Halloween party ideas 2015
Tampilkan postingan dengan label Kajian. Tampilkan semua postingan



Oleh Ust Uwais Abdullah, LC
(Relawan dakwah MADINA untuk Bencana Alam di Palu Sulawesi Tengah periode November - Desember 2018)

Ada kalanya, keadaan manusia harus diubah oleh Allah terlebih dahulu agar manusia itu sadar betapa banyak nikmat yang dia dapat.

Ada kalanya orang baru sadar betapa besar nikmat mata setelah matanya menjadi buta.

Ada kalanya orang baru sadar betapa besar nikmat kedua kaki setelah kakinya menjadi buntung.

Pun demikian dengan kota Palu. Siapa yang mengira bahwa kota Palu yang dulu indah kemudian porak-poranda dalam seketika.

Beberapa orang Palu yang dulunya kaya kemudian jadi miskin menjadi pengemis setelah mengalami bencana alam.

Allah ingin mengubah kota Palu, apakah kemudian masyarakatnya berubah menjadi lebih baik atau tidak.

Allah mengubah keadaan makhluk melalui ujian itu ada tiga skenario:

1. Allah ingin tahu apakah manusia itu benar-benar beriman atau tidak

Allah berfirman:

{أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ} [العنكبوت : 2]

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?

{وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ} [العنكبوت : 3]

Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. [QS Al-Ankabut: 2-3].

Rasulullah bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Perkara orang mu`min mengagumkan, sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mu`min, bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya, [HR Muslim].

2. Allah ingin mengajarkan bahwa tidak ada yang bisa menjamin kebahagiaan, keselamatan, dan lainnya kecuali Allah.

Buktinya ketika masyarakat diguncang bencana, mereka menyebut takbir, istighfar, dan zikir². Mereka tidak menyebut pohon yg mereka sembah, mereka tidak berteriak meminta pertolongan kepada laut yang mereka beri kurban.

Itulah makna dari doa:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam” (Q.S al-An’ām: 162)


3. Dari ujian itu Allah tahu mana hamba²Nya yang lalai. Semoga dengan ada ujian itu mereka jadi ingat dari kelalaiannya, mau taubat.

Allah berfirman:

{فَلَوْلَا إِذْ جَاءَهُم بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَٰكِن قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ} [الأنعام : 43]

Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan, [QS Al-An'am: 43].

Di Palu, ada yang bertaubat pasca bencana. Masjid-masjid penuh ketika salat Jumat. Tetapi ada pula yang tiga hari setelah bencana lalu kembali bermaksiat seperti sabung ayam, dll.

Awalnya Palu itu diguncang gempa. Lalu air laut surut dan terjadilah tsunami.

Daerah yang paling parah adalah Pantai Talise. Sepanjang Pantai Talise ini banyak pelacuran.

Daerah yang mengalami likuifasi ada lima daerah, dan yang paling parah adalah Petobo.

Kondisi tanah di Petobo seperti diblender. Terjadi pusaran dan satu per satu manusia masuk ke blender itu.

Menurut kesaksian warga yang selamat, ada 6000 manusia yg terkubur di dalamnya.

Dari sini kita bisa memahami tafsir ayat Al-Quran tentang tenggelamnya Qarun dan harta-hartanya.

{فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنتَصِرِينَ} [القصص : 81]

Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya), [QS Al-Qashash: 81].

Inilah, manusia itu seperti orang yang tidur. Dia lupa dengan kehidupan akhirat. Maka benar firman Allah:

{أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ} [التكاثر : 1]

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

{حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ} [التكاثر : 2]

sampai kamu masuk ke dalam kubur.

Maka kita yang masih diberi banyak kenikmatan ini, hendaknya kita gunakan dalam ketaatan. Jangan sampai sibuk bekerja mencari dunia lalu melalaikan kita dari beribadah kepada Allah.

Karangasem, 29 Desember 2018



Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّ ۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًا ؕ اَ يُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ ؕ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang,” [QS. Al-Hujurat: 12]

TENTANG FIRMAN ALLAH:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّن

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka,

Rasulullah bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا".

“Janganlah kamu mempunyai prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka yang buruk itu adalah berita yang paling dusta; janganlah kamu saling memata-matai, janganlah kamu saling mencari-cari kesalahan, janganlah kamu saling menjatuhkan, janganlah kamu saling mendengki, janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling berbuat makar, tetapi jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara,” [HR Ibnu Majah]

Makna dzan adalah tuduhan atau menuduh. Larangan di sini adalah larangan menuduh yang tidak didasari sebab atau dalil atau bukti yang jelas, seperti menuduh orang melakukan perbuatan keji atau menuduh orang meminum khamar.

TENTANG FIRMAN ALLAH:

اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْم

sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa,

Ayat ini mengandung makna bahwa tidak semua dzan atau prasangka adalah dilarang atau mengandung dosa, karena ayatnya berbunyi kebanyakan prasangka. Prasangka sendiri ada dua macam:

1. Prasangka yang sisi kebenarannya lebih kuat

2. Prasangka yang sisi benar dan salahnya mungkin sama atau malah lebih sedikit kebenarannya.

Tapi juga harus dipahami perbedaan antara hati-hati atau waspada dengan prasangka. Misal saat ini sedang viral kasus penculikan anak. Lalu apakah tepat apabila kita melihat orang yang mencurigakan menghampiri anak kita lalu kita berhusnuzhon? Tidak. Maka dalam hal ini yang tepat adalah sikap hati-hati atau waspada.

TENTANG FIRMAN ALLAH:

وَّلَا تَجَسَّسُوْا

Janganlah kalian saling memata-matai,

Imam Hasan Al-Bashri membaca ayat ini dengan Wa laa tahassasu. Lafaz tajassus pada galibnya (umumnya) menunjukkan pengertian negatif (buruk), karena itulah mata-mata dalam bahasa Arabnya disebut jaras. Adapun mengenai lafaz tahassus pada umumnya ditujukan terhadap kebaikan, (Ibnu Katsir).

TENTANG FIRMAN ALLAH:

وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًا

“Janganlah sebagian dari kalian meng-ghibah sebagian yang lain,”

Ghibah adalah membicarakan sesuatu yang memang dilakukan, tetapi kalau diketahui oleh orang yang dighibah, maka orang tersebut tidak menyukainya. Dan ini juga dilarang.

Rasulullah bersabda:

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ". قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: "إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ".

“Kamu gunjingkan saudaramu dengan hal-hal yang tidak disukainya. Lalu ditanyakan, "Bagaimanakah jika apa yang dipergunjingkan itu ada padanya?" Rasulullah Saw. menjawab: Jika apa yang kamu pergunjingkan itu ada padanya, berarti kamu telah mengumpatnya; dan jika apa yang kamu pergunjingkan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah menghasutnya," [HR Tirmidzi]

Tiga Macam Ghibah di dalam Quran
Al-mawardi menyebutkan didalam tafsirnya bahwasanya al-hasan berkata ghibah ada tiga macam semuanya ada dalam al-qur’an:

1.Datang dengan istilah ghibah yaitu: menyebutkan sesuatu yang ada pada diri saudara anda.

2.Al-ifki yaitu: menyebutkan kepadanya sesuatu yang datang kepada anda tentang dia

3.Al-buhtan yaitu: mengatakan sesuatu yang tidak ada dalam diri saudara anda.

TENTANG FIRMAN ALLAH:

{أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ}

“Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya,”

Kenapa diibaratkan memakan daging saudaranya yang sudah mati? Karena orang yang mati tidak tahu kalau dagingnya ada yang memakan. Dan orang yang dighibah memang tidak tahu kalau ada orang lain yang meng-ghibah dirinya.

Taubat dari Ghibah
Tidak diragukan lagi bahwa ghibah adalah dosa besar. Orang yang melakukan ghibah harus bertaubat kepada Allah dengan tiga cara:

1. Ada yang berpendapat cukup dengan istighfar kepada Allah

2. Ada yg berpendapat tidak cukup dengan istighfar saja, tetapi harus meminta maaf kepada orang yang dighibah

3. Mengganti ghibahannya dengan memintakan ampunan bagi orang yg dighibah itu tadi, lalu memuji orang yang dulunya dia ghibah.

Termasuk ghibah adalah mengumumkan aib orang lain padahal orang lain itu sudah menutupi aibnya sendiri agar tidak diketahui orang lain.

Orang yang boleh dighibah
Imam Ibnu Abi Dunya meriwayatkan pendapat Ibrahim An Nakha`i (seorang tabi’in) yang berkata :

ثلاث لا يعدونه من الغيبة : الامام الجائر والمبتدع والفاسق المجاهر بفسقه

“Ada tiga perkara yang tidak dianggap ghibah oleh mereka (para shahabat), yaitu; imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.”

Al Hasan Al Bashri (seorang tabi’in) juga berkata :

ثلاث ليس لهم غيبة : صاحبهوىوالفاسق المعلن بالفسق والامام الجائر

”Ada tiga orang yang boleh ghibah padanya, yaitu; orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim.” (Ibnu Abi Dunya, Al Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).

Enam keadaan yang membuat ghibah jadi boleh
Dalam kitab Riyadhushsholihin karya Imam Abu Zakariya An-Nawawi atau yang dikenal Imam Nawawi, menjelaskan pengecualian ghibah dalam enam perkara:

1.Mengadukan kezaliman seseorang kepada hakim.

2. Untuk membantu menghilangkan kemungkaran. Seperti halnya orang yang berkata "Diharapkan bagi yang mempunyai kemampuan untuk melenyapkan kemungkaran ini. fulan telah berbuat demikian"

3. Meminta fatwa kepada mufti. Seperti ayah, saudara atau siapa yang telah menganiayanya kemudian meminta pendapat dan solusi dari seorang mufti. atau kasus yang lain yang berhubungan dengan ahkam syar'iyyah.

4. Memperingatkan muslimin dari kejelekannya. Di antaranya menyingkap aib para perawi yang bermasalah. Bahkan ini bisa wajib.

5.Seseorang melakukan kesyirikan, kemaksiatan, kefasikan atau bid'ah SECARA TERANG-TERANGAN, maka dibolehkan mengungkapnya.

6. Untuk mengenalnya. Karena mungkin julukan seperti Al-A'raj (pincang), Al-A'ma. Diharamkan jika hal itu dimaksudkan untuk merendahkan.

TENTANG FIRMAN ALLAH:

{وَاتَّقُوا اللَّهَ}

"Dan bertakwalah kepada Allah,"

dengan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya, maka merasalah diri kalian berada dalam pengawasan-Nya dan takutlah kalian kepada-Nya.

{إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ}

"Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang,"

Yakni Maha Penerima tobat terhadap orang yang mau bertobat kepada-Nya, lagi Maha Penyayang kepada orang yang kembali ke jalan-Nya dan percaya kepada-Nya.

Disampaikan pada Selasa, 11 April 2017
Masjid Besar Nguter, Sukoharjo
Bakda Isya sampai selesai



Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc
(Pengasuh Ponpes Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo)

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu," [QS Al-Hujurat: 6]

Sebab turunnya ayat

Al-Haris ibnu Abu Dirar Al-Khuza'i Radhiyallahuanhu menceritakan hadis berikut:

Aku datang menghadap kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Beliau menyeruku untuk masuk Islam, lalu aku masuk Islam dan menyatakan diri masuk Islam. Beliau Shalallahu alaihi wasallam menyeruku untuk zakat, dan aku terima seruan itu dengan penuh keyakinan. Aku berkata:

"Wahai Rasulullah, aku akan kembali kepada mereka dan akan kuseru mereka untuk masuk Islam dan menunaikan zakat. Maka barang siapa yang memenuhi seruanku, aku kumpulkan harta zakatnya; dan engkau, ya Rasulullah, tinggal mengirimkan utusanmu kepadaku sesudah waktu anu dan anu agar dia membawa harta zakat yang telah kukumpulkan kepadamu."

telah Al-Haris mengumpulkan zakat dari orang-orang yang memenuhi seruannya dan masa yang telah ia janjikan kepada Rasulullah Saw. telah tiba untuk mengirimkan zakat kepadanya, ternyata utusan dari Rasulullah Saw. belum juga tiba. Akhirnya Al-Haris mengira bahwa telah terjadi kemarahan Allah dan Rasul-Nya terhadap dirinya. Untuk itu Al-Haris mengumpulkan semua orang kaya kaumnya, lalu ia berkata kepada mereka, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah menetapkan kepadaku waktu bagi pengiriman utusannya kepadaku untuk mengambil harta zakat yang ada padaku sekarang, padahal Rasulullah Saw. tidak pernah menyalahi janji, dan aku merasa telah terjadi suatu hal yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Karena itu, marilah kita berangkat menghadap kepada Rasulullah Saw. (untuk menyampaikan harta zakat kita sendiri)."

Bertepatan dengan itu Rasulullah Saw. mengutus Al-Walid ibnu Uqbah kepada Al-Haris untuk mengambil harta zakat yang telah dikumpulkannya. Ketika Al-Walid sampai di tengah jalan, tiba-tiba hatinya gentar dan takut, lalu ia kembali kepada Rasulullah Saw. dan melapor kepadanya, "Hai Rasulullah, sesungguhnya Al-Haris tidak mau memberikan zakatnya kepadaku, dan dia akan membunuhku." Mendengar laporan itu Rasulullah Saw. marah, lalu beliau mengirimkan sejumlah pasukan kepada Al-Haris.

Ketika Al-Haris dan teman-temannya sudah dekat dengan kota Madinah, mereka berpapasan dengan pasukan yang dikirim oleh Rasulullah Saw. itu. Pasukan tersebut melihat kedatangan Al-Haris dan mereka mengatakan, "Itu dia Al-Haris," lalu mereka mengepungnya. Setelah Al-Haris dan teman-temannya terkepung, ia bertanya, "Kepada siapakah kalian dikirim?" Mereka menjawab, "Kepadamu." Al-Haris bertanya, "Mengapa?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah mengutus Al-Walid ibnu Uqbah kepadamu, lalu ia memberitakan bahwa engkau menolak bayar zakat dan bahkan akan membunuhnya."

Al-Haris menjawab, "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutus Muhammad Saw. dengan membawa kebenaran, aku sama sekali tidak pernah melihatnya dan tidak pernah pula kedatangan dia."

Ketika Al-Haris masuk menemui Rasulullah Saw., beliau bertanya, "Apakah engkau menolak bayar zakat dan hendak membunuh utusanku?"

Al-Haris menjawab,

"Tidak, demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku belum melihatnya dan tiada seorang utusan pun yang datang kepadaku. Dan tidaklah aku datang melainkan pada saat utusan engkau datang terlambat kepadaku, maka aku merasa takut bila hal ini membuat murka Allah dan Rasul-Nya."

Al-Haris melanjutkan kisahnya, bahwa lalu turunlah ayat dalam surat Al-Hujurat ini, yaitu: 

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita," (Al-Hujurat: 6) sampai dengan firman-Nya: "lagi Mahabijaksana," (Al-Hujurat: 8)

Penjelasan
Islam itu erat kaitannya dengan zakat. Zakat sendiri merupakan salah satu rukun Islam. Rukun adalah sesuatu yang sangat menentukan sah tidaknya sesuatu.

Kalau ada orang yang masuk Islam, tetapi tidak mau bayar zakat, maka dia seperti orang yang salat tetapi dia tidak sujud, atau orang yang salat tetapi tidak mau rukuk, maka salatnya tidak sah.

Di zaman salaf, zakat sangat tertib, maka bumi pun penuh keberkahan. Diriwayatkan bahwa di masa Umar bin Abdul Aziz, biji gandum itu sebesar biji kurma. Ini karena keberkahan yang diturunkan Allah atas tertibnya kehidupan di masa itu berdasarkan hukum Islam, salah satunya karena tertib membayar zakat.

Pengertian Fasik
Fasik adalah keluar dari batasan² syariat yang wajib untuk diiltizami.

Fasik ada dua, yaitu fasik akbar dan fasik asghar.

Tentang fasik akbar, Allah berfirman:

اَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا ؕ لَا يَسْتَوٗنَ

Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.
[QS. As-Sajdah: Ayat 18]

اَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ جَنّٰتُ الْمَأْوٰى ۖ نُزُلًاۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapat surga-surga tempat kediaman, sebagai pahala atas apa yang telah mereka kerjakan.
[QS. As-Sajdah: Ayat 19]

وَاَمَّا الَّذِيْنَ فَسَقُوْا فَمَأْوٰٮهُمُ النَّارُ ؕ كُلَّمَاۤ اَرَادُوْۤا اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَاۤ اُعِيْدُوْا فِيْهَا وَ قِيْلَ لَهُمْ ذُوْقُوْا عَذَابَ النَّارِ الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهٖ تُكَذِّبُوْنَ

Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir), maka tempat kediaman mereka adalah Neraka. Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka, "Rasakanlah azab Neraka yang dahulu kamu dustakan."
[QS. As-Sajdah: Ayat 20]

Tentang fasik kecil, maka ia adalah fasik yang tidak membuat pelakunya keluar dari Islam, seperti di dalam QS Al-Hujurat ayat 7.

Ciri-Ciri Fasik:
1. Mengingkari ayat-ayat Al-Quran, seperti firman Allah:

وَلَقَدْ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ اٰيٰتٍۢ بَيِّنٰتٍ ۚ وَمَا يَكْفُرُ بِهَآ اِلَّا الْفٰسِقُوْنَ

'Dan sungguh, Kami telah menurunkan ayat-ayat yang jelas kepadamu (Muhammad) dan tidaklah ada yang mengingkarinya selain orang-orang fasik," [QS. Al-Baqarah: Ayat 99]

2. Orang yang mengubah hukum-hukum Allah, seperti dalam firman Allah:

فَبَدَّلَ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا قَوْلاً غَيْرَ الَّذِيْ قِيْلَ لَهُمْ فَاَنْزَلْنَا عَلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا رِجْزًا مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ

"Lalu, orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (perintah lain) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka Kami turunkan malapetaka dari langit kepada orang-orang yang zalim itu karena mereka (selalu) berbuat fasik," [QS. Al-Baqarah: Ayat 59]

3. Mengingkari perjanjian dengan Allah, seperti dalam firmanNya:

وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍۢ ۖ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَٰسِقِينَ

"Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik," [Al A'raaf: 102]

4. Orang yang tidak taat kepada perintah Allah, seperti dalam firmanNya:

وَلَا تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَاِنَّهٗ لَفِسْقٌ ؕ وَاِنَّ الشَّيٰطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ اِلٰٓى اَوْلِيٰٓـئِـهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ ۚ وَاِنْ اَطَعْتُمُوْهُمْ اِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْنَ

"Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik," [QS. Al-An'am: Ayat 121]

5. Lebih cinta kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, seperti dalam firmanNya:

قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَآؤُكُمْ وَاَبْنَآؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَ اَمْوَالُ اۨ قْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَ مَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَاۤ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَ جِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَ بَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖ ؕ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ

"Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik," [QS. At-Taubah: Ayat 24]

6. Munafik adalah fasik, seperti di dalam firmanNya:

اَلْمُنٰفِقُوْنَ وَالْمُنٰفِقٰتُ بَعْضُهُمْ مِّنْۢ بَعْضٍ ۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوْفِ وَيَقْبِضُوْنَ اَيْدِيَهُمْ ؕ نَسُوا اللّٰهَ فَنَسِيَهُمْ ؕ اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

"Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik," [QS. At-Taubah: Ayat 67]

7. Menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina dan tidak bisa mendatangkan 4 saksi, seperti di dalam firmanNya:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًا ۚ وَاُولٰٓئِكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ

"Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik," [QS. An-Nur: Ayat 4]

Kaidah Fikih dari Surat Al-Hujurat Ayat 6

Imam Al-Qurtubi menyuguhkan tafsir yang lebih rinci tentang firman Allah, "Apabila datang satu orang fasik,":

"Kalau satu orang fasik ditolak beritanya, maka kalau satu orang yang adil membawa berita, maka berita dari orang yang adil itu diterima."

Ini membantah pendapat kelompok yang menolak hadis ahad. Karena khobar (termasuk di dalamnya hadis) diriwayatkan dari satu orang tidak diterima, maka akan ada banyak perkara yang tidak diterima di dalam Islam.

Kalau ada hadis ahad, maka yang dinilai adalah sahih tidaknya. Kalau sahih diterima, kalau tidak sahih maka tidak diterima.

Hadis sahih menurut para ulama adalah

1. hadis yang sanadnya bersambung sampai Rasulullah,

2. periwayatnya adil (menjauhi dosa-dosa besar),

3. Periwayatnya dhobit (kuat hafalannya) dari awal hadis sampai akhir,

4. tidak ada syad (nyeleneh), dan

5. Tidak ada illah (cacat) padanya.

Makna Naadzimin (penyesalan)
Penyesalan (nadimin) adalah kegelisahan yang menderita manusia karena perbuatan yang sudah lalu, dan dia berangan-angan seandainya saja dia tidak melakukannya.


Disampaikan di Masjid Besar Nguter (Jl. Solo-Wonogiri, Utara Pasar Nguter) pada Selasa 29 November 2016

Ikuti kajian rutinnya tiap Selasa bakda Isya



Oleh Ust Abu Fatiah Al-Adnani

Semua manusia ingin hidup mulia, tetapi sayang banyak manusia yang salah dan keliru dalam mendefinisikan hakikat kemuliaan dan kebahagiaan. Dalam pandangan mereka, mulia dan bahagia identik kaitannya dengan harta, pangkat, jabatan, dan hal-hal yang bersifat material. Itulah kenapa banyak manusia yang menghabiskan waktunya untuk mengejar hal-hal tersebut, meski pada akhirnya banyak yang gagal meraih kemuliaan karena di akhirat itu semua tidak dibawa.

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ

"(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna," [QS. Asy-Syu'ara': 88]

اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ؕ

"kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih," [QS. Asy-Syu'ara': 89]

Ali bin Abi Thalib berkata, "Manusia itu sebenarnya baru tidur, nanti kalau dia sudah mati, maka dia akan bangun (hidup yang sebenar-benarnya)."

Rasulullah bersabda:

"Tiadalah umur kalian dibandingkan dengan umur orang terdahulu kecuali seperti sisa siang hari yang sudah lewat," [HR Ahmad: 5966].

Allah subhanahu wa taala berfirman:

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلٰى مَا مَتَّعْنَا بِهٖۤ اَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۙ لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ ؕ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّاَبْقٰى

"Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal," [QS. Ta Ha: 131].

"Bagi orang kafir, dunia seperti bunga yang merah merona, segar, cantik, indah dan bau harumnya menggoda manusia untuk memetiknya. Tetapi ketika bunga itu dipetik, berapa lama keindahan bunga itu bertahan?" [Ust Abu Fatiah].

Akhir zaman adalah masa yang penuh dengan fitnah. Rasulullah bersabda:

بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا

"Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir dipagi harinya. Dia menjual agamanya dengan barang kenikmatan dunia," [HR Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad].

LIMA FASE DUNIA AKHIR ZAMAN

Abdullah bin Umar berkata di dalam Sunan Abu Dawud:

كُنَّا قُعُودًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ فَذَكَرَ الْفِتَنَ فَأَكْثَرَ فِي ذِكْرِهَا حَتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الْأَحْلَاسِ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا فِتْنَةُ الْأَحْلَاسِ قَالَ هِيَ هَرَبٌ وَحَرْبٌ ثُمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي وَلَيْسَ مِنِّي وَإِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ ثُمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ عَلَى رَجُلٍ كَوَرِكٍ عَلَى ضِلَعٍ ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ لَا تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً فَإِذَا قِيلَ انْقَضَتْ تَمَادَتْ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ فُسْطَاطِ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ وَفُسْطَاطِ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ فَإِذَا كَانَ ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ مِنْ يَوْمِهِ أَوْ مِنْ غَدِهِ

"Saat kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bercerita tentang fitnah, panjang lebar beliau bercerita seputar fitnah itu hingga beliau menyebutkan tentang fitnah Al Ahlas. Seorang laki-laki lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apa itu fitnah Al Ahlas?" beliau menjawab: "Adanya permusuhan dan peperangan, kemudian fitnah kesenangan yang asapnya muncul dari bawah kedua kaki seorang laki-laki ahli baitku. Ia mengaku berasal dari keturunanku, padahal bukan. Wali-waliku hanya orang-orang yang bertakwa. Kemudian orang-orang akan berdamai pada seorang laki-laki layaknya pangkal paha yang bertumpuk di tulang rusuk (kesepakatan yang semu). Kemudian akan muncul fitnah seorang yang buta (dengan kekuasaan), tidak seorang pun dari umat ini kecuali ia akan mendapat satu tamparan di mukanya (bencana kerusakan darinya). Ketika fitnah itu telah dianggap usai, namun fitnah tersebut justru berkelanjutan. Seorang laki-laki yang paginya beriman menjadi kafir di waktu sore, sehingga manusia akan menjadi dua kelompok; sekelompok orang yang beriman dan tidak ada kemunafikan dalam keimanannya, dan sekelompok orang yang penuh kemunafikan dan tidak ada keimanan padanya. Jika kondisi kalian sudah begitu, maka tunggulah munculnya Dajjal pada hari itu atau keesokan harinya," [HR Abu Dawud].

1. Zaman Nabi Muhammad

2. Zaman Khulafaur Rasyidin,

3. Zaman Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmani

4. Zaman modern

5. Zaman Imam Mahdi

Umat Islam di abad 21 hidup dalam tiga kepungan fitnah sekaligus, yaitu:

1. Fitnah peperangan dan pembantaian sesama muslim,

2. Fitnah harta dan kesenangan dunia

3. Fitnah gelapnya pemikiran dan logika sesat yang dipasarkan secara sistematik dan holistik.

TIGA MACAM POLA DASAR PENGELOMPOKAN SOSIAL

Menurut Ahmad Thomson, ada tiga pola dasar dalam mengelompokkan masyarakat:

1. Masyarakat pedalaman sederhana yang hidup selaras dengan alam namun tidak mengikuti syariat kenabian dalam peribadatan

2. Masyarakat islam yang selaras dengan alam dan mengikuti syariat kenabian

3. Masyarakat kafir yang hidup tidak selaras dengan alam semesta dengan sengaja menolak syariat Sang Pencipta.

APA YANG BISA KITA LAKUKAN KETIKA FITNAH MENIMPA?

1. Bersikap adil

Rasulullah ditanya, "Siapakah manusia yang paling utama?"

Rasulullah menjawab:

مؤمن يجاهد في سبيل الله بنفسه وماله قالوا ثم من قال مؤمن في شعب من الشعاب يتقي الله ويدع الناس من شره

"Seorang mu'min yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya". Mereka bertanya lagi: "Kemudian siapa lagi?" Beliau menjawab: "Seorang mu'min yang tinggal diantara bukit dari suatu pegunungan dengan bertaqwa kepada Allah dan meninggalkan manusia dari keburukannya," [HR Bukhari]

Pilihan pertama cocok untuk penduduk negeri yang Allah karuniakan ibadah jihad. Ada pun bagi kaum muslimin yang berada di wilayah damai, maka pilihan kedua adalah solusi terbaik, yaitu uzlah. Uzlah ada dua:

- uzlah dengan tetap menetapkan hak Allah atas dirinya
- uzlah yang hak Allah tetap terpenuhi adalah uzlah secara berjamaah, seperti membentuk komunitas yang memiliki kesamaan tujuan, yang menegakkan agama ini hingga bisa mewujudkan keselarasan dengan syariat di semua lini kehidupan.

Berperang ketika damai adalah kesalahan, dan mengajak damai ketika situasi menuntut adanya peperangan juga tidak tepat," [Ust Abu Fatiah Al-Adnani].

2. Menjadi seperti emas dan lebah, yang selalu memberi manfaat di semua lini kehidupan, bukan memberi bencana.

Rasulullah bersabda:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُخَوَّنَ الْأَمِينُ وَيُؤْتَمَنَ الْخَائِنُ حَتَّى يَظْهَرَ الْفُحْشُ وَالتَّفَحُّشُ وَقَطِيعَةُ الْأَرْحَامِ وَسُوءُ الْجِوَارِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ لَكَمَثَلِ الْقِطْعَةِ مِنْ الذَّهَبِ نَفَخَ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا فَلَمْ تَغَيَّرْ وَلَمْ تَنْقُصْ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ تُكْسَرْ وَلَمْ تَفْسُدْ

"Tidak akan datang hari kiamat sehingga orang yang amanah dikhianati dan orang yang khianat diberi kepercayaan. Sehingga muncul kekejian dan perbuatan keji, putusnya hubungan kekerabatan dan buruknya muamalah antar tetangga. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya perumpamaan seorang mukmin adalah seperti potongan emas yang ditiup oleh pemiliknya yang tidak kurang dan tidak berubah. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya perumpamaan seorang mukmin adalah seperti lebah, ia makan yang baik-baik, mengeluarkan yang baik-baik, bila ia hinggap tidak membuat dahan patah dan rusak," [HR Ahmad].

Wallahu'alam bish shawwab.

Diringkas oleh: Abu Muhammad Al-Irfani (Staf Pengajar Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa)


Pertanyaan:
Semoga Allah menjagamu. Ada seorang bertanya : Seorang penuntut ilmu, apakah ia memulai dengan menghapal Al-Quran atau membaca kitab-kitab ilmu?

Jawaban oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Tidak, Demi Allah. Hendaknya ia mendahulukan untuk menghapal Al-Quran.

Menghapal Al-Quran, tidak ada satupun sebelumnya dari pelajaran-pelajaran yang dihapal manusia, karena Al-Quran adalah Kalamullah,

🔹membacanya adalah ibadah,

🔹mentadabburinya adalah ibadah,

🔹mengamalkan apa yg ditunjukkan olehnya adalah ibadah,

🔹membenarkan kabar yang ada di dalamnya adalah ibadah,

🔹Ia adalah sebaik-baiknya kitab yang diturunkan Allah Ta'ala,

🔹Ia lebih utama dari kitab-kitab yang ditulis manusia dan tidaklah sebanding,

Maka hendaklah manusia memulai dengan menghapal Al-Quran, kemudian menghapal hadits-hadits shahih dari Nabi ﷺَ, seperti 'Umdatul Ahkam milik Abdulghani Al-Maqdisy rahimahullah. Ia merupakan kitab yang sangat ringkas dalam masalah hukum.

Setelah itu, ia mempelajari kitab yang mudah baginya dari kitab-kitab aqidah dan yang lainnya.

Sumber: Silsilah Fatawa Nur 'alad Darb (kaset no. 344)


========
HADIS (4)
========
Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, ia berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِي أَنْفِه ماءِ ثُمَّ لِيَنْثُرْ

"Jika salah seorang dari kalian berwudlu hendaklah dengan memasukkan air ke dalam hidung."

وَمَنْ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ،

"Barangsiapa beristinja' dengan batu hendaklah dengan bilangan ganjil."

وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِي الإناء ثلاثا،

"Dan jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaklah membasuh kedua telapak tangannya sebelum memasukkannya dalam bejana sebanyak tiga kali,"

فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

"Sebab salah seorang dari kalian tidak tahu ke mana tangannya bermalam," [HR Bukhari & Muslim].

============
FAIDAH HADIS
============
1. Perintah istinsyak (memasukkan air ke dalam hidung) sebanyak tiga kali, sesuai dengan jumlah kumur,

2. Perintah istijmar (istinja) dengan bilangan yang ganjil,

3. Perintah membasuh kedua telapak tangan ketika bangun tidur sebanyak tiga kali sebelum berwudu,

4. Hikmah dari perintah nomor 3 adalah bahwa seseorang itu tidak tahu di mana tangannya bermalam,

5. Bagusnya metose pengajaran Nabi, yaitu menggabungkan antara hukum dan hikmah di balik hukum tersebut,

6. Kesempurnaan syariat Islam.

========
HADIS (5)
========
Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, ia berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ

"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing pada air yang tidak mengalir, lalu mandi darinya."

Di dalam riwayat Muslim disebutkan:

لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ

"Janganlah salah seorang di antara kalian mandi dalam air yang menggenang (diam), sedang dia dalam keadaan junub."

============
FAIDAH HADIS
============
1. Larangan buang air kecil di air yang tenang atau tidak mengalir. Larangan ini maksudnya haram, yaitu haram mengotori air tenang yang mungkin saja dipakai manusia untuk berwudu,

2. Boleh buang air kecil atau air besar di air yang mengalir,

3. Larangan bagi orang yang junub mandi di air yang tidak mengalir,

4. Kesempurnaan syariat Islam.

========
HADIS (6)
========
Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا

"Jika anjing menjilat bejana seorang dari kalian, maka hendaklah ia cuci hingga tujuh kali."

Di dalam riwayat Muslim disebutkan:

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

"Sucinya bejana kalian apabila ia dijilat oleh anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah."

============
FAIDAH HADIS
============
1. Jilatan anjing adalah najis mughaladah, yaitu najis yang disucikan dengan tujuh kali basuhan, salah satunya dengan debu, bisa di awal, di akhir, atau di tengah,

2. Semua bagian dari anjing adalah najis.

Wallahu'alam bish shawwab


Pertanyaan:
Anak saya yang wanita berzina dan sekarang dia hamil dengan seorang muslim yang merupakan kakak tirinya sendiri. Saya memakai fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi yang menyatakan bahwa mereka tidak boleh menikah sampai si jabang bayi dilahirkan.

Ayah tiri dari anak putri saya berkata bahwa Syeikh Utsaimin berpendapat bahwa boleh hukumnya untuk menikahi (wanita hamil karena zina) sebelum si jabang bayi dilahirkan.

Dapatkah Anda menjawab pertanyaan ini dan menunjukkan bukti-bukti kepada saya dari Syeikh Utsaimin bahwa boleh hukumnya menikahi (wanita hamil karena zina) sebelum si jabang bayi dilahirkan.

Jika Anda pendapat lain, haruskah saya menikahkannya sekarang sebelum si jabang bayi lahir, ataukah saya harus berpegang pada pendapat pertama saya dan tidak mengijinkan mereka menikah sampai si jabang bayi lahir?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syeikh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Illah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Para fuqaha di zaman dahulu berbeda pendapat tentang hal ini. Ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari Mahzab Hanafi berkata:

Tidak boleh menikahinya (wanita hamil karena zina) sebelum wanita itu melahirkan si jabang bayi, sebagaimana sabda Nabi ,

لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

Wanita hamil tidak boleh digauli hingga melahirkan, dan tidak pula wanita yang tidak hamil hingga mengalami satu kali haid” (HR Abu Dawud: 2157 dan Al-Hakim. Al-Hakim: Sahih. Al-Albani: Sahih).

Selain itu, Said bin Al-Musayyib Rahimahullah meriwayatkan bahwa seorang pria menikahi seorang wanita dan ketika pria tersebut berhubungan intim dengan si wanita tadi, pria ini mendapati bahwa wanita itu ternyata sedang hamil. Akhirnya, ia mengadukan kasus tersebut kepada Rasulullah lalu beliau memisahkan keduanya.

Di lain pihak, ulama Syafiiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa boleh hukumnya menikahi wanita yang hamil karena zina, karena sperma hasil hubungan zina bukanlah penentu. Dalil mereka adalah bahwa nasab suatu keluarga itu tidak didasarkan pada sperma seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah ,

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

Anak itu dinisbatkan kepada pemilik dari suatu ranjang (suami sah), dan batu (rajam) itu untuk mereka yang berbuat zina,” (HR Bukhari dan Muslim).

Kami tidak mendapati sama sekali pendapat dari Syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah yang mengindikasikan bahwa pria yang berzina boleh menikahi wanita yang berzina sebelum dipastikan bahwa si wanita itu tidak sedang hamil.

Sebaliknya, di dalam Syarah Al-Mumti beliau berkata:

Kalimat si pengarang mengindikasikan bahwa tidak boleh seorang pria yang berzina atau siapa pun itu untuk menikahi wanita tersebut selama si wanita itu sedang di masa menunggu (dari zina), meskipun si wanita itu telah bertaubat. Inilah pendapat yang dipakai oleh mayoritas ulama. Hal ini karena anak hasil perzinaan tidaklah dinisbatkan kepada pria yang menzinai ibunya, baik si anak itu meminta hal tersebut ataupun tidak.”

Sehingga, beliau (Syeikh Ibnu Utsaimin) tidak menyebutkan hal-hal yang berlawanan dengan pendapat beliau sendiri seperti tertera di atas.

Berdasarkan hal ini, pendapat yang melarang menikahi wanita yang hamil karena zina memiliki hujjah yang lebih kuat dan lebih selamat. Jadi, pendapat kami adalah bahwa Anda hendaknya tetap keukeuh untuk tidak menikahkannya sampai putri Anda tersebut melahirkan si jabang bayi.

Akhirnya, mohon dicatat bahwa wajib hukumnya untuk menghindari berbagai penyebab yang menggiring pada perbuatan zina. Salah satu penyebab tersebut adalah pria yang memasuki kawasan wanita tanpa memerhatikan rambu-rambu Islam seperti sutrah (pembatas), hijab, atau bercampur baur (antara laki-laki dan perempuan) dan semisalnya.

Sumber:
http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=213442

Penerjemah:
Abu Muhammad Al-Irfani

Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo


Oleh Uwais Abdullah*
Berawal dari hadis iftiraqul ummah (perpecahan umat), muncullah banyak persepsi dalam menyikapi berbagai kelompok yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Di antara mereka ada yang terkesan memaksakan kelompok tertentu sebagai satu-satunya komunitas yang mendapat jaminan selamat di antara sekian kelompok yang ada. Kemudian, mereka berusaha untuk menyematkan ancaman celaka dan neraka kepada komunitas yang lainnya. Di sisi lain ada juga yang terlalu longgar dalam memaknai hadis tersebut, sehingga menafikan adanya aliran sesat selagi masih menisbatkan dirinya kepada islam meskipun hanya namanya saja.

Untuk mendudukkan hadis tersebut ke dalam realita kehidupan dengan aneka ragam kolompok yang ada, hendaknya kita menilai tidak hanya dari sudut pandang teks yang tertera di dalam hadis dan memaknainya sesuai dengan kehendak kita. Jika demikian adanya, yang dihasilkan hanyalah justifikasi terhap persepsi yang kita simpulkan, kemudian mencari dalil sebagai penguat. Hendaknya kita meneliti secara jeli hadis tersebut serta mengidintifikasi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang maksud dari hadis tersebut.

Hadis yang menyebutkan tentang iftiraqul ummah menjadi 73 golongan adalah sebagai berikut:

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَة

"Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlu kitab berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga, yaitu Al Jama'ah," [HR Abu Dawud: 4597. Al-Albani: Hasan].

Hadis ini atau yang semakna dengannya juga terdapat di beberapa kitab hadis; di antaranya di dalam Sunan Ibnu Majah, Sunan abi Dawud, Musnad Ahmad, Sunan ad-Darimiy, As-Syariah milik Al-Ajuriy.

Hadis ini merupakan pengabaran dari Rasulullah tentang perpecahan yang akan terjadi di tubuh kaum muslimin. Penggunaan kata "ummah" memancing perbincangan para ulama tentang maknanya. Apakah yang dimaksud adalah ummatud da'wah (termasuk di dalamnya Yahudi dan Nasrani atau yang lainnya) yang menjadi obyek dakwah Rasulullah , atau yang dimaksud adalah ummatul ijabah (umat Islam secara khusus).

Imam As-Sindiy berkata,

"Yang dimaksud adalah ummatul ijabah, yaitu ahlul qiblah. Karena istilah “umat” dinisbatkan kepada beliau (Rasulullah ) yang secara langsung dapat dipahami sebagai ummatul ijabah.

Sedangkan ulama lainnya, Dr. Al-Buthiy, bependapat bahwa yang dimaksud dengan “umat” adalah ummatud da'wah. Ini didasarkan pada argumentasi bahwa Rasulullah menggunakan kata “umat” secara umum. Kalau saja yang dimaksud dengan “umat” adalah ummatul ijabah, tentu beliau akan menggunakan isitlah "sataftariqul muslimin." Ini maknanya, yang dimaksud dengan “umat” adalah ummatu da'wah. Kesimpulannya bahwa ummat yang di menjadi obyek dakwah Rasulullah akan terpecah menjadi 73 agama. Dan jaminan bahwa yang selamat adalah hanya satu agama maknanya adalah agam Islam, dengan sekian sekte-sektenya.

Pendapat yang rajih adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh As-Sindiy dengan beberapa alasan:

Pertama,
Bahwa di hadis yang lain Rasulullah menejelaskan bahwa Yahudi dan Masrani terpecah menjadi 71 golongan dan kemudian Rasulullah menjelaskan di waktu yang bersamaan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan. Ini maknanya, yang dimaksud dengan “umat” di hadis tersebut adalah ummatul ijabah yaitu umat Islam.

Kedua,
Bahwa hadis tersebut adalah sebagi bentuk pengabaran terhadap kejadian yang akan datang. Sedangkan perpecahan yang terjadi pada ummatud dakwah seperti Yahudi dan Nasrani sudah terjadi di masa Rasulullah . Dengan demikian, yang lebih tepat untuk memaknai “umat” di dalam hadis tersebut adalah ummatul ijabah.

Adapun yang dimaksud dengan perpecahan di dalam hadis tersebut adalah perpecahan di dalam permasalahn yang bersifat ushul dan i'tiqad, bukan dalam hal furu' (cabang) dan amaliah.

As-sindiy berkata,

"Yang dimaksud adalah perpecahan di dalam perkara ushul dan i'tiqad bukan dalam hal furu' dan amaliah. Karena dalam perkara furu', Islam memberikan kelonggaran yang lebih luas dan hal ini termasuk ke dalam ranah ijtihad para ulama. Sangat banyak kita dapatkan perbedaan dalam hal furu' dan amaliah di kalangan para ulama sedari zaman Rasulullah sampai sekarang.

Di dalam Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud disebutkan bahwa tidaklah termasuk ke dalam firaq madzmumah itu mereka yang berselisih dalam perkara cabang seperti fikih dalam pembahasan halal dan haram, namum yang dimaksud adalah mereka yang menyelisihi ahlulul haq dalam perkara ushul tauhid.

Adapun makna 72 golongan di neraka bukanlah sebuah kepastian bahwa setiap personal dari mereka akan masuk ke dalam neraka dan kekal di dalamnya, karena dari 72 golongan tersebut tidak semuanya keluar dari lingkaran Islam.

Al khattabiy berkata,

"Ungkapan (akan terpecah umatku menjadi 73 golongan) di dalamnya terdapat penjelasan bahwa kelompok-kelompok ini tidaklah keluar dari lingkup Diin, kerena Nabi menyebutnya sebagai umat beliau. Meski demikian, ada di antara kaum muslimin yang munafik yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Atau di antara mereka yang menisbatkan diri kepada Islam, tetapi praktik amal mereka ternyata keluar dari lingkaran Islam.

Jadi, setiap personal dari 72 golongan tersebut tidak berarti masuk ke dalam neraka semuanya. Tetapi ungkapan tersebut adalah ancaman akan akidah-akidah mereka yang menyimpang, yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Di antara mereka ada yang kekal di dalam neraka dan ada juga yang tidak kekal sesuai dengan tingkat kebidahan yang mereka lakukan, dan ada juga yang diampuni kesalahannya oleh Allah .

Ini sebagaimana pernyataan Ibnu Taimiyah, "Sebagaimana kalau kita mengatakan apa yang difirmankan oleh Allah (Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan kezaliman, maka sesungguhnya mereka akan memakan api di dalam perut mereka, [QS. An-Nisa: 10]), maka tidak selayaknya bagi seseorang untuk mengatakan terhadap orang lain secara takyin (personal) bahwa orang tersebut berada di dalam neraka. Hal ini karena bisa jadi ia diampuni oleh Allah dengan kebaikan-kebaikannya yang mengahapuskan kesalahannya. Atau dengan musibah yang mengikisnya, atau Allah sendiri yang mengampuninya atau kemungkinan yang lain.

Lantas pernyataan "wahidah fil jannah," apakah setiap personal dari firkah najiah tidak akan masuk neraka?

Syaikh Utsaimin Rahimahullah menjawab bahwa di antara mereka bisa jadi ada yang masuk neraka, tetapi tidaklah kekal di dalamnya. Beliau juga memberikan gambaran tentang hal ini bahwa manusia terbagi menjadi empat kelompok:
1. Mubtadi Murni, yang tidak mengerjakan sunah sama sekali. Mereka ini kekal di neraka tanpa dipungkiri lagi.

2. Mubtadi yang bercampur (dengan sunah). Mereka berhak masuk ke dalam neraka dan tidak kekal di dalamnya.

3. Suni yang murni. Ia tidak berhak masuk ke dalam neraka, kalau pun ia masuk ke dalam neraka karena maksiat yang ia perbuat, maka mereka tidaklah kekal di dalamnya.

4. Suni yang bercampur (dengan bidah). Mereka seperti firman Allah , "Dan (ada pula) orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk," (QS. At-Taubah: 102). Mereka ini berhak masuk ke dalam neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.

Adapun kelompok yang selamat adalah "jama'ah,” atau dalam redaksi hadis riwayat Imam Tirmizi Rahimahullah disebutkan:


لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي 


"Pasti akan datang kepada ummatku, sesuatu yang telah datang pada bani Israil seperti sejajarnya sandal dengan sandal, sehingga apabila di antara mereka (bani Israil) ada orang yang menggauli ibu kandungnya sendiri secara terang terangan maka pasti di antara ummatku ada yang melakukan demikian, sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan," Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya," [HR Tirmizi: 2641. At-Tirmizi: Hasan Gharib. Al-Albani: Hasan].

As-Sindiy berkata,

"Ungkapan (al-jama'ah) adalah mereka yang sesuai dengan jamaah para sahabat, serta mengambil akidah mereka dan berpegang teguh dengan pola pikir mereka."

Di dalam Aunul Ma’bud disebutkan,

(Al-jama'ah) adalah Ahlul Quran dan Ahlul Hadis dan Ahlul Fikih dan Ahlul Ilmi, yang sejalan dalam mengikuti jejak Nabi di semua kondisi. Mereka tidak merusaknya dan tidak merubahnya, dan tidak pula menggantinya dengan pemikiran-pemikiran yang rusak.”

Aplikasi Hadis Iftiraqul Ummah
Banyak persepsi yang muncul dalam penerapan hadis iftiraqul ummah ini. Di antara mereka ada yang mencoba untuk menyematkan label 72 golongan tersebut kepada kelompok-kelopok tertentu. Di sisi lain, mereka berusaha menggiring opini masyarakat bahwa satu-satunya kelompok yang selamat adalah kelompok miliknya sendiri. Padahal, hadis tersebut sama sekali tidak mendukung pernyataan mereka. Rasulullah tidak mengkhususkan kelompok yang selamat tersebut untuk golongan tertentu dan menafikan kelompok yang lainnya.

Untuk mengukur suatu kelompok atau personal apakah ia termasuk ke dalam golongan yang selamat atau kelompok yang celaka hendaknya menggunakan timbangan Quran dan Sunah. Sedangkan Quran dan Sunah menyebutkan Al-Jamaah atau Ma Ana Alaihi wa Ashabiy sama sekali tidak mengkhususkan pada nama dari kelompok-kelompok tertentu. Maknanya, siapa saja dari kaum muslimin yang terpenuhi padanya sifat kelompok tersebut, maka ia berhak untuk mendapatkan jaminannya, bukan lantas memaksakan berbagai dalil untuk mengkhususkan jaminan tersebut kepada komunitas tertentu dan menafikan komunitas yang lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah berkata tentang golongan yang selamat tersebut,

"Mereka adalah yang berpegang teguh kepada Islam secara murni dan bersih dari penyimpangan. Mereka adalah Ahlus Sunah yang tercakup di dalamnya As-Shiddiqun, Asy-syuhada, Ash-Shalihun. Dan termasuk pula di dalamnya adalah pembawa panji petunjuk, pelita di tengah kegelapan, dan orang-orang yang mempunyai budi pekerti yang luhur dan keutamaannya, dan juga para imam yang kaum muslimin bersepakat atas petunjuk dan keilmuan mereka. Mereka adalah At-Thaifah Al-Manshurah, yang disebutkan di dalam hadis,

لَا يَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللَّهِ مَا يَضُرُّهُمْ مَنْ كَذَّبَهُمْ وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ

Akan senantiasa ada dari umatku sebuah umat yang menegakkan perintah Allah, tidak membahayakan mereka orang yang mendustakan mereka, tidak pula yang menyelisihi mereka hingga keputusan Allah datang kepada mereka sedang mereka masih dalam keadaan seperti itu,” [HR Bukhari].

Dengan demikian, kelompok yang selamat atau Al-Firqatun Najiyah adalah kelompok yang tersebar di kalangan seluruh kaum muslimin yang meniti jejak Rasul dan para sahabatnya. Sehingga, nampaklah kebatilan orang-orang yang menganggap bahwa hanya orang-orang yang bergabung bersama kelompoknya saja yang berhak mendapat julukan Al-Firqatun Najiah dan yang selainnya adalah kelompok yang celaka.

Fudhail bin Iyadh berkata, "Seorang bertanya kepada Imam Malik, Wahai Abu Abdullah, siapakah Ahlu Sunah itu?

Imam Malik menjawab, “Orang yang tidak memiliki laqob (julukan) yang diketahui. Tidak pula jahmiy (pengikut paham Jahmiah), tidak rafidi (penganut Syiah Rafidah), tidak qadariy (penganut paham Qadariah)."

Imam Nawawi ketika menerangkan hadis Rasulullah , “Akan senantisa ada segolongan dari umatku yang mereka berada diatas kebenaran,” beliau mengatakan,

Hadis ini mengandung pengertian bahwa kelompok tersebut terpencar di semua komunitas kaum muslimin. Di antara mereka ada para pemberani yang senantiasa berperang, dan di antara mereka ada ahli fikih, ada pula ahli hadis, ahli zuhud, dan penyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan termasuk pula di dalamnya orang-orang selain mereka dan para ahli kebaikan.”

Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimiy, pen-tahzib Syarah Aqidah Thahawiyah, ketika menyebutkan hadis Rasulullah yang berbunyi, “Diin ini akan senantiasa tegak dan berperang di atasnya segolongan dari kaum muslimin samapi datangnya hari kiamat,berkata:

“Hal ini--wallahu a'lam--memberi penngertian bahwa para mujahidin di jalan Allah adalah orang yang paling utama untuk masuk ke dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang pasukan Tar-Tar dan kewajiban memeranginya,

‘Adapun sekelompok kaum muslimin yang berada di syam, dan mesir dan yang selainnya, maka mereka pada saat ini merupakan orang yang paling berhak untuk masuk dalam kategori At-Thaifah Al-Manshurah, seperti yang disebutkan oleh Rasulullah :

“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang senantiasa berada diatas kebenaran dan tidak akan mampu memberikan kecalakaan kepada mereka orang yang menghinakan mereka atau orang yang menyelisihi mereka sampai datangnya hari kiamat,” (Majmu Fatawa: 28/ 531).

*Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo

Referensi:
Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy As-Sajastani. 1419/1998. Sunan Abi Dawud. -------: Darul Ibnu Hazm.

Ad-Darimi, Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin Al-Fadhl. 1421/2000. Sunan Ad-Darimi. -------: Darul Mughni.

Ahmad bin Hambal, Abu Abdillah. 1419/1998. Musnad Ahmad. ------: Baitul Afkar Ad-Dawliah.

Al-Abadiy, Muhammad Syamsul Adzim. 1399/1979. Aunul Ma’bud. -------: Daarul Fikr

Al-Ajury, Abu Bakar bin Muhamamd bin Al-Husain. 1416/1996. Asy-Syariah. -------: Muassah Qurtubah.

Al-Ashimiy, Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim. 1418/1997. Majmu Fataawa.

Al-Ghunaimi, Abdul Akhir. 1416/1995. Al-Minhah Al-Ilahiah fi Tahdzibi Syarah Aqidah At-Thahawiah. --------: Daarus Sahabah.

Al-Khattabiy. 1351/1932. Maalimus Sunan. -------: Muhammad Raghib At-Tabbakh

An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. 1421/2000. Syarah Sahih Muslim. --------: Daarul Kutub Al-Ilmiah

As-Sindy, Abul Hasan Al-Hanafi. 1416/1996. Syarah Sunan Ibnu Majah. --------: Darul Marifah

Fudhail bin Iyadh. Madarikut Tadrib Wataqribul Masalik. Maktabah Syamilah

http://muntada.islammessage.com

http://www.nokhbah.net


Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ar-Rabii. 1420/1999. Sunan Ibnu Majah. -----: Darus Salamah.


Pertanyaan:
Jika saya telah selesai melaksanakan salat yang wajib, lalu saya ingin melaksanakan salat nafilah (salat sunah), apakah hukumnya mustahab untuk berpindah ke tempat lain dalam pelaksanaan salat nafilah tersebut, agar ada lebih banyak tempat di muka bumi ini yang menjadi saksi bagi diri saya (kelak di akhirat)?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamQA, diketuai oleh Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid Hafizahullah

Alhamdulillah.
Ya, hukumnya Mustahab untuk memisah antara salat yang wajib dan salat sunah rawatib dengan berbicara atau berpindah ke titik lain.

Cara terbaik untuk berpindah tempat adalah dengan melaksanakan salat nafilah di rumah, karena salat (sunah) terbaik yang dilakukan oleh seorang pria adalah salat yang ia lakukan di rumahnya--selain salat wajib tentunya--sebagaimana yang diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah ﷺ. Dalil bagi pemisahan seperti yang disebutkan di atas adalah hadis riwayat Imam Muslim di dalam Sahih-nya (nomor 1463) dari sahabat Muawiyah Radhiyallahuanhu, yang berkata: 

Ketika kalian selesai melaksanakan salat Jumat, jangan mengikutinya seketika itu juga dengan salat lain, sampai kalian berbicara atau meninggalkan (masjid), karena Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk melakukannya, yaitu tidak mengikuti suatu salat seketika itu juga dengan salat (wajib) yang lainnya sampai kami berbicara atau meninggalkan (masjid).”

Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata di dalam Syarah Sahih Muslim:

Ini menjadi dalil atas pendapat para sahabat kami (ahli fikih mahzab Syafii), bahwa untuk kasus salat nafilah, baik yang dilakukan secara reguler (salat sunah) atau yang lainnya, maka hukumnya mustahab untuk berpindah dari tempat di mana dilakukan salat yang wajib ke titik lain, dan cara terbaik adalah berpindah ke rumah. Atau, seseorang bisa saja berpindah ke titik lain di dalam masjid atau di mana saja. Hal ini untuk meningkatkan jumlah tempat di mana seseorang itu bersujud, juga untuk memisahkan antara salat nafilah dari salat yang wajib. Kata “sampai kami berbicara” mengindikasikan bahwa memisahkan (antara dua) salat bisa juga dilakukan dengan berbicara, tetapi berpindah adalah lebih disukai sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya.” Wallahu’alam bish shawwab.

Abu Dawud (854) dan Ibnu Majah (1417) meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 

Apakah kalian tidak mampu, ketika salat, untuk berpindah ke depan atau ke belakang, atau ke kanan atau ke kiri?” Maksudnya: melaksanakan salat nafilah, atau salat sunah setelah salat wajib, (Sahih oleh Al-Albani di dalam Sahih Ibnu Majah).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam al-Fataawa al-Kubra (2/359), 

Adalah sunah untuk memisahkan salat yang wajib dengan salat nafilah, baik ketika salat Jumat ataupun yang lainnya, karena hal tersebut terdapat di dalam riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ menyuruh para sahabat untuk tidak mengikuti suatu salat seketika itu juga dengan salat yang lainnya sehingga mereka memisahkan antara kedua salat tersebut dengan berpindah atau berbicara. 

“Jadi, seseorang dilarang untuk melakukan seperti kebanyakan manusia (mungkin maksud beliau adalah orang-orang Syiah yang menyambung salat Jumat dengan salat dua rekaat setelah salam –penj), yakni ketika mereka mengikuti salam seketika itu juga dengan dua rakaat salat sunah, karena hal ini adalah pelanggaran terhadap larangan Rasulullah ﷺ. 

“Hikmah di balik ini semua adalah untuk membedakan antara salat yang wajib dengan yang tidak wajib, dan juga untuk membedakan antara ibadah dengan nonibadah. Oleh karena itu, hukumnya mustahab untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, dan untuk bersantap makan sebelum salat Idul Fitri, serta dilarang untuk berpuasa selama satu atau dua hari tepat sebelum memasuki bulan Ramadan. 

“Semua ini dimaksudkan untuk memisahkan antara apa-apa yang dianjurkan ketika puasa, dan apa saja yang tidak, juga untuk memisahkan antara ritus peribadatan dengan ritus selain peribadatan, serta untuk membedakan antara salat Jumat, yang telah Allah wajibkan, dengan salat-salat yang lainnya.” 

Akhir kutipan.

Dengan memisahkan antara salat yang wajib dengan salat nafilah, seseorang telah membedakan antara salat yang satu dengan salat yang lainnya. Beberapa ulama menyebutkan alasan di balik itu, yakni untuk meningkatkan jumlah tempat di mana seseorang melakukan sujud, sehingga tempat-tempat tersebut akan menjadi saksi baginya di Hari Kebangkitan, sebagaimana disebutkan di dalam ungkapan Imam Nawawi Rahimahullah di atas.

Ar-Ramli berkata di dalam Nihaayat al-Muhtaj (1/552), 

Hukumnya Sunah untuk berpindah dalam melaksakan salat nafilah ataupun salat yang wajib, dari tempat di mana seseorang telah melaksanakan salat yang wajib atau salat nafilah. Ini untuk meningkatkan jumlah tempat di mana seseorang melakukan sujud, karena tempat-tempat tersebut akan bersaksi baginya, dan karena hal ini artinya semakin banyak tempat (di muka bumi) yang terisi dengan ibadah. Dan jika seseorang tidak berpindah ke tempat lain, maka dirinya harus memisahkan antara kedua salat tersebut dengan berbicara kepada orang lain." 

Akhir kutipan.

Wallahu’alam bish shawwab.

Sumber:
http://islamqa.info/en/116064

Penerjemah:
Abu Muhammad Al-Irfan
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo

Diberdayakan oleh Blogger.