Halloween party ideas 2015
Tampilkan postingan dengan label Tanya-Jawab. Tampilkan semua postingan



Pertanyaan:
Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh. Akhir-akhir ini banyak orang Islam yang meminum air yang dibacakan Quran dengan keyakinan bahwa dengan begitu mereka bisa jadi kaya atau bertambah ilmunya. Juga ada beberapa orang yang menggunakan air yang telah dibacakan Al-Quran untuk mendapat kesehatan. Mohon, saya ingin tahu apakah tindakan ini diperbolehkan di dalam Islam. Terima kasih

Jawaban oleh tim Fatwa Center IslamWeb, diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqitti

Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Tidak ada yang salah dengan membaca Al-Quran dan berdoa kepada Allah dengannya, sebagaimana diriwayatkan di dalam suatu hadis:

مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ

Barangsiapa membaca Al-Quran, hendaknya dia meminta kepada Allah dengannya," [HR Tirmizi].

Tidak ada yang salah dengan membaca ayat-ayat Ruqyah (syar'i) di atas air untuk kemudian air itu diminum oleh seorang pasien. Ruqyah di sini terdiri atas orang yang membaca ayat-ayat Al-Quran, zikir, dan doa lalu meniupkannya di air tersebut.

Ibnu Muflih berkata: 

"Saalih bin Imam Ahmad berkata: 'Ada beberapa waktu ketika saya sakit, maka ayah saya mengambil sebaskom air dan membacakan Al-Quran di atasnya, lalu beliau bilang ke saya: minumlah ini, dan cuci wajah dan tanganmu dengannya."

Tentang minum air yang telah dibacakan Al-Quran serta keyakinan bahwa seseorang bisa menjadi kaya dab pintar karenanya, maka kami tidak tahu dalilnya dan tidak pernah kami temui ada ulama yang mengatakan hal ini.

Wallahualam bish shawwab.

Fatwa No: 334924
Tanggal: 16 Safar 1438 (16 November 2016)
Sumber: IslamWeb.Net
Penerjemah: Irfan Nugroho (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo)


Pertanyaan:
Semoga Allah menjagamu. Ada seorang bertanya : Seorang penuntut ilmu, apakah ia memulai dengan menghapal Al-Quran atau membaca kitab-kitab ilmu?

Jawaban oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Tidak, Demi Allah. Hendaknya ia mendahulukan untuk menghapal Al-Quran.

Menghapal Al-Quran, tidak ada satupun sebelumnya dari pelajaran-pelajaran yang dihapal manusia, karena Al-Quran adalah Kalamullah,

🔹membacanya adalah ibadah,

🔹mentadabburinya adalah ibadah,

🔹mengamalkan apa yg ditunjukkan olehnya adalah ibadah,

🔹membenarkan kabar yang ada di dalamnya adalah ibadah,

🔹Ia adalah sebaik-baiknya kitab yang diturunkan Allah Ta'ala,

🔹Ia lebih utama dari kitab-kitab yang ditulis manusia dan tidaklah sebanding,

Maka hendaklah manusia memulai dengan menghapal Al-Quran, kemudian menghapal hadits-hadits shahih dari Nabi ﷺَ, seperti 'Umdatul Ahkam milik Abdulghani Al-Maqdisy rahimahullah. Ia merupakan kitab yang sangat ringkas dalam masalah hukum.

Setelah itu, ia mempelajari kitab yang mudah baginya dari kitab-kitab aqidah dan yang lainnya.

Sumber: Silsilah Fatawa Nur 'alad Darb (kaset no. 344)

Pertanyaan:
Assalamualaikum. Bolehkah kami membaca Al-Quran sambil berdiri atau berjalan?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqitti
Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Illah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Boleh bagi seorang Muslim untuk membaca Al-Quran sambil berdiri atau berjalan, karena Rasulullah terbiasa berzikir kepada Allah di semua waktu.

Ketika Muadz Radhiyallahuanhu bertanya kepada Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahuanhu tentang bagaimana dia membaca Quran, dia menjawab:

Saya membacanya baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau saat aku diatas hewan tungganganku, namun terkadang aku masih menambah,” (HR Bukhari: 3998).

Meski demikian, beberapa ulama ahli fikih berpendapat bahwa makruh hukumnya bagi seorang Muslim untuk membaca Quran sambil berjalan jika hatinya tidak bisa mentadaburi makna-maknanya, atau sambil berjalan di pasar, tetapi tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tindakan seperti ini makruh hukumnya, karena membaca Quran adalah salah satu bentuk zikir, dan zikir adalah boleh di tempat-tempat seperti itu.

Wallahu’alam bish shawwab.

Fatwa: 124468
Tanggal: 9 Rajab 1430 (2 Juni 2009)
Sumber: IslamWeb.Net

Sukoharjo, 3 Maret 2016
Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa
Nguter-Sukoharjo, Jawa Tengah


Pertanyaan:
Ustadz, saya memiliki beberapa teman beda agama. Sebagian mereka taat dan sebagian lain seperti halnya muslim yang awam terhadap Islamnya. Secara umum pertemanan kami berjalan seperti biasa, tidak akrab sekali tapi tidak juga jauh. Malah, jika waktu shalat tiba, mereka sering mengingatkan dan menjaga barang - barang kami. Pertanyaannya, apakah hubungan semacam itu termasuk mencintai orang kafir yang dilarang? Sebenarnya apa batasan sikap mencintai dan berlepas diri dari orang kafir dalam hal berinteraksi? Beberapa teman memandang pertemanan semacam ini sebagai hal yang tidak baik dan mereka dingin terhadap orang yang beda agama.

Jawab:
Alhamdulillah, wa shalatu wassalamu 'ala Rasulillah.

Berteman dan bergaul secara baik dengan orang kafir hukumnya haram apabila orang kafir tersebut adalah kafir harbi. Kafir harbi adalah orang - orang kafir militan yang secara nyata memusuhi umat Islam. Kita bisa melihat track record kehidupannya. Mulai dari perkataan, perbuatan maupun tulisan - tulisannya. Atau kegiatannya yang anti Islam.

Allah telah melarang umat Islam menjalin hubungan baik dengan mereka dalam ayat:
"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang - orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.... " (QS. Al-Mujadilah: 22)

Akan tetapi jika mereka bukan kafir harbi, hukumnya boleh. Seperti kita tahu, tidak semua orang kafir memiliki militansi dalam keagamaan mereka. Tidak semuanya memusuhi umat Islam dan senantiasa memendam misi kristenisasi atau hinduisasi dalam setiap aktifitas mereka. Tidak sedikit yang awam dan bahkan tidak terlalu peduli dengan agamanya. Yang mereka utamakan adalah bisa bergaul dengan siapapun dengan nyaman.

Bergaul dengan orang kafir seperti ini hukumnya boleh bahkan memang demikianlah seharusnya. Kita bisa menunjukkan keindahan Islam pada mereka. Apa jadinya jika semua orang kafir disikapi keras dan diabaikan? Siapa yang akan membimbing mereka menuju hidayah?

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang - orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang - orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8).

Inilah batasan dalam sikap berlepas diri dari orang kafir. Yaitu berlepas diri dalam pergaulan dari orang kafir yang memusuhi. Adapun terhadap orang kafir yang tidak memusuhi, kita berlepas diri dari kekufuran - kekufuran yang dilakukan dan tetap bermuamalah dengan baik. Wallahu a'lam.*

Sumber: Majalah Islam Ar-Risalah Edisi 172/ Vol.XXVIII / No. 04 Dzulhijjah - Muharram 1437 H/ Oktober 2015

Pertanyaan:
Apakah salah membaca Bismillah Arrahmaan Arrahiim sebelum membaca Quran jika seseorang tidak memulainya dari awal surat?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Illah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Para ulama ahli bacaan Quran menyatakan bahwa seseorang boleh membaca Basmalah (Bismillah Arrahman Arrahim), boleh juga untuk tidak membaca Basmalah, jika dirinya tidak memulai dari awalan surat.

Jadi, tidak salah bagi seseorang untuk membaca Basmalah jika dirinya membaca dari pertengahan surat sehingga akhir.

Wallahu'alam bish shawwab.

Fatwa: 124816
Tanggal: 19 Rajab 1430 (12 Juni 2009)
Sumber: [IslamWeb.Net]

Sukoharjo, 1 Maret 2016
Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa
Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah


Pertanyaan:
Apakah bidah mengucapkan “Shadaqallahul Adzim” setelah membaca Al-Quran?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji hanya bagi Allah , Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad , keluarganya, dan sahabatnya.

Tidak diragukan lagi bahwa Allah adalah yang Mahabenar, sebagaimana di dalam firmanNya:

... وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ قِيلٗا ١٢٢

“...Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah...” (QS Al-Baqarah [2]: 122).

Tentang ucapan “Shadaqallahul Adzim,” maka hal itu adalah suatu bentuk zikir yang tidak dibatasi. Jadi, mengucapkannya di satu waktu tertentu, tempat tertentu, atau keadaan tertentu adalah tidak memiliki dasar, tidak memiliki hujjah (dalil) dari Al-Quran maupun Sunah.

Jadi, kami nyatakan di sini bahwa tidak boleh menggunakan bentuk zikir seperti ini setelah membaca Al-Quran. Dengan kata lain, ucapan tersebut adalah suatu bidah, karena tidak didukung sama sekali oleh dalil dari As-Sunnah.

Jadi, seorang pembaca Al-Quran disarankan untuk diam di akhir bacaannya karena ada sebuah hadis sahih bahwa Rasulullah bersabda, “Sudah, cukup,” ketika beliau meminta Ibnu Mas’ud Radhiyallahuanhu untuk menghentikan bacaannya, (HR Bukhari).

Artinya, seorang Muslim wajib mencari dalil dari Sunah Rasulullah , lalu mengamalkannya, bukan membuat inovasi (bidah) dalam kata-kata ataupun perbuatan.

Meski demikian, kami berpikir bahwa perbuatan seperti ini adalah hasil dari jauhnya seseorang dari majelis ilmu. Inilah yang membuat para penuntut ilmu terus mengulangi perbuatan seperti ini (mengucapkan Shadaqallahul Adzim setelah membaca Al-Quran) dan berpendapat bahwa hal itu adalah Sunah, padahal bukan.

Wallahu’alam bish shawwab.

Fatwa: 84068
Tanggal: 16 Safar 1423 (29 April 2002)
Sumber:
http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=84068

Sukoharjo, 27 Februari 2016
Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa
Nguter, Sukoharjo-Jawa Tengah


Pertanyaan:
Boleh tidak menaruh sesuatu di atas Kitab Suci Al-Quran?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqitti
Segala puji bagi Allah, Raab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Illah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Para ulama berpendapat bahwa hukumnya disukai ketika menaruh buku-buku, hendaknya Mushaf Al-Quran ditaruh paling atas.

Jika apa yang ditaruh di atas Mushaf bukanlah buku-buku keagamaan, maka hal ini lebih tidak disukai. Bahkan bisa mencapai derajat larangan jika dilakukan untuk menghinakan Mushaf, seperti menaruh sepatu atau sejenisnya di atas Mushaf Al-Quran.

Sungguh, para ulama menyatakan bahwa haram hukumnya menggunakan Mushaf sebagai bantal, atau menindihi Mushaf, atau menjadikan Mushaf sebagai sandaran.

Ini karena Allah berfirman:

 ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ ٣٢

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati,” (QS AL-Hajj [22]: 32).

Wallahu’alam bish shawwab.

Fatwa No: 115602
Tanggal: 4 Zulhijjah 1429 (3 Desember 2008)

Sumber:
http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=115602

Sukoharjo, 21 Februari 2016
Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa
Nguter-Sukoharjo, Jawa Tengah


Pertanyaan:
Bolehkah seorang nonmuslim membaca (dengan memegang mushaf) Quran tanpa menyucikan dirinya terlebih dahulu seperti yang dilakukan oleh umat Islam?

Jawaban Oleh Syekh Abdullah bin Jibrin
Alhamdulillah.
Al-Quran tidak boleh disentuh oleh siapa saja kecuali mereka telah bersuci. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ ٢٨

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis,” (QS At-Taubah [9]: 28).

Dengan dasar ini, orang kafir tidak boleh menyentuh Al-Quran, baik mereka itu penganut agama Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, atau penganut keyakinan yang lainnya.

Akan tetapi, boleh bagi mereka untuk mendengarkan Al-Quran dari radio, televisi, atau dari kaset (MP3 dan semacamnya –pent). Selain itu, mereka juga boleh membaca terjemahan Al-Quran yang tersedia di dalam beberapa bahasa.

Wallahu ‘alam.

Fatwa No: 12225
Tanggal: 18 Januari 2001

Sumber: http://islamqa.info/en/12225

Sukoharjo, 15 Februari 2016
Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa
Nguter-Sukoharjo


Pertanyaan:
Apakah benar bahwa Surat Taha dan Surat Yasiin ditulis sebelum penciptaan bumi dan langit?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Illah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah ﷻ dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Setelah melakukan investigasi, kami tidak menemukan adanya keganjilan dengan kedua surat tersebut. Tetapi memang Alquran itu ditulis di Lauhul Mahfud sebelum penciptaan langit dan bumi, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah di dalam kitabnya, Sifaul Aliil.

Di kitab tersebut beliau mengutip firman Allah ﷻ:

حمٓ ١  وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلۡمُبِينِ ٢  إِنَّا جَعَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيّٗا لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٣ وَإِنَّهُۥ فِيٓ أُمِّ ٱلۡكِتَٰبِ لَدَيۡنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ ٤ 

“Haa Miim, Demi Kitab (Al Quran) yang menerangkan, Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya), Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah,” (QS Az-Zukhruf [43]: 1-4).

Ibnu Abbas Radhiyallahuanhu, ketika menafsirkan ayat di atas, berkata: “Makna Induk Al-Kitab adalah Lauhul Mahfud.”

Muqatil berkata:

“Transkripsinya ada di kitab asal, yaitu Lauhul Mahfud, atau Induk Kitab, yang bermakna asal kitab dan induk dari segala hal. Allah telah menulis Alquran di dalam Lauhul Mahfud sebelum penciptaan bumi dan langit, sebagaimana firmanNya:

 بَلۡ هُوَ قُرۡءَانٞ مَّجِيدٞ ٢١  فِي لَوۡحٖ مَّحۡفُوظِۢ ٢٢ 

“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh,” (QS Al-Buruj [85]: 21-22).

“Seluruh sahabat, juga para tabiin, dan Ahlus Sunnah dan Ahli Hadis bersepakat dalam satu konsensus bahwa segala sesuatu yang akan terjadi sampai Hari Kiamat telah tertulis di dalam Kitab Induk (Lauhul Mahfud), dan Alquran mengindikasikan bahwa Allah Rabb semesta alam telah menulis di Lauhul Mahfud apa-apa yang Allah perbuat dan apa-apa yang Allah firmankan. Allah ﷻ menulis perbuatanNya dan firmanNya di Lauhul Mahfud; sebagai contoh di dalam firmanNya:

تَبَّتۡ يَدَآ أَبِي لَهَبٖ وَتَبَّ ١ 

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa,” (QS Al-Masad [111]: 1).

“Di dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan nasib Abu Lahab sebelum Abu Lahab diciptakan.”

Wallahu’alam bish shawwab.

Fatwa No: 309664
Tanggal: 7 Rabiul Akhir 1437 (18 Januari 2016)

Sumber:
http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=309664

Penerjemah: Irfan Nugroho
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo


Pertanyaan:
Apakah benar bahwa Surat Yasiin itu semua ayatnya atau sebagiannya terdapat di dalam Kitab Taurat?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syeikh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti

Segala puji hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Illah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Setelah melakukan investigasi, kami tidak menemukan seperti apa yang Anda sebutkan di dalam pertanyaan.

Kitab Taurat yang ada di tangan masyarakat hari ini tidak memiliki surat ini [ataupun sebagian dari Surat Yasiin].

Perlu diketahui bahwa Kitab Taurat diturunkan dalam Bahasa Ibrani, sedang Alquran dalam Bahasa Arab.

Wallahu'alam bish shawwab.

Fatwa No: 309745
Tanggal: 7 Rabiul Akhir 1437 (18 Januari 2016)

Sumber:
www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=309745


Penerjemah: Irfan Nugroho

Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo
===============
Pendaftaran Santri Baru Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo Gelombang I dimulai pada:

6 - 18 Februari 2016 (08.00-16.00 WIB)

Melayani Pendaftaran Jarak Jauh Bagi yang Membutuhkan Lebih dari 6 Jam Perjalanan ke Mahad

Info selengkapnya, klik:
===============
Sebar & ajak yg lainnya:
[Telegram.me/pptqattaqwa Telegram.me/pptqattaqwa]
===============


Pertanyaan:
Jika Anda menerima gaji dari mengajarkan Quran, apakah ini haram? Saya mendengar sebuah hadis bahwa suatu saat, seorang sahabat Rasulullah ﷺ mengajari seorang Arab tentang Alquran dan orang Arab tersebut memberi sahabat tadi sebuah panah atau barang yang semisal. Lalu ketika sahabat tadi bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal tersebut, Rasulullah ﷺ berkata, “Kamu telah mengambil api neraka.” Jadi, apakah haram menerima uang dari mengajarkan Quran? Mohon, saya ingin dalil dari Alquran dan Sunah.

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarganya, dan para sahabatnya.

Jika gaji tersebut berasal dari kas bendahara umat Islam (karena di dalam suatu negara yang berhukum Islam ada yang namanya kas Baitul Maal -pent), maka para ulama sepakat bahwa boleh untuk mengambilnya (gaji dari mengajarkan Quran). 

Akan tetapi, jika gaji tersebut bukan berasal dari Baitul Maal umat Islam, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentangnya. Pendapat yang lebih kuat adalah berdasarkan penjelasan berikut ini:

Jika ada orang lain selain dia di antara umat Islam yang bisa mengajarkan Quran, maka dia boleh mengambil gaji tersebut karena dirinya tidak secara khusus diwajibkan untuk mengajari mereka. Akan tetapi jika dia berada di dalam situasi di mana tidak ada satu orang pun kecuali dia yang bisa menjalankan tugas tersebut, maka dia tidak boleh mengambil gaji ini karena dia secara khusus memang wajib untuk mengajari mereka. Inilah penjelasan dari hasil perundingan atas berbagai hujjah.

Ada pula ulama yang berpendapat bahwa orang tersebut boleh mengambil gajinya di semua situasi, sebagaimana ada pula beberapa ulama lainnya yang berpendapat berlainan.

Dari Ubay bin Ka'b ia berkata, 

عَلَّمْتُ رَجُلًا الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ فَرَدَدْتُهَا


"Aku menganjarkan Al Qur'an kepada seseorang, kemudian dia memberi hadiah kepadaku satu busur panah. Lalu aku menyampaikan hal itu kepada Rasulullah ﷺ lalu beliau bersabda: "Jika kamu mengambilnya berarti kamu telah mengambil busur panah dari neraka." Maka aku pun mengembalikannya.” (HR Ibnu Majah: 2149. Al-Albani: Sahih, dalam Sahih Ibnu Majah: 1751).

Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata:

عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ ، فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا ، فَقُلْتُ : لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَآتِيَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَأَسْأَلَنَّهُ ، فَأَتَيْتُهُ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، رَجُلٌ أَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا مِمَّنْ كُنْتُ أُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ ، وَلَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ، قَالَ : إِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا "

Aku mengajari orang-orang ahli Shuffah menulis dan membaca, kemudian terdapat seseorang di antara yang memberiku hadiah sebuah busur panah. Kemudian aku katakan; busur bukanlah sebuah harta, dan aku akan menggunakannya untuk memanah di jalan Allah 'azza wajalla. Sungguh aku akan datang kepada Rasulullah ﷺ dan bertanya kepada beliau. Kemudian aku datang kepada beliau dan aku katakan; wahai Rasulullah, seorang laki-laki di antara orang-orang yang aku ajari menulis dan membaca telah memberiku hadiah sebuah busur panah, dan busur bukanlah merupakan harta dan aku akan menggunakannya untuk memanah di jalan Allah. Beliau berkata: "Apabila engkau ingin dikalungi dengan kalung dari api, maka terimalah!” (HR Ahmad: 22180 & Abu Dawud: 3416. Al-Albani: Sahih).

Syekh Al-Albani dan Syekh Shuaib Al-Arnauth menyatakan kedua hadis tersebut sebagai sahih.

Beberapa ulama menjelaskan bahwa hadis tersebut bermakna, 

Ubadah telah secara sukarela mengajarkan Alquran dan mendasarkan niatnya semata untuk mendapatkan balasan dari Allah ﷻ. Dia tidak berniat untuk sekedar menerima gaji atau keuntungan materiil dari mengajarkan Alquran. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ mengingatkan dia atas sesuatu yang berpotensi menggagalkan ganjaran pahala dari Allah."

Ibnu Katsir berkata, setelah menyebutkan hadis ini, 

“Jika hadis ini benar, banyak ulama--termasuk Ibnu Abdil Baar, menjelaskan seperti ini: ‘Oleh karena Ubaadah telah mengajari pria tersebut hanya karena Allah, tidak boleh baginya setelah itu untuk mengganti ganjaran pahala dari Allah dengan sebuah busur panah.

Wallahu’alam bish shawwab.

Fatwa No : 85953
Tanggal: 20 Rabiul Akhir 1424 (21 Juni 2003).

Sumber:
http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=85953

Penerjemah: Abu Muhammad
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo
===============
Bergabunglah dengan Channel Telegram kami di:


Dapatkan tausiyah langsung di Smartphone Anda!
===============


Pertanyaan:
Apakah boleh mengambil/menerima uang dari mengajarkan Quran?

Jawaban oleh Lajnah Daimah (Vol. 4, Hal. 91)
Alhamdulillah.
Iya, boleh menerima pembayaran dari mengajarkan Quran menurut pendapat yang lebih mendekati benar dari dua pendapat ulama, karena keumuman makna hadis:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

“Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) Kitabullah,” (HR Bukhari

Juga karena adanya kebutuhan yang nyata atas pengajaran Quran. Dan Allah-lah Sumber segala kekuatan. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Sumber:
https://islamqa.info/en/20100

Penerjemah: Irfan Nugroho
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo


Pertanyaan:
Bagaimana hukum penukaran mata uang? Apakah keuntungan dari menjual satu mata uang dengan mata uang lainnya dengan harga pasar dibolehkan?

Juga, bagaimana hukumnya jika, misalnya, saya menukar 1000 Riyal dengan Euro, sesaat kemudian saya tukar ke dalam Dolar, sesaat lagi saya tukar kembali ke dalam Riyal, dan saya mendapat kembalian 1010 Riyal dengan harga global pertukaran mata uang?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamQA, diketuai oleh Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid

Alhamdulillah.
Jual-beli mata uang seperti yang dijelaskan adalah boleh, tunduk pada ketentuan bahwa pertukaran mata uang tersebut) terjadi di tempat yang sama ketika akad dibuat (majelis akad).

Boleh menjual Riyal dengan Euro, tunduk pada ketentuan bahwa proses serah terimanya terjadi di tempat yang sama ketika akad dibuat (majelis akad).

Sah hukumnya menukar Euro dengan Dolar setelah itu, selama syarat di atas terpenuhi.

Jadi, keuntungan yang dihasilkan dari transaksi tersebut adalah boleh.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:

لذَّهَبِ ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِ

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya (tangan ke tangan)," [HR Muslim: 1587].

Fatwa al-Lajnah al-Daa’imah No: 13/458 berbunyi:

Dalam pertukaran mata uang, ia harus diselesaikan di tempat yang sama ketika akad dibuat. Tidak boleh melakukan serah terima dengan adanya penundaan.
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi صلى الله عليه وسلن:
فإذا اختلفت الأجناس فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد
Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya (tangan ke tangan)," [HR Muslim: 1587].

Sumber:
islamqa.info/en/72214


Catatan penerjemah:
Harap dibedakan antara "jual-beli mata uang" dengan "jual-beli uang." Dalam ilmu ekonomi, "jual-beli mata uang" melibatkan dua jenis mata uang yang berbeda.

Jauh berbeda dengan "jual-beli uang" (seperti di Indonesia menjelang Idul Fitri), yang hanya melibatkan satu mata uang. Misal; uang kertas Rp100.000 versi baru dibeli dengan uang kertas Rp120.000 versi lama; dan ini tidak boleh.

Syeikh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti pernah ditanya tentang seseorang yang hendak mengirim uang dari Kanada (dalam mata uang Dolar Kanada) kepada keluarganya di Aljazair (dalam mata uang Dinar), maka beliau menjawab:

Tentang mengirim uang dari satu negara ke negara lain, maka ada keraguan di sini tentang kurang terpenuhinya syarat "majelis akad" (di tempat ketika akad dibuat). 
Fatwa yang kami anut di IslamWeb adalah bahwa larangan ini bisa dihindari jika instansi Money Changer (Penukaran Uang) memberi sebuah cek resmi atau kuitansi penukaran yang tercantum di dalamnya nominal yang akan diterima dalam mata uang yang dituju. Cek ini harus ditunjukkan kepada orang yang hendak mengirim uang.
Cara ini dianggap sama dengan "tangan ke tangan" menurut beberapa ulama kontemporer.
Misal, Akademi Fikih Islam di Liga Muslim Dunia (Rabitah Alam Islami) berpendapat bahwa menerima cek adalah sama dengan menerima uang secara langsung (tangan ke tangan) ketika ketentuan tukar menukar mata uang terpenuhi di kantor penukaran uang.

Sumber:
http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=123193

Penerjemah:
Irfan Nugroho
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo
===============
📲Berlangganan tausiyah:
Telegram.me/pptqattaqwa
===============


Pertanyaan:
Apa yang seharusnya dilakukan ketika kita memasuki masjid dan mendengar seseorang sedang membaca Al-Quran dengan suara yang keras?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syeikh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Illah yang hak untuk disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Jika Anda memasuki masjid dan menemukan seseorang yang membaca Quran dengan suara keras, maka berjalanlah mendekatinya, sapa dia dengan salah, lalu jelaskan kepadanya dengan cara yang lembut dan santun, bahwa apa yang sedang dia lakukan itu bertentangan dengan syariat, karena tidak seharusnya dia mengganggu orang-orang yang sedang beribadah dengan bacaannya yang nyaring.

Ingatkan dia bahwa Rasulullah keluar menemui orang-orang yang sedang melakukan salat sembari membaca Al-Quran dengan suara yang nyaring, maka beliau berkata kepada mereka:

ألا كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفعن بعضكم على بعض في القراءة

Ingatlah bahwa kalian semua sedang bermunajat kepada Raab kalian, maka sekali-kali janganlah kalian mengganggu yang lain, dan jangan meninggikan suara dalam membaca Al-Quran,” (HR Ahmad. Al-Albani: Sahih).

Besar kemungkinan apabila Anda mengikuti cara seperti ini dalam menasihatinya, dia akan menurut, in sya Allah; atau jika tidak, maka Anda telah melakukan apa yang seharusnya Anda lakukan dan akan terbebas dari dosa.

Wallahu’alam bish shawwab

Fatwa Nomor: 308032
Tanggal: 24 Rabiul Awal 1437 (5 Januari 2016).

Sumber:
http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=308032

Penerjemah:
Abu Muhammad Al-Irfani
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo



Pertanyaan:
Anak saya yang wanita berzina dan sekarang dia hamil dengan seorang muslim yang merupakan kakak tirinya sendiri. Saya memakai fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi yang menyatakan bahwa mereka tidak boleh menikah sampai si jabang bayi dilahirkan.

Ayah tiri dari anak putri saya berkata bahwa Syeikh Utsaimin berpendapat bahwa boleh hukumnya untuk menikahi (wanita hamil karena zina) sebelum si jabang bayi dilahirkan.

Dapatkah Anda menjawab pertanyaan ini dan menunjukkan bukti-bukti kepada saya dari Syeikh Utsaimin bahwa boleh hukumnya menikahi (wanita hamil karena zina) sebelum si jabang bayi dilahirkan.

Jika Anda pendapat lain, haruskah saya menikahkannya sekarang sebelum si jabang bayi lahir, ataukah saya harus berpegang pada pendapat pertama saya dan tidak mengijinkan mereka menikah sampai si jabang bayi lahir?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syeikh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Illah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Para fuqaha di zaman dahulu berbeda pendapat tentang hal ini. Ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari Mahzab Hanafi berkata:

Tidak boleh menikahinya (wanita hamil karena zina) sebelum wanita itu melahirkan si jabang bayi, sebagaimana sabda Nabi ,

لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

Wanita hamil tidak boleh digauli hingga melahirkan, dan tidak pula wanita yang tidak hamil hingga mengalami satu kali haid” (HR Abu Dawud: 2157 dan Al-Hakim. Al-Hakim: Sahih. Al-Albani: Sahih).

Selain itu, Said bin Al-Musayyib Rahimahullah meriwayatkan bahwa seorang pria menikahi seorang wanita dan ketika pria tersebut berhubungan intim dengan si wanita tadi, pria ini mendapati bahwa wanita itu ternyata sedang hamil. Akhirnya, ia mengadukan kasus tersebut kepada Rasulullah lalu beliau memisahkan keduanya.

Di lain pihak, ulama Syafiiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa boleh hukumnya menikahi wanita yang hamil karena zina, karena sperma hasil hubungan zina bukanlah penentu. Dalil mereka adalah bahwa nasab suatu keluarga itu tidak didasarkan pada sperma seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah ,

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

Anak itu dinisbatkan kepada pemilik dari suatu ranjang (suami sah), dan batu (rajam) itu untuk mereka yang berbuat zina,” (HR Bukhari dan Muslim).

Kami tidak mendapati sama sekali pendapat dari Syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah yang mengindikasikan bahwa pria yang berzina boleh menikahi wanita yang berzina sebelum dipastikan bahwa si wanita itu tidak sedang hamil.

Sebaliknya, di dalam Syarah Al-Mumti beliau berkata:

Kalimat si pengarang mengindikasikan bahwa tidak boleh seorang pria yang berzina atau siapa pun itu untuk menikahi wanita tersebut selama si wanita itu sedang di masa menunggu (dari zina), meskipun si wanita itu telah bertaubat. Inilah pendapat yang dipakai oleh mayoritas ulama. Hal ini karena anak hasil perzinaan tidaklah dinisbatkan kepada pria yang menzinai ibunya, baik si anak itu meminta hal tersebut ataupun tidak.”

Sehingga, beliau (Syeikh Ibnu Utsaimin) tidak menyebutkan hal-hal yang berlawanan dengan pendapat beliau sendiri seperti tertera di atas.

Berdasarkan hal ini, pendapat yang melarang menikahi wanita yang hamil karena zina memiliki hujjah yang lebih kuat dan lebih selamat. Jadi, pendapat kami adalah bahwa Anda hendaknya tetap keukeuh untuk tidak menikahkannya sampai putri Anda tersebut melahirkan si jabang bayi.

Akhirnya, mohon dicatat bahwa wajib hukumnya untuk menghindari berbagai penyebab yang menggiring pada perbuatan zina. Salah satu penyebab tersebut adalah pria yang memasuki kawasan wanita tanpa memerhatikan rambu-rambu Islam seperti sutrah (pembatas), hijab, atau bercampur baur (antara laki-laki dan perempuan) dan semisalnya.

Sumber:
http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=213442

Penerjemah:
Abu Muhammad Al-Irfani

Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo


Pertanyaan:
Jika saya telah selesai melaksanakan salat yang wajib, lalu saya ingin melaksanakan salat nafilah (salat sunah), apakah hukumnya mustahab untuk berpindah ke tempat lain dalam pelaksanaan salat nafilah tersebut, agar ada lebih banyak tempat di muka bumi ini yang menjadi saksi bagi diri saya (kelak di akhirat)?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamQA, diketuai oleh Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid Hafizahullah

Alhamdulillah.
Ya, hukumnya Mustahab untuk memisah antara salat yang wajib dan salat sunah rawatib dengan berbicara atau berpindah ke titik lain.

Cara terbaik untuk berpindah tempat adalah dengan melaksanakan salat nafilah di rumah, karena salat (sunah) terbaik yang dilakukan oleh seorang pria adalah salat yang ia lakukan di rumahnya--selain salat wajib tentunya--sebagaimana yang diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah ﷺ. Dalil bagi pemisahan seperti yang disebutkan di atas adalah hadis riwayat Imam Muslim di dalam Sahih-nya (nomor 1463) dari sahabat Muawiyah Radhiyallahuanhu, yang berkata: 

Ketika kalian selesai melaksanakan salat Jumat, jangan mengikutinya seketika itu juga dengan salat lain, sampai kalian berbicara atau meninggalkan (masjid), karena Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk melakukannya, yaitu tidak mengikuti suatu salat seketika itu juga dengan salat (wajib) yang lainnya sampai kami berbicara atau meninggalkan (masjid).”

Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata di dalam Syarah Sahih Muslim:

Ini menjadi dalil atas pendapat para sahabat kami (ahli fikih mahzab Syafii), bahwa untuk kasus salat nafilah, baik yang dilakukan secara reguler (salat sunah) atau yang lainnya, maka hukumnya mustahab untuk berpindah dari tempat di mana dilakukan salat yang wajib ke titik lain, dan cara terbaik adalah berpindah ke rumah. Atau, seseorang bisa saja berpindah ke titik lain di dalam masjid atau di mana saja. Hal ini untuk meningkatkan jumlah tempat di mana seseorang itu bersujud, juga untuk memisahkan antara salat nafilah dari salat yang wajib. Kata “sampai kami berbicara” mengindikasikan bahwa memisahkan (antara dua) salat bisa juga dilakukan dengan berbicara, tetapi berpindah adalah lebih disukai sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya.” Wallahu’alam bish shawwab.

Abu Dawud (854) dan Ibnu Majah (1417) meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 

Apakah kalian tidak mampu, ketika salat, untuk berpindah ke depan atau ke belakang, atau ke kanan atau ke kiri?” Maksudnya: melaksanakan salat nafilah, atau salat sunah setelah salat wajib, (Sahih oleh Al-Albani di dalam Sahih Ibnu Majah).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam al-Fataawa al-Kubra (2/359), 

Adalah sunah untuk memisahkan salat yang wajib dengan salat nafilah, baik ketika salat Jumat ataupun yang lainnya, karena hal tersebut terdapat di dalam riwayat yang sahih bahwa Rasulullah ﷺ menyuruh para sahabat untuk tidak mengikuti suatu salat seketika itu juga dengan salat yang lainnya sehingga mereka memisahkan antara kedua salat tersebut dengan berpindah atau berbicara. 

“Jadi, seseorang dilarang untuk melakukan seperti kebanyakan manusia (mungkin maksud beliau adalah orang-orang Syiah yang menyambung salat Jumat dengan salat dua rekaat setelah salam –penj), yakni ketika mereka mengikuti salam seketika itu juga dengan dua rakaat salat sunah, karena hal ini adalah pelanggaran terhadap larangan Rasulullah ﷺ. 

“Hikmah di balik ini semua adalah untuk membedakan antara salat yang wajib dengan yang tidak wajib, dan juga untuk membedakan antara ibadah dengan nonibadah. Oleh karena itu, hukumnya mustahab untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, dan untuk bersantap makan sebelum salat Idul Fitri, serta dilarang untuk berpuasa selama satu atau dua hari tepat sebelum memasuki bulan Ramadan. 

“Semua ini dimaksudkan untuk memisahkan antara apa-apa yang dianjurkan ketika puasa, dan apa saja yang tidak, juga untuk memisahkan antara ritus peribadatan dengan ritus selain peribadatan, serta untuk membedakan antara salat Jumat, yang telah Allah wajibkan, dengan salat-salat yang lainnya.” 

Akhir kutipan.

Dengan memisahkan antara salat yang wajib dengan salat nafilah, seseorang telah membedakan antara salat yang satu dengan salat yang lainnya. Beberapa ulama menyebutkan alasan di balik itu, yakni untuk meningkatkan jumlah tempat di mana seseorang melakukan sujud, sehingga tempat-tempat tersebut akan menjadi saksi baginya di Hari Kebangkitan, sebagaimana disebutkan di dalam ungkapan Imam Nawawi Rahimahullah di atas.

Ar-Ramli berkata di dalam Nihaayat al-Muhtaj (1/552), 

Hukumnya Sunah untuk berpindah dalam melaksakan salat nafilah ataupun salat yang wajib, dari tempat di mana seseorang telah melaksanakan salat yang wajib atau salat nafilah. Ini untuk meningkatkan jumlah tempat di mana seseorang melakukan sujud, karena tempat-tempat tersebut akan bersaksi baginya, dan karena hal ini artinya semakin banyak tempat (di muka bumi) yang terisi dengan ibadah. Dan jika seseorang tidak berpindah ke tempat lain, maka dirinya harus memisahkan antara kedua salat tersebut dengan berbicara kepada orang lain." 

Akhir kutipan.

Wallahu’alam bish shawwab.

Sumber:
http://islamqa.info/en/116064

Penerjemah:
Abu Muhammad Al-Irfan
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo


Pertanyaan:
Di Australia (dan di negara-negara lain -pent) selama natal, ada diskon besar-besaran pada barang seperti baju, furnitur, elektronik, dst.

Bolehkan berbelanja untuk mendapatkan diskon yang biasanya jarang ada di hari-hari lain sepanjang tahun?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamQA, diketuai oleh Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid

Alhamdulillah

Tidak ada yang salah dengan membeli pakaian, peralatan rumah tangga dan lainnya di hari raya orang kafir seperti natal. Dengan syarat, tidak membeli (barang-barang tersebut) untuk membantu perayaan hari raya orang kafir, atau menyerupai orang kafir di hari rayanya.

Di fatwa nomor 69.558, dinyatakan bahwa boleh bagi seorang muslim untuk membuka bisnisnya selama hari raya orang kafir, tetapi dengan dua syarat:

1. Bahwa dirinya tidak menjual barang-barang yang mereka gunakan untuk keperluan perayaan hari raya mereka

2. Bahwa dirinya tidak menjual kepada umat Islam, barang-barang yang bisa digunakan untuk menyerupai orang-orang kafir selama hari raya mereka.

Membeli barang-barang yang diperlukan adalah perkara yang (bisa dibilang merupakan perkara) yang kurang serius (ringan) jika dibandingkan dengan menjual atau membuka toko (karena orang kafir bisa saja membeli sesuatu dari toko seorang muslim untuk merayakan hari raya mereka. Dan hal ini dilarang menurut syarat pertama di atas-pent).

Pada dasarnya, boleh untuk membeli barang-barang, dan fakta bahwa (ada diskon besar-besaran) di hari raya orang kafir adalah tidak mengapa. Wallahu'alam bish shawwab.

Sumber:
http://islamqa.info/en/145676

Penerjemah:
Irfan Nugroho
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo
===============
PP At-Taqwa Sukoharjo SIAGA BANJIR, Mari Bantu! Klik > http://goo.gl/Du4noN
===============
Berlangganan tausiyah:
Telegram.me/pptqattaqwa
WA: +6285647172180
===============
Zakat, Infak, Sedekah via (BRI):
6913-01-018205-53-4
a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa
Konfirmasi: +6285647172180


Pertanyaan:
Bolehkah melakukan salat tahiyatul masjid ketika azan dikumandangkan?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syeikh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau, keluarganya dan sahabatnya.

Akan lebih baik bagi seseorang yang memasuki masjid ketika azan sedang dikumandangkan untuk mendengar dan mengulang kalimat-kalimat azan tersebut, serta menahan diri untuk tidak mengerjakan salat tahiyatul masjid.

Ketika azan telah selesai, orang tersebut boleh membaca doa setelah azan, lalu melakukan salat tahiyatul masjid.

Dengan demikian, ia telah menggabungkan dua keutamaan; 1) keutamaan dari mendengar azan (dan membaca doa setelah azan –pent) juga 2) keutamaan dari mengerjakan salat tahiyatul masjid.

Pendapat ini didasarkan pada pendapat Al-Mardaawi dan Al-Buhuuti Rahimahullah. Keduanya merupakan ulama senior di mahzab Hambali.

Akan tetapi, jika seseorang tidak mendengarkan azan (dan juga membaca doa setelah azan tentunya –pent), karena lebih memilih melaksanakan salat (tahiyatul masjid), maka salatnya tetap sah.

Hanya saja, ia kehilangan peluang untuk memperoleh keutamaan dari menjawab panggilan azan dan membaca selawat dan doa setelah azan.

Akan tetapi, jika hal ini terjadi ketika salat Jumat, maka para ulama berpendapat bahwa, Jika seseorang memasuki masjid ketika azan kedua salat Jumat sedang dikumandangkan, maka ia harus segera melaksanakan salat tahiyatul masjid dan tidak seharusnya menyibukkan diri dengan mengulang kalimat azan.

Hal ini dimaksudkan agar orang tersebut bisa menyimak khutbah sedari awal. Karena, keutamaan menyimak khutbah Jumat lebih diutamakan daripada mengulang kalimat azan. Wallahu’alam bish shawwab.

Sumber:

Penerjemah:
Irfan Nugroho

Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo.


Pertanyaan:
Bolehkah saya membaca artikel di situs ini dan fatwa-fatwa di dalamnya sambil tiduran di ranjang? Bolehkah membaca ayat-ayat Quran atau hadis dalam posisi tiduran?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, di bawah pengawasan Syeikh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarganya, dan sahabatnya.

Boleh membaca Quran atau buku-buku hadis dan fatwa-fatwa ulama sembari tiduran di ranjang.

Ibunda Aisyah Radhiyallahuanha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّكِئُ فِي حِجْرِي وَأَنَا حَائِضٌ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ

"Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersandar (dengan kepalanya) pada pangkuanku, sedangkan aku dalam keadaan sedang haid, maka beliau membaca Quran," [HR Muslim].

Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata (mengenai hadis tersebut):

"Ini artinya, boleh membaca Quran sembari tiduran, juga sembari bersandar pada seorang wanita yang sedang datang bulan."

Wallahu'alam bish shawwab.

Sumber:
www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=277273

Terjemah:
Irfan Nugroho
Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo
===============
💢PP At-Taqwa Sukoharjo SIAGA BANJIR, Mari Bantu! Klik > http://goo.gl/Du4noN
===============
📲Berlangganan tausiyah:
Telegram.me/pptqattaqwa
WA: +6285647172180
===============
💰Zakat, Infak, Sedekah via (BRI):
6913-01-018205-53-4
a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa
Konfirmasi: +6285647172180


Pertanyaan:
Berapa jumlah kata di dalam Alquran Alkarim?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, di bawah pengawasan Syeikh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala pujia hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarganya, dan sahabatnya.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah di dalam " Tafsir-nya" meriwayatkan dari Imam Mujahid Rahimahullah yang berkata:

"Inilah jumlah huruf di dalam Quran, sebagaimana yang kami hitung, yakni: 320.015 huruf (tiga ratus dua puluh ribu lima belas huruf).

Sedangkan jumlah kata di dalam Quran adalah 77.449 kata (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus empat puluh sembilan kata).

Sedangkan jumlah ayatnya, ada lebih dari enam ribu ayat. Beberapa ulama mengatakan 6.236 ayat, sedang yang lainnya mengatakan 6204 atau 6226, dan lain sebagainya.

Jumlah surat di dalam Quran adalah 114 surat. Wallahu'alam bish shawwab.
Allah knows best.

Sumber:
www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=88181

Terjemah:
Irfan Nugroho
Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo
===============
💢PP At-Taqwa Sukoharjo SIAGA BANJIR, Mari Bantu! Klik > http://goo.gl/Du4noN
===============
📲Berlangganan tausiyah:
Telegram.me/pptqattaqwa
WA: +6285647172180
===============
💰Zakat, Infak, Sedekah via (BRI):
6913-01-018205-53-4
a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa
Konfirmasi: +6285647172180
Diberdayakan oleh Blogger.