalangan salaf tentang zuhud berdasar ayat tersebut.

Ibnu Ja'laal mendefinisikan zuhud sebagai, "Menyadari bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, yang akan ditinggalkan oleh kita semua. Tidak seharusnya dunia terpaut di hati seseorang, dan tidak seharusnya pula mencurahkan seluruh perhatiannya pada dunia. Sebaliknya, sudah seharusnya ia berpaling dari dunia ini, karena zuhud adalah menahan diri dari duniawiah, tanpa mengiringinya dengan riya' (ingin disebut ahli zuhud)."

Ibnu Junayd menyebut zuhud sebagai, "Terbebasnya hati dari perasaan selalu menginginkan sesuatu (yang bersifat duniawi)."

Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Zuhud adalah tidak memiliki begitu banyak angan-angan (cita-cita duniawi). Hendaknya seseorang itu tidak merasa senang dengan apa yang dimilikinya, juga tidak merasa sedih jika dunia berpaling dari dirinya."

Beliau--Imam Ahmad--pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki 1000 dirham (koin perak) dan apakah ia layak disebut sebagai orang yang zuhud. Maka beliau menjawab:

"Bisa! Tetapi dengan satu syarat, hendaknya ia tidak merasa senang jika kekayaannya bertambah, serta tidak merasa sedih jika hartanya berkurang." Wallahu'alam bish shawwab.

Sumber:
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. 2007. "Az-Zuhd - Renouncing worldly pleasures in order to get nearness to Allah."

🌾🌾🌾🌾🌾
______________
👍Zakat, infak, atau sedekah Anda untuk PPTQ At-Taqwa Sukoharjo bisa melalui transfer ke No. Rek (BRI): 6913-01-018205-53-4 a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa

📩Berlangganan tausiyah dari PPTQ At-Taqwa Nguter. Ketik "GABUNG" kirim via Whatsapp ke: +6285647172180

🔊Raih pahala dengan berbagi konten bermanfaat


Seorang hamba diperintahkan untuk menurnikan niat, tujuan, tendensi segala amalnya hanya tertuju kepada Allah semata. Inilah esensi tauhid yang lurus, yang terbebas dari segala bentuk kesyirikan, penyekutuan atau penyetaraan Allah dengan ciptaanNya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus," [QS. Al-Bayyinah: 5].

Berikut adalah kumpulan nasihat generasi terbaik umat ini, generasi pendahulu yang saleh, tentang makna ikhlas di dalam niat.

Fudhail bin Iyadh berkata:

"Meninggalkan suatu amal karena manusia adalah riya', dan beramal karena manusia adalah syirik, sedangkan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya," [dalam Al-Kabair].

Abdullah bin Mubarrak Rahimahullah berkata:

"Betapa banyak amalab kecil menjadi besar pahalanya karena niat, dan berapa banyak pula amalan besar menjadi kecil karena niat," [dalam Jamiul Ulum Wal Hikam].

Rabi' bin Khutsain Rahimahullah berkata:

"Segala sesuatu yang dilakukan tidak untuk mencari keridhaan Allah niscaya akan sia-sia," [dalam Aifatush Shafwah].

Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata:

"Amal yang dilakukan tanpa keikhlasan dan meneladani Rasulullah bagaikan seorang musafir yang memenuhi kantongnya dengan pasir. Pasir itu memberatkan dirinya dan tidak memberi manfaat apa-apa bagi dirinya," [dalam Al-Fawāid].

Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata:

"Orang yang ikhlas adalah siapa saja yang menyembunyikan segala kebaikannya seperti ia menyembunyikan segala kesalahannya," [dalam Tazkiyatun Nafs].

Mutharif Rahimahullah berkata:

"Kebaikan hati bergantung kepada kebaikan amal, dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat," [dalam Az-Zuhd].

Malik bin Dinar Rahimahullah berkata:

"Niat seorang mukmin lebih cepat sampai daripada amalnya," [dalam Az-Zuhd].

Uwais Al-Qarni Rahimahullah berkata:

"Kamu tidak akan pernah mampu mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati hati dan niat. Adakalanya hati sudah bersamamu, tetapi niat telah lebih dulu berpaling jauh. Adakalanya hatimu berpaling darimu, tetapi niat datang menghampiri. Jangan melihat pada kecilnya dosa, tetapi lihatlah kepada agungnya Zat yang kamu maksiati," [dalam Sifhatush Shafwah].

Sumber:
Jawahirul Mukhtar, disusun oleh Tim Kitabah Dhiyaul Ilmi, terbitan Pustaka Arafah.


Diantara keadaan orang yang sedang sakaratul maut ialah ada yang dikatakan pada mereka, "Laa ilaha ilallah," tetapi dirinya malah menjawab, "Hah..hah aku tidak mampu mengatakannya."

Abdul Aziz bin Abi Dawud berkisah di dalam Jamiul Ulum Wal Hikam:

Aku pernah menghadiri seseorang yang sedang ditalqin tatkala sakaratul maut dengan, 'Laa ilaha ilallah'. Maka ucapan terakhirnya justru, 'Aku kufur dengan apa yang engkau ucapkan.' Lalu dia mati dengan ucapan tersebut.

Kemudian Ibnu Abi Dawud bertanya tentang keadaan orang tersebut, maka dikabarkan padanya orang tersebut adalah penimbun minuman keras.

Setelah itu Ibnu Abi Dawud berkata, "Takutlah kalian dari berbuat dosa. Sungguh, itulah yang menyebabkan seseorang meninggal dalam keadaan su'ul khatimah."

Ada lagi yang ditalqin supaya mengatakan: 'Laa ilaha ilallah'. Akan tetapi, yang terdengar dari lisannya ialah alunan lagu yang ia nyanyikan sampai dirinya dicabut nyawanya.

Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang shahih:

"Setiap hamba akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan ketika dirinya meninggal," [HR Muslim: 2878].

Di dalam kitabnya Al-Bidayah wa Nihayah, Al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan:

"Dosa dan perbuatan maksiat serta mengikuti hawa nafsu akan menelantarkan pelakunya pada saat-saat menjelang kematiannya, ditambah dengan godaan setan yang menyesatkan. Dengan demikian, terkumpul bagi para pendosa dua hal yang menelantarkannya di kala sakaratul maut karena lemahnya iman yang menjadikannya su'ul khatimah."

Sumber:
Asy-Syaqawi, Abdullah Amin. 2013. Detik-Detik Kematian. Riyadh: Islamhouse.



Dari  Maimun  bin  Mihran,  ia  berkata:  ‘Seorang  laki  laki datang  kepada  Salman  al-Farisi  radhiyallalhu  ‘anhu  seraya  berkata: ‘Berilah  nasehat  kepadaku.

Salman  radhiyallalhu ‘anhu menjawab: ‘Janganlah  engkau  berbicara.’

Orang tadi lantas menjawab:  ‘Orang  yang  hidup  di tengah  masyarakat  tidak  akan mampu  untuk  tidak  berbicara.’

Salman radhiyallalhu  ‘anhu pun membalas, 'Jika  engkau  berbicara,  berbicaralah dengan  benar  atau diam.’

Pria itu tadi lantas  berkata:  ‘Tambahlah  nasehatmu.’

Salman  radhiyallalhu ‘anhu) menjawab, ‘Janganlah engkau marah.’

Pria itu lantas berkata, ‘Sesungguhnya  aku  tidak  mampu  untuk menahan diri dari sesuatu yang berada di sekitarku’.

Salman radhiyallahu'anhu pun menjelaskan: ‘Jika engkau  marah  maka  tahanlah  lisan  dan  tanganmu.’

Pria itu lantas meminta tambahan nasihat, ‘Tambahlah  nasehatmu.’

Salman  radhiyallalhu ‘anhu berkata: ‘Janganlah engkau bergaul dengan manusia.’

Pria itu keheranan, ‘Orang yang hidup di tengah masyarakat  tidak akan mampu untuk menghidar  dari  hidup bermasyarakat.’

Salman radhiyallalhu  ‘anhu pun berkata:  ‘Jika  engkau  tidak  mampu, maka jujurlah  dalam  bicara  dan tunaikan amanah.’

Sumber:
Aina Nahnu Min Akhlak Salaf, karya Abdul Aziz Nashir Al-Julail & Bahaudin Fatih Aqil.


Sungguh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mendengar dan memperhatikan perkataan dan pembicaraan orang yang senang menyebarkan namimah.

Hal ini beliau lakukan karena beliau takut terpengaruh dengan perkataan tersebut hingga menimbulkan kemarahan pada diri beliau terhadap shahabatnya sendiri.

Maka dari itu, beliau senantiasa berpaling dari perkataan orang yang berkata buruk tersebut dan memutuskan hubungan silaturahmi dengan mereka.

Menyebarkan namimah akan mengeruhkan kebeningan hubungan jamaah dan mencerai-beraikan rasa ikatan cinta dan kasih sayang  serta ukuhuwah islamiyah yang telah diperintahkan oleh Allah untuk menjaganya:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا‌ وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَآءً فَاَ لَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖۤ اِخْوَانًا ۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ‌ؕ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."
[QS. Ali 'Imran: Ayat 103]

Seorang shahabat pernah mencela shahabatnya yang lain namun Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mendengarnya dan tidak memperhatikan gosip yang disebarkannya.

Beliau justru memberikannya nasehat dan mengarahkannya  kepada etika yang agung.

Hal ini persis seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud,

"Janganlah salah seorang memberitahukan kepadaku tentang keburukan shahabatku, sebab aku sangat suka jika aku keluar menemui kalian dengan "salamatush shadr" (hati yang bersih)."

Maksudnya adalah Rasul tidak memiliki rasa dengki, hasad, iri, marah, murka dan benci kepada salah seorang shahabat beliau.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berupaya agar hatinya diliputi oleh rasa cinta, kasih sayang dan solidaritas.

Itulah bentuk kasih sayang yang telah dianugrahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih kepada Nabi Muhammad. Allah Ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ‌ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ‌ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِ‌ۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."
[QS. Ali 'Imran: Ayat 159]

Marilah kita bersama mengamalkan kebenaran yang nyata ini, mengamalkan petunjuk serta arahan yang agung ini, yang mendorong kita untuk membersihkan diri dari sifat gemar menyebarkan isu, namimah, menggunjing orang lain, dan dengki. Wallahu'alam bish shawwab.

Sumber:
Kitab سلامة القلب karya Muhammad bin Abdullah bin Mu’aidzir.



Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِم

"Tiga hal yang tidak menyebabkan dengki di hati seorang mukmin; 1) mengikhlaskan amal untuk Allah, 2) menasihati para pemimpin kaum muslimin, 3) konsisten dengan jamaah mereka," (HR Tirmizi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ahmad).

Inilah tiga perkara yang bisa memperbaiki hati. Seorang hamba yang melakukannya, hatinya akan bersih dari sifat khianat, dengki, dan keburukan.

Dengan keikhlasan, seorang hamba akan dapat melepaskan diri dari belitan setan. Hal ini berdasarkan firman Allah:

اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ  الْمُخْلَصِيْنَ
"kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka," [QS. Al-Hijr: 40].

Seorang saleh pernah berkata kepada jiwanya, "Ikhlaslah niscaya kamu akan terlepas dari setan!"

Setiap bagian dunia sedikit atau banyak pasti digemari oleh nafsu, dan digandrungi oleh hati. Bila ia telah merasuk ke dalam amal perbuatan, ia bisa mengeruhkan sesuatu yang bersih dan melenyapkan keikhlasan. Wallahu'alam bish shawwab.

Sumber:
Dr. Ahmad Farid. البحر الرائق في الزهد و الرقائق.


Oleh Dr Fadl Ilahi
Beberapa nash (teks) Al-Qur'an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab-sebab diturunkannya rejeki dengan karunia Allah Shubhanahu wa ta’alla Ta'ala. Berikut adalah beberapa nash yang dimaksud:

1. QURAN SURAT NUH: 10-12

قال الله تعالى: ﴿فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا ١٠ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارٗا ١١ وَيُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَٰلٖ وَبَنِينَ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّٰتٖ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَٰرٗا ١٢﴾ [نوح: 10- 12]

"Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu', sesunguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai," [Nuh/71 : 10-12].

Ayat-ayat di atas menerangkan bahwa dengan Istighfar seseorang akan mendapatkan hal-hal berikut:

a. Ampunan Allah Shubhanahu wa ta’alla terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan firman -Nya:
إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
"Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun."

b. Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata (مِدْرَارًا) adalah (hujan) yang turun dengan deras.

c. Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memperbanyak harta dan anak-anak.

Dalam menafsirkan ayat (وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ ) Atha' berkata: Niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian" .

d. Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menjadikan untuknya kebun-kebun.

e. Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menjadikan untuknya sungai-sungai.

Imam Al-Qurthubi berkata, "Dalam ayat ini, juga yang disebutkan dalam (surat Hud ayat 3 yang artinya: "Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhamnu dan bertaubat kepada -Nya) adalah dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah satu sarana meminta diturunkannya rizki dan hujan."

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, "Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, meminta ampun kepada -Nya dan kalian senantiasa menta'ati -Nya, niscaya Dia akan: 1) membanyakkan rejeki kalian, menurunkan air hujan dan keberkahan dari langit, 2) mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, 3) menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, 4) melimpahkan air susu perahan untuk kalian, 4) memperbanyak harta dan anak-anak untuk kalian, 5) menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk kalian)."

Demikianlah, dan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah Ta'ala.

Mutharif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi bahwasanya Umar Radhiyallahu 'anhu keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla) lalu beliau pulang.

Maka seseorang bertanya kepadanya, "Aku tidak mendengar Anda memohon hujan." Maka Umar menjawab, "Aku memohon diturunkannya hujan dengan majadih langit yang dengannya diharapkan bakal turun hujan. Lalu beliau membaca ayat.

قال الله تعالى: ﴿فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا ١٠ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارٗا ١١﴾ [نوح: 10، 11]

"Mohonlah ampun kepada Tuhamu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat," [Nuh/71:10-11].

Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya keturunan dan kekeringan kebun-kebun.

Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bahwasanya ia berkata ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, "Ber-istighfar-lah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla!"

Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, "Ber-istighfar-lah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla!"

Yang lain lagi berkata kepadanya, "Do'akanlah (aku) kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, agar Ia memberiku anak."

Maka beliau mengatakan kepadanya, "Ber-istighfar-lah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla!"

Yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, "Ber-istighfar-lah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla!"

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ar-Rabi' bin Shabih berkata kepadanya, "Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk ber-istighfar."

Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, "Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah Shubhanahu wa ta’alla telah berfirman dalam surat Nuh.

قال الله تعالى: ﴿ فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا ١٠ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارٗا ١١ وَيُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَٰلٖ وَبَنِينَ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّٰتٖ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَٰرٗا ١٢﴾ [نوح: 10- 12]

"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai," [Nuh /71: 10-12].

Allahu Akbar! Betapa agung, besar dan banyak buah dari istighfar! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba -Mu yang pandai ber-istighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin, wahai Yang Mahah hidup dan terus menerus mengurus mahluk -Nya.

2. QURAN SURAT HUUD: 3 & 52

قال الله تعالى: ﴿وَيَٰقَوۡمِ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارٗا وَيَزِدۡكُمۡ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمۡ وَلَا تَتَوَلَّوۡاْ مُجۡرِمِينَ ٥٢﴾ [هود:11]
"Dan (Hud berkata), Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada -Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa," [Hud /11: 52].

Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan, "Kemudian Hud Alaihis salam memerintahkan kaumnya untuk ber-istighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman, "Niscaya -Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu."

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadan-keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengabulkan do'a. Amin, wahai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan. Ayat lain adalah firman Allah Shubhanahu wa ta’alla.

قال الله تعالى: ﴿وَأَنِ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِ يُمَتِّعۡكُم مَّتَٰعًا حَسَنًا إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى وَيُؤۡتِ كُلَّ ذِي فَضۡلٖ فَضۡلَهُۥۖ وَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنِّيٓ أَخَافُ عَلَيۡكُمۡ عَذَابَ يَوۡمٖ كَبِيرٍ ٣﴾ [هود:3]

"Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada   -Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan -Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat," [Hud/11:3].

Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji-janji dari Allah Shubhanahu wa ta’alla Yang Maha kuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang ber-istighfar dan bertaubat. Dan maksud dari firman -Nya.
"Niscaya -Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhuma adalah. 'Ia akan menganugrahi rizki dan kelapangan kepada kalian."

Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, "Inilah buah istighfar dan taubat. Yakni Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memberikan kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukan -Nya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian."

Dan janji Tuhan Yang Maha Mulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, "Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah Shubhanahu wa ta’alla menganugrahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentukan. Allah Shubhanahu wa ta’alla memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan."

3. HADIST RIWAYAT IMAM AHMAD, ABU DAUD, AN-NASAI, IBNU MAJAH, DAN AL-HAKIM
Dalil Lain Bahwa Istighfar Dan Taubat Adalah Diantara Kunci-Kunci Rizki yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas Radhiyallah 'anhuma ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ أَكْثرَ الْاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجَا، وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَ جًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْشُ لاَ يَحْتَسِبُ » [17]
"Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memberinya rejeki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka," (Sanad hadits tersebut dishahihkan oleh Imam Al-Hakim (Lihat, Al-Mustadrak, 4/262). Dan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata : "Sanad hadits ini shahih" (Hamisy Al-Musnad, 4/55).

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara berdasarkan wahyu, Beliau mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla Yang Maha Memberi rizki, Yang Memiliki kekuatan akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah terbersit dalam hatinya.

Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hendaklah dia bersegera untuk memperbanyak istighfar (memohon ampun), baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada!, sekali lagi hendaknya waspada! dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab ia adalah pekerjaan para pendusta.

[Disalin dari kitab Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, Penulis Dr. Fadhl Ilahi, Edisi Indonesia Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. Penerbit Darul Haq- Jakarta]


Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan.

أَسْتَغْفِرُ اللّهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ

"Aku mohon ampun kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan bertaubat kepada-Nya".

Tetapi kalimat-kalimat di atas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang pendusta.

Para ulama -semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada mereka- telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.

Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan:

"Dalam istilah syara', taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna," (Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari asal kata " tauba" hal. 76).

Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan:

"Para ulama berkata, 'Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah Shubhanahu wa ta’alla, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga.

Pertama : hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut.

Kedua: ia harus menyesali perbuatan maksiat nya.

Ketiga: ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi.

Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Jika taubatnya itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan ditambah satu lagi, "Hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta ma'af kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf," (Riyadhus Shalihin, hal. 41-42).

Sumber:
الاستغفار والتوبة karya فضل إلهي ظاهر.


Oleh Syeikh Ahmad Farid
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًۭا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,” (QS Al-Mulk: 2).

Fudhail bin Iyadh berkata, “Maksudnya adalah yang paling ikhlas dan benar amalnya.” Orang lalu bertanya kepadanya, “Wahai Abu Ali (nama lain Fudhail bin Iyadh), amal apa yang paling ikhlas dan benar?” Ia pun menjawab, “Amal yang ikhlas tetapi tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Pun sebaliknya, jika benar tetapi tidak ikhlas, ia juga tidak akan diterima, sampai amalan itu hanya dilakukan dengan ikhlas dna benar. Amal yang ikhlas adalah amalan yang dikerjakan untuk Allah semata, sedangkan benar adalah amal yang sesuai dengan sunnah.”

Fudhail bin Iyadh pun membaca firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya,” (QS Al-Kahfi: 110).

Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًۭا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌۭ

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan,” (QS An-NisaL 125).

Menyerahkan diri artinya menyerahkan tujuan dan amal perbuatan kepada Allah. Maksud amal kebaikan di dalam ayat tersebut adalah mengikuti Rasul Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan sunnahnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman:

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍۢ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءًۭ مَّنثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan,” (QS Al-Furqan: 23).

Yaitu amal-amal yang tidak sesuai dengan sunnah atau amal-amal yang dipersembahkan kepada selain Allah. Sebagian ulama dari kalangan salaf mengatakan, “Sekecil apa pun perbuatan akan dipaparkan dua catatan, yaitu untuk apa amal tersebut dan bagaimana cara pelaksanaannya. Maksudnya, untuk apa kamu melakukannya dan bagaimana cara pelaksanaannya.”

Pertanyaan pertama berkenaan dengan alasan pelaksanaan dan motivasinya. Apakah ia mengharapkan dunia, seperti ingin dipuji, takut dicerta orang, menarik simpati yang disegerakan, atau untuk menolak disegerakannya hal-hal yang ia benci? Ataukah karena wujud penghambaan, mengharap kasih sayang, mendekatkan diri, dan memohon wasilah kepada Allah?

Inti dari pertanyaan ini adalah, apakah amal perbuatan yang kita kerjakan ini untuk Rabb kita semata, ataukah demi memeroleh bagian kita di dunia dan memenuhi hawa nafsu kita sendiri?

Pertanyaan kedua berkenaan dengan ketaatan kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam menjalankan penghambaan tersebut. Artinya, apakah amal tersebut termasuk ke dalam amalan yang disyariatkan Allah kepada kita melalui lisan Rasulullah atau tidak.

Pertanyaan pertama adalah tentang ikhlas, dan pertanyaan kedua adalah tentang ketundukan kepada sunnah, karena Allah tidak akan menerima amalan tanpa disertai keduanya.


Cara untuk lulus dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan ikhlas, dan cara untuk lulus dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, serta merealisasikannya di dalam perbuatan.


Oleh Syeikh Ahmad Farid
Berdasarkan sifatnya, hati dibagi menjadi tiga macam: hati yang sehat, hati yang mati, dan hati yang sakit.

1. Hati yang Sehat
Orang-orang yang akan selamat pada hari kiamat, ialah orang-orang yang memiliki hati yang sehat.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

| إِلَّا مَنْ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلْبٍۢ سَلِيمٍۢ | يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌۭ وَلَا بَنُونَ

“(Yaitu) pada hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat,” (QS Asy-Syu’ara: 88-89).

Kata As-Saliim sama dengan As-Saalim, yang menjadikan As-Salamah (keselamatan) sebagai sifat yang permanen baginya. Misalnya, Al-‘Alim (Yang Mengetahui) dan Al-Qadir (Yang Berkuasa). Ia merupakan lawan kata Al-Maridh (yang sakit), As-Sakim (yang terjangkit penyakit), dan Al-‘Alil (yang terkena penyakit).

Hati yang sehat ialah hati yang selamat dari setiap syahwat yang kontradiktif dengan perintah dan larangan Allah, serta dari setiap syubhat (kesamaran) yang bertentangan dengan firmanNya.

Karena itu, ia selamat dari penghambaan kepada selainNya dan dari ketetapan selain RasulNya. Penghambaannya murni hanya untuk Allah atas dasar keinginan, cinta, pasrah, penyerahan diri, perendahan diri, takut, mengharap rahmat Allah, dan takut pada siksaNya.

Selain itu, amal perbuatannya ikhlas karena Allah. Jika ia mencintai, cintanya hanya karena Allah. Bila ia membenci, bencinya karena Allah. Bila ia memberi, memberinya karena Allah, sedangkan bila ia tidak memberi, hal itu juga karena Allah.

Tak cukup sampai di sini, ia juga tidak pernah tunduk dan berhukum kepada setiap orang yang memusuhi RasulNya. Hatinya terikat kuat untuk mengikuti Allah semata, dan tidak mengikuti seorang pun baik dalam perkataan atau perbuatan.

2. Hati yang Mati
Hati yang mati ialah hati yang di dalamnya tiada kehidupan. Ia tidak mengetahui Rabbnya, sehingga tidak menyembahNya sesuai perintah, serta tidak mencintai apa yang dicintai dan apa yang diridhaiNya. Bahkan, ia berjalan bersama syahwat dan kesenangan-kesenangannya, meski pun mengandung amarah dan murka dari Rabbnya. Selama merasa senang dengan syahwatnya, ia tidak peduli apakah Rabbnya ridha atau murka.

Ia beribadah kepada selain Allah karena cinta, takut, mengharap, ridha, marah, mengagungkan, dan merasa rendah. Bila cinta, cintanya karena hawa nafsunya. Bila marah, marahnya karena nafsunya. Bila tidak memberi, hal itu karena nafsunya. Sedangkan bila memberi, juga karena nafsunya.

Intinya, nafsunya lebih berpengaruh baginya daripada ridha Rabbnya. Pemimpinnya adalah nafsu, pengendalinya adalah syahwat, sopirnya adalah kebodohan, dan kendaraannya adalah lalai. Tujuan duniawi membuatnya tenggelam, sedangkan nafsu dan cinta dunia membuatnya mabuk kepalang.

Ia menyeru kepada perintah Allah dan negeri akhirat dari tempat yang jauh. Ia tidak memenuhi petuah orang yang memberi nasihat dan mengikuti setiap setan yang durhaka. Dunia membuatnya marah dan ridha, hawa nafsu membuatnya tuli dan buta, berkumpul dengan pemilik hati ini ialah penyakit, bergaul dengannya adalah racun, dan duduk-duduk bersamanya adalah kebinasaan.

3. Hati yang Sakit
Hati yang sakit ialah hati yang hidup, tetapi terjangkit penyakit. Terkadang hatinya condong kepada kebaikan, namun terkadang berat kepada kemaksiatan. Semua itu terjadi ketika ia mampu mengalahkan salah satu dari keduanya.

Di dalam hati tersebut ada cinta kepada Allah, iman kepadaNya, ikhlas untukNya, tawakkal kepadaNya, dan itulah bahan yang menyebabkannya hidup. Namun, di dalamnya ada pula cinta dan pengutamaan terhadap syahwat, serta ia memiliki hasrat kuat untuk meraihnya.

Ia sering kali iri, ujub (kagum pada diri sendiri), sombong, suka membuat kerusakan di muka bumi, dan suka menjadi pemimpin. Itulah bahan yang menyebabkan hatinya rusak dan hancur.

Ia diuji dua penyeru. Pertama, penyeru yang mengajaknya kepada Allah, RasulNya, dan kehidupan akhirat. Kedua, penyeru yang mengajaknya kepada kehidupan dunia, dalam hal ini, ia hanya memenuhi ajakan tetangga yang paling dekat di antara keduanya.


Hati yang pertama hidup dan tenang, hati yang kedua kering dan mati, sementara hati yang ketiga sakit. Ada kalanya ia lebih dekat pada keselamatan, namun ada kalanya pula lebih dekat kepada kehancuran. 


Taubat adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah, meninggalkan jalan orang-orang yang dimurkai, dan meninggalkan jalan orang-orang yang telah tersesat.

Jika dosa yang dilakukan adalah hak Allah, taubat memiliki tiga syarat; 1) Penyesalan, 2) Berhenti dari dosa, dan 3) Azzam (tekad) untuk tidak mengulanginya.

Pertama, taubat tak akan pernah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa. Orang yang tidak menyesal atas keburukan yg ia lakukan berarti ridha dan menikmatinya.

Kedua, tentang berhenti dari kemaksiatan, rasanya mustahil taubat itu hadir di saat seseorang melakukan suatu dosa.

Ketiga, seseorang yang bertaubat hendaknya ber-azzam (tekad) untuk tidak mengulangi perbuatan dosa. Azzam ini harus benar-benar dibangun di atas keikhlasan dan keseriusan.

Beberapa ulama menambahkan sebuah syarat, tidak mengulangi perbuatan dosa. Ada yg berkata, "Kapan saja seseorang mengulangi perbuatan dosanya, jelaslah bahwa taubatnya tidak benar. "

Adapun jika suatu dosa berkenaan dengan hak seorang anak Adam, maka orang yang bertaubat harus memperbaiki apa yang telah dirusaknya atau meminta keridhaan dari orang yang telah dizaliminya.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Sesiapa yang pernah menzalimi saudaranya dalam harta dan kehormatan, hendaklah ia meminta keridhaannya, sebelum dinar dan dirham tak lagi bermanfaat selain kebaikan dan keburukan," (HR Al-Bukhari).

Dosa di atas mengandung dua hak; hak Allah dan hak manusia. Taubatnya adalah meminta keridhaan orang yg dizalimi karena itu haknya dan menyesal di hadapan Allah karena itu hakNya.

Sumber: Tazkiyatun Nafs; Ibnu Rajab al-Hambali, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Imam Al-Ghazali.
Diberdayakan oleh Blogger.