Halloween party ideas 2015
Tampilkan postingan dengan label Akidah. Tampilkan semua postingan


Orang Jawa menyebutnya bulan ruwah. Diambil dari kata 'arwah'. Sebagian meyakini bahwa Sya'ban adalah bulan di mana para arwah mengunjungi keluarga untuk menunggu 'kiriman'. Mungkin karena keyakinan inilah, bulan Sya'ban menjadi bulan istimewa bagi sebagian orang untuk mengunjungi kuburan para pendahulunya.

Ada yang memilih untuk melaksanakannya secara sendiri-sendiri. Sebagian lagi melakukan secara berjama'ah, dikoordinir oleh ketua adat atau malah imam masjid. Mereka pergi ke kuburan dengan membawa 'kiriman' yang disimbolkan dengan nasi kenduri yang berbentuk kerucut seperti gunung, lengkap dengan ayam utuh yang telah dimasak. Inilah yang biasa disebut juga dengan tradisi "nyadran". Sebagian mengira tradisi tersebut berasal dari Islam, karena rata-rata tradisi semacam ini dipimpin imam masjid. Juga dibumbui dengan doa yang diamini oleh yang hadir.

Perkembangan berikut, tak hanya kuburan orangtua atau keluarganya yang dikunjungi. Tapi juga kuburan orang-orang terkenal yang dianggap punya kelebihan. Tujuannya pun beraneka ragam. Dari yang sekedar ikut-ikutan, hingga mereka yang melakukan kesyirikan karena mengagungkan dan meminta kepada penghuni kubur. Begitulah, satu langkah menuju penyimpangan akan terus berjalan menuju penyimpangan yang makin jauh.

Tak Ada Kaitan
Tak ada secuil dalil yang membenarkan keyakinan bahwa secara khusus para arwah menunggu kiriman di bulan Sya'ban. Apalagi sempat pulang menengok keluarganya. Tak ada kaitan khusus antara bulan Sya'ban dengan nasib orang yang telah mati.

Berangkat dari keyakinan yang tak berdalil ini, wajar jika lahir amaliyah bid'ah yang jauh dari tuntutan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Nabi melarang umatnya menjadikan kuburnya sebagai 'id,

َلَا تَتَّخِذُوا قبري عيدا
"Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat ied." (HR. Abu Dawud)

Yakni tempat perayaan yang dikunjungi pada waktu khusus secara rutin. Untuk kuburan selain Nabi tentu lebih dilarang.

Meskipun dianggap sebagai tradisi Islam, nyadran maupun selamatan di bulan Sya'ban bukanlah cerminan ibadah yang berpahala, bahkan sebagai bid'ah yang mengundang dosa. Karena ibadah itu diterima dengan dua syarat, ikhlas dan mutaba'ah (mengikuti sunnah Nabi). Ikhlas adalah beribadah karena Allah. Sedangkan penjelasan mutaba'ah, dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, "Suatu ibadah tidak dikatakan mutaba'ah kecuali jika menyepakati syariat dalam enam hal, yakni sebab dilakukannya amal, kadarnya, tata caranya, jenisnya, waktu maupun tempatnya."

Padahal tak ada dalil yang menyebutkan bahwa bulan Sya'ban menjadi sebab disyariatkan ibadah tertentu. Tidak dikenal pula di dalam Islam jenis ibadah yang bernama nyadran, tidak pula mengenal tata cara seperti yang dilakukan dalam tradisi tersebut. Tidak pula terdapat keterangan keutamaan waktu dan tempat untuk melakukan ritual tersebut.*

*Sumber: Majalah Ar-Risalah No. 51/ Th. V Rajab - Sya'ban 1426 H/ September 2005 M.

Oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Al-Qur'anul Karim, hadits-hadits shahih, akal sehat, dan fitrah as-salimah meyakini hal itu (bahwa Allah berada di atas 'Arsy).

1. Firman Allah :

(الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ)

"Ar-Rahman bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Thaha: 5).

(Yaitu tinggi dan sangat tinggi) sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Bukhari yang diriwayatkan dari seorang tabi'in.

2. Rasulullah Shallallahu' Alaihi wa Sallam berkhutbah pada hari Arafah ketika haji wada' : Bukankah aku telah menyampaikannya? Sahabat menjawab : benar, kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengangkat jarinya ke langit dan mencodongkannya kepada manusia seraya berkata: Ya Allah, saksikanlah. (HR. Muslim)

3. Seseorang jika melaksanakan shalat ia berdoa dalam sujudnya: "Maha suci Rabbku Yang Maha Tinggi". Dan ketika berdoa ia mengangkat tangannya ke langit.

4. Anak-anak itu jika kamu tanyakan kepada mereka: "Di mana Allah?" Mereka akan menjawab dengan fitrahnya yang sehat, "Allah berada di langit".

5. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Dialah Allah (yang berada) di atas langit" (QS. Al-An'am: 3)

Ibnu Katsir berkata tentang tafsir ayat ini, "Para mufassir telah bersepakat bahwa kami tidak mengatakan sebagaimana dikatakan oleh kaum jahmiyah (firqah sesat), mereka berkata: Sesungguhnya Allah berada di setiap tempat! Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

(Dan maksud berada di langit yaitu di atas langit). Akan tetapi Allah bersama kita dengan ilmuNya, melihat kita, mendengar kita, sedangkan Allah berada di atas 'Arsy.

Sumber:
Wahai Ayah, Apa yang Kau Ajarkan kepada Anakmu? Panduan mendidik Anak bagi orang Tua (Terjemahan), Pustaka Arafah, Halaman 35-36


Pertanyaan:
Apakah benar bahwa Surat Taha dan Surat Yasiin ditulis sebelum penciptaan bumi dan langit?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamWeb, diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqiti
Segala puji hanya bagi Allah, Raab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Illah yang hak untuk diibadahi kecuali Allah ﷻ dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Setelah melakukan investigasi, kami tidak menemukan adanya keganjilan dengan kedua surat tersebut. Tetapi memang Alquran itu ditulis di Lauhul Mahfud sebelum penciptaan langit dan bumi, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah di dalam kitabnya, Sifaul Aliil.

Di kitab tersebut beliau mengutip firman Allah ﷻ:

حمٓ ١  وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلۡمُبِينِ ٢  إِنَّا جَعَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيّٗا لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٣ وَإِنَّهُۥ فِيٓ أُمِّ ٱلۡكِتَٰبِ لَدَيۡنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ ٤ 

“Haa Miim, Demi Kitab (Al Quran) yang menerangkan, Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya), Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah,” (QS Az-Zukhruf [43]: 1-4).

Ibnu Abbas Radhiyallahuanhu, ketika menafsirkan ayat di atas, berkata: “Makna Induk Al-Kitab adalah Lauhul Mahfud.”

Muqatil berkata:

“Transkripsinya ada di kitab asal, yaitu Lauhul Mahfud, atau Induk Kitab, yang bermakna asal kitab dan induk dari segala hal. Allah telah menulis Alquran di dalam Lauhul Mahfud sebelum penciptaan bumi dan langit, sebagaimana firmanNya:

 بَلۡ هُوَ قُرۡءَانٞ مَّجِيدٞ ٢١  فِي لَوۡحٖ مَّحۡفُوظِۢ ٢٢ 

“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh,” (QS Al-Buruj [85]: 21-22).

“Seluruh sahabat, juga para tabiin, dan Ahlus Sunnah dan Ahli Hadis bersepakat dalam satu konsensus bahwa segala sesuatu yang akan terjadi sampai Hari Kiamat telah tertulis di dalam Kitab Induk (Lauhul Mahfud), dan Alquran mengindikasikan bahwa Allah Rabb semesta alam telah menulis di Lauhul Mahfud apa-apa yang Allah perbuat dan apa-apa yang Allah firmankan. Allah ﷻ menulis perbuatanNya dan firmanNya di Lauhul Mahfud; sebagai contoh di dalam firmanNya:

تَبَّتۡ يَدَآ أَبِي لَهَبٖ وَتَبَّ ١ 

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa,” (QS Al-Masad [111]: 1).

“Di dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan nasib Abu Lahab sebelum Abu Lahab diciptakan.”

Wallahu’alam bish shawwab.

Fatwa No: 309664
Tanggal: 7 Rabiul Akhir 1437 (18 Januari 2016)

Sumber:
http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=309664

Penerjemah: Irfan Nugroho
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Sukoharjo


Oleh Uwais Abdullah*
Berawal dari hadis iftiraqul ummah (perpecahan umat), muncullah banyak persepsi dalam menyikapi berbagai kelompok yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Di antara mereka ada yang terkesan memaksakan kelompok tertentu sebagai satu-satunya komunitas yang mendapat jaminan selamat di antara sekian kelompok yang ada. Kemudian, mereka berusaha untuk menyematkan ancaman celaka dan neraka kepada komunitas yang lainnya. Di sisi lain ada juga yang terlalu longgar dalam memaknai hadis tersebut, sehingga menafikan adanya aliran sesat selagi masih menisbatkan dirinya kepada islam meskipun hanya namanya saja.

Untuk mendudukkan hadis tersebut ke dalam realita kehidupan dengan aneka ragam kolompok yang ada, hendaknya kita menilai tidak hanya dari sudut pandang teks yang tertera di dalam hadis dan memaknainya sesuai dengan kehendak kita. Jika demikian adanya, yang dihasilkan hanyalah justifikasi terhap persepsi yang kita simpulkan, kemudian mencari dalil sebagai penguat. Hendaknya kita meneliti secara jeli hadis tersebut serta mengidintifikasi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang maksud dari hadis tersebut.

Hadis yang menyebutkan tentang iftiraqul ummah menjadi 73 golongan adalah sebagai berikut:

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَة

"Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlu kitab berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga, yaitu Al Jama'ah," [HR Abu Dawud: 4597. Al-Albani: Hasan].

Hadis ini atau yang semakna dengannya juga terdapat di beberapa kitab hadis; di antaranya di dalam Sunan Ibnu Majah, Sunan abi Dawud, Musnad Ahmad, Sunan ad-Darimiy, As-Syariah milik Al-Ajuriy.

Hadis ini merupakan pengabaran dari Rasulullah tentang perpecahan yang akan terjadi di tubuh kaum muslimin. Penggunaan kata "ummah" memancing perbincangan para ulama tentang maknanya. Apakah yang dimaksud adalah ummatud da'wah (termasuk di dalamnya Yahudi dan Nasrani atau yang lainnya) yang menjadi obyek dakwah Rasulullah , atau yang dimaksud adalah ummatul ijabah (umat Islam secara khusus).

Imam As-Sindiy berkata,

"Yang dimaksud adalah ummatul ijabah, yaitu ahlul qiblah. Karena istilah “umat” dinisbatkan kepada beliau (Rasulullah ) yang secara langsung dapat dipahami sebagai ummatul ijabah.

Sedangkan ulama lainnya, Dr. Al-Buthiy, bependapat bahwa yang dimaksud dengan “umat” adalah ummatud da'wah. Ini didasarkan pada argumentasi bahwa Rasulullah menggunakan kata “umat” secara umum. Kalau saja yang dimaksud dengan “umat” adalah ummatul ijabah, tentu beliau akan menggunakan isitlah "sataftariqul muslimin." Ini maknanya, yang dimaksud dengan “umat” adalah ummatu da'wah. Kesimpulannya bahwa ummat yang di menjadi obyek dakwah Rasulullah akan terpecah menjadi 73 agama. Dan jaminan bahwa yang selamat adalah hanya satu agama maknanya adalah agam Islam, dengan sekian sekte-sektenya.

Pendapat yang rajih adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh As-Sindiy dengan beberapa alasan:

Pertama,
Bahwa di hadis yang lain Rasulullah menejelaskan bahwa Yahudi dan Masrani terpecah menjadi 71 golongan dan kemudian Rasulullah menjelaskan di waktu yang bersamaan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan. Ini maknanya, yang dimaksud dengan “umat” di hadis tersebut adalah ummatul ijabah yaitu umat Islam.

Kedua,
Bahwa hadis tersebut adalah sebagi bentuk pengabaran terhadap kejadian yang akan datang. Sedangkan perpecahan yang terjadi pada ummatud dakwah seperti Yahudi dan Nasrani sudah terjadi di masa Rasulullah . Dengan demikian, yang lebih tepat untuk memaknai “umat” di dalam hadis tersebut adalah ummatul ijabah.

Adapun yang dimaksud dengan perpecahan di dalam hadis tersebut adalah perpecahan di dalam permasalahn yang bersifat ushul dan i'tiqad, bukan dalam hal furu' (cabang) dan amaliah.

As-sindiy berkata,

"Yang dimaksud adalah perpecahan di dalam perkara ushul dan i'tiqad bukan dalam hal furu' dan amaliah. Karena dalam perkara furu', Islam memberikan kelonggaran yang lebih luas dan hal ini termasuk ke dalam ranah ijtihad para ulama. Sangat banyak kita dapatkan perbedaan dalam hal furu' dan amaliah di kalangan para ulama sedari zaman Rasulullah sampai sekarang.

Di dalam Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud disebutkan bahwa tidaklah termasuk ke dalam firaq madzmumah itu mereka yang berselisih dalam perkara cabang seperti fikih dalam pembahasan halal dan haram, namum yang dimaksud adalah mereka yang menyelisihi ahlulul haq dalam perkara ushul tauhid.

Adapun makna 72 golongan di neraka bukanlah sebuah kepastian bahwa setiap personal dari mereka akan masuk ke dalam neraka dan kekal di dalamnya, karena dari 72 golongan tersebut tidak semuanya keluar dari lingkaran Islam.

Al khattabiy berkata,

"Ungkapan (akan terpecah umatku menjadi 73 golongan) di dalamnya terdapat penjelasan bahwa kelompok-kelompok ini tidaklah keluar dari lingkup Diin, kerena Nabi menyebutnya sebagai umat beliau. Meski demikian, ada di antara kaum muslimin yang munafik yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Atau di antara mereka yang menisbatkan diri kepada Islam, tetapi praktik amal mereka ternyata keluar dari lingkaran Islam.

Jadi, setiap personal dari 72 golongan tersebut tidak berarti masuk ke dalam neraka semuanya. Tetapi ungkapan tersebut adalah ancaman akan akidah-akidah mereka yang menyimpang, yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Di antara mereka ada yang kekal di dalam neraka dan ada juga yang tidak kekal sesuai dengan tingkat kebidahan yang mereka lakukan, dan ada juga yang diampuni kesalahannya oleh Allah .

Ini sebagaimana pernyataan Ibnu Taimiyah, "Sebagaimana kalau kita mengatakan apa yang difirmankan oleh Allah (Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan kezaliman, maka sesungguhnya mereka akan memakan api di dalam perut mereka, [QS. An-Nisa: 10]), maka tidak selayaknya bagi seseorang untuk mengatakan terhadap orang lain secara takyin (personal) bahwa orang tersebut berada di dalam neraka. Hal ini karena bisa jadi ia diampuni oleh Allah dengan kebaikan-kebaikannya yang mengahapuskan kesalahannya. Atau dengan musibah yang mengikisnya, atau Allah sendiri yang mengampuninya atau kemungkinan yang lain.

Lantas pernyataan "wahidah fil jannah," apakah setiap personal dari firkah najiah tidak akan masuk neraka?

Syaikh Utsaimin Rahimahullah menjawab bahwa di antara mereka bisa jadi ada yang masuk neraka, tetapi tidaklah kekal di dalamnya. Beliau juga memberikan gambaran tentang hal ini bahwa manusia terbagi menjadi empat kelompok:
1. Mubtadi Murni, yang tidak mengerjakan sunah sama sekali. Mereka ini kekal di neraka tanpa dipungkiri lagi.

2. Mubtadi yang bercampur (dengan sunah). Mereka berhak masuk ke dalam neraka dan tidak kekal di dalamnya.

3. Suni yang murni. Ia tidak berhak masuk ke dalam neraka, kalau pun ia masuk ke dalam neraka karena maksiat yang ia perbuat, maka mereka tidaklah kekal di dalamnya.

4. Suni yang bercampur (dengan bidah). Mereka seperti firman Allah , "Dan (ada pula) orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk," (QS. At-Taubah: 102). Mereka ini berhak masuk ke dalam neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.

Adapun kelompok yang selamat adalah "jama'ah,” atau dalam redaksi hadis riwayat Imam Tirmizi Rahimahullah disebutkan:


لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي 


"Pasti akan datang kepada ummatku, sesuatu yang telah datang pada bani Israil seperti sejajarnya sandal dengan sandal, sehingga apabila di antara mereka (bani Israil) ada orang yang menggauli ibu kandungnya sendiri secara terang terangan maka pasti di antara ummatku ada yang melakukan demikian, sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan," Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya," [HR Tirmizi: 2641. At-Tirmizi: Hasan Gharib. Al-Albani: Hasan].

As-Sindiy berkata,

"Ungkapan (al-jama'ah) adalah mereka yang sesuai dengan jamaah para sahabat, serta mengambil akidah mereka dan berpegang teguh dengan pola pikir mereka."

Di dalam Aunul Ma’bud disebutkan,

(Al-jama'ah) adalah Ahlul Quran dan Ahlul Hadis dan Ahlul Fikih dan Ahlul Ilmi, yang sejalan dalam mengikuti jejak Nabi di semua kondisi. Mereka tidak merusaknya dan tidak merubahnya, dan tidak pula menggantinya dengan pemikiran-pemikiran yang rusak.”

Aplikasi Hadis Iftiraqul Ummah
Banyak persepsi yang muncul dalam penerapan hadis iftiraqul ummah ini. Di antara mereka ada yang mencoba untuk menyematkan label 72 golongan tersebut kepada kelompok-kelopok tertentu. Di sisi lain, mereka berusaha menggiring opini masyarakat bahwa satu-satunya kelompok yang selamat adalah kelompok miliknya sendiri. Padahal, hadis tersebut sama sekali tidak mendukung pernyataan mereka. Rasulullah tidak mengkhususkan kelompok yang selamat tersebut untuk golongan tertentu dan menafikan kelompok yang lainnya.

Untuk mengukur suatu kelompok atau personal apakah ia termasuk ke dalam golongan yang selamat atau kelompok yang celaka hendaknya menggunakan timbangan Quran dan Sunah. Sedangkan Quran dan Sunah menyebutkan Al-Jamaah atau Ma Ana Alaihi wa Ashabiy sama sekali tidak mengkhususkan pada nama dari kelompok-kelompok tertentu. Maknanya, siapa saja dari kaum muslimin yang terpenuhi padanya sifat kelompok tersebut, maka ia berhak untuk mendapatkan jaminannya, bukan lantas memaksakan berbagai dalil untuk mengkhususkan jaminan tersebut kepada komunitas tertentu dan menafikan komunitas yang lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah berkata tentang golongan yang selamat tersebut,

"Mereka adalah yang berpegang teguh kepada Islam secara murni dan bersih dari penyimpangan. Mereka adalah Ahlus Sunah yang tercakup di dalamnya As-Shiddiqun, Asy-syuhada, Ash-Shalihun. Dan termasuk pula di dalamnya adalah pembawa panji petunjuk, pelita di tengah kegelapan, dan orang-orang yang mempunyai budi pekerti yang luhur dan keutamaannya, dan juga para imam yang kaum muslimin bersepakat atas petunjuk dan keilmuan mereka. Mereka adalah At-Thaifah Al-Manshurah, yang disebutkan di dalam hadis,

لَا يَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللَّهِ مَا يَضُرُّهُمْ مَنْ كَذَّبَهُمْ وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ

Akan senantiasa ada dari umatku sebuah umat yang menegakkan perintah Allah, tidak membahayakan mereka orang yang mendustakan mereka, tidak pula yang menyelisihi mereka hingga keputusan Allah datang kepada mereka sedang mereka masih dalam keadaan seperti itu,” [HR Bukhari].

Dengan demikian, kelompok yang selamat atau Al-Firqatun Najiyah adalah kelompok yang tersebar di kalangan seluruh kaum muslimin yang meniti jejak Rasul dan para sahabatnya. Sehingga, nampaklah kebatilan orang-orang yang menganggap bahwa hanya orang-orang yang bergabung bersama kelompoknya saja yang berhak mendapat julukan Al-Firqatun Najiah dan yang selainnya adalah kelompok yang celaka.

Fudhail bin Iyadh berkata, "Seorang bertanya kepada Imam Malik, Wahai Abu Abdullah, siapakah Ahlu Sunah itu?

Imam Malik menjawab, “Orang yang tidak memiliki laqob (julukan) yang diketahui. Tidak pula jahmiy (pengikut paham Jahmiah), tidak rafidi (penganut Syiah Rafidah), tidak qadariy (penganut paham Qadariah)."

Imam Nawawi ketika menerangkan hadis Rasulullah , “Akan senantisa ada segolongan dari umatku yang mereka berada diatas kebenaran,” beliau mengatakan,

Hadis ini mengandung pengertian bahwa kelompok tersebut terpencar di semua komunitas kaum muslimin. Di antara mereka ada para pemberani yang senantiasa berperang, dan di antara mereka ada ahli fikih, ada pula ahli hadis, ahli zuhud, dan penyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan termasuk pula di dalamnya orang-orang selain mereka dan para ahli kebaikan.”

Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimiy, pen-tahzib Syarah Aqidah Thahawiyah, ketika menyebutkan hadis Rasulullah yang berbunyi, “Diin ini akan senantiasa tegak dan berperang di atasnya segolongan dari kaum muslimin samapi datangnya hari kiamat,berkata:

“Hal ini--wallahu a'lam--memberi penngertian bahwa para mujahidin di jalan Allah adalah orang yang paling utama untuk masuk ke dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang pasukan Tar-Tar dan kewajiban memeranginya,

‘Adapun sekelompok kaum muslimin yang berada di syam, dan mesir dan yang selainnya, maka mereka pada saat ini merupakan orang yang paling berhak untuk masuk dalam kategori At-Thaifah Al-Manshurah, seperti yang disebutkan oleh Rasulullah :

“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang senantiasa berada diatas kebenaran dan tidak akan mampu memberikan kecalakaan kepada mereka orang yang menghinakan mereka atau orang yang menyelisihi mereka sampai datangnya hari kiamat,” (Majmu Fatawa: 28/ 531).

*Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo

Referensi:
Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy As-Sajastani. 1419/1998. Sunan Abi Dawud. -------: Darul Ibnu Hazm.

Ad-Darimi, Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin Al-Fadhl. 1421/2000. Sunan Ad-Darimi. -------: Darul Mughni.

Ahmad bin Hambal, Abu Abdillah. 1419/1998. Musnad Ahmad. ------: Baitul Afkar Ad-Dawliah.

Al-Abadiy, Muhammad Syamsul Adzim. 1399/1979. Aunul Ma’bud. -------: Daarul Fikr

Al-Ajury, Abu Bakar bin Muhamamd bin Al-Husain. 1416/1996. Asy-Syariah. -------: Muassah Qurtubah.

Al-Ashimiy, Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim. 1418/1997. Majmu Fataawa.

Al-Ghunaimi, Abdul Akhir. 1416/1995. Al-Minhah Al-Ilahiah fi Tahdzibi Syarah Aqidah At-Thahawiah. --------: Daarus Sahabah.

Al-Khattabiy. 1351/1932. Maalimus Sunan. -------: Muhammad Raghib At-Tabbakh

An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. 1421/2000. Syarah Sahih Muslim. --------: Daarul Kutub Al-Ilmiah

As-Sindy, Abul Hasan Al-Hanafi. 1416/1996. Syarah Sunan Ibnu Majah. --------: Darul Marifah

Fudhail bin Iyadh. Madarikut Tadrib Wataqribul Masalik. Maktabah Syamilah

http://muntada.islammessage.com

http://www.nokhbah.net


Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ar-Rabii. 1420/1999. Sunan Ibnu Majah. -----: Darus Salamah.


~Dua Skenario Akhir Hayat Kita Jika Hidup di Masa Imam Mahdi..~

Ustadz Abu Fatiah Al-Adnani berkata:

Peristiwa akhir zaman akan diawali dengan bencana alam yang sangat dahsyat.

Maka di sini ada dua skenario:

1) Apakah Allah akan mematikan kita karena bencana yang dahsyat tersebut sehingga kita menjadi syahid karenanya, atau

2) Apakah Allah akan mengizinkan kita berjihad di barisan Imam Mahdi dan menjadi syahid di dalamnya. Wallahu'alam bish shawwab..

Sukoharjo, 29 November 2015
=========
Info Pendaftaran Santri Baru PPTQ At-Taqwa Nguter-Sukoharjo, klik > http://goo.gl/z1aqN4
=========
Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter-Sukoharjo:
Telegram.me/pptqattaqwa
=========


Pertanyaan:
Apa saja tanda-tanda bahwa Allah mencintai seorang hamba, serta bagaimana kita mendapatkan kecintaan Allah?

Jawaban oleh Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid

Alhamdulillah. Allah berfirman:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ  يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَـكُمْ ذُنُوْبَكُمْ  ؕ  وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang," [QS. Ali 'Imran: 31].

إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ الْعَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحْبِبْهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ

"Apabila Allah mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril: "Sesungguhnya Allah mencintai si anu maka cintailah dia". Maka jibril mencintai hamba itu lalu Jibril berseru kepada penduduk langit;; "Sesungguhnya Allah mencintai si anu, maka cintailah dia". Maka seluruh penduduk langit mencintai hamba itu, kemudian orang itu pun dijadikan bisa diterima oleh penduduk bumi," [HR Bukhari & Muslim].

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi," [HR Bukhari].

A. Keutamaan Membaca Alquran

1. Abu Umamah Radhiyallahuanhu meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Bacalah Al-Quran (secara rutin) karena ia akan menjadi syafaat bagi pembacanya di Hari Kebangkitan,” (HR Muslim).

2. Utsman bin Affan Radhiyallahuanhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain,” (HR Bukhari).

3. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahuanhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al Qur`an), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali, aku tidak mengatakan Alif Laam Miim itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf,” (HR Tirmizi).

B. Keutamaan Berzikir
1. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa bertasbih kepada Allah sehabis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, dan bertahmid kepada Allah tiga puluh tiga kali, dan bertakbir kepada Allah tiga puluh tiga kali, hingga semuanya berjumlah sembilan puluh sembilan, -dan beliau menambahkan- dan kesempurnaan seratus adalah membaca Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul walahul hamdu wahuwa 'alaa kulli syai'in qadiir, maka kesalahan-kesalahannya akan diampuni walau sebanyak buih di lautan,” (HR Muslim).

2.      Abu Huraira Radhiyallahuanhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa mengucapkan 'Subhanallah wabihamdihi Maha suci Allah dan segala pujian hanya untuk-Nya' sehari seratus kali, maka kesalahan-kesalahannya akan terampuni walaupun sebanyak buih di lautan,” (HR Bukhari & Muslim).

3.      Abu Musa Radhiyallahuanhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Permisalan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti orang yang hidup dengan yang mati,” [HR Bukhari].

C. Keutamaan Berselawat kepada Nabi ﷺ

1.      Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا ٥٦

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,” (QS Al-Ahzab: 56).

2.      ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aas meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali,” [HR Muslim]. Wallahu’alam bish shawwab..

Sumber:
http://islamqa.info/en/10117

Terjemah: Irfan Nugroho
Staf pengajar di Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter-Sukoharjo.

~Salah Satu Tanda Lemahnya Iman...~

"Mereka yang bergegas menunjukkan simpati kepada nonmuslim yang tertimpa bencana, tetapi lambat dalam mengekspresikan simpati kepada umat Islam yang tertimpa bencana, adalah orang yang lemah imannya dan memiliki masalah dengan aqidah al-wala wal bara' (loyalitas dan antiloyalitas)."

Sumber:
Twit Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid (@almunajjid_En).
=========
Ajak keluarga & teman untuk bergabung dengan channel Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter-Sukoharjo di:

Telegram.me/pptqattaqwa
Facebook.com/pptqattaqwa
www.el-taqwa.com


Syaikh 'Abdul 'Aziz Ath-Thuraifi berkata,

Salah satu tanda kemunafikan adalah menunjukkan kepedulian atas tragedi yang dialami orang-orang kafir, tetapi minim rasa peduli terhadap tragedi yang dialami umat Islam.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ تَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِم  ؕ ْ مَّا هُمْ مِّنْكُمْ وَلَا  مِنْهُمْ ۙ  وَيَحْلِفُوْنَ عَلَى الْكَذِبِ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

"Tidakkah engkau perhatikan orang-orang (munafik) yang menjadikan suatu kaum yang telah dimurkai Allah sebagai sahabat? Orang-orang itu bukan dari (kaum) kamu dan bukan dari (kaum) mereka. Dan mereka bersumpah atas kebohongan, sedang mereka mengetahuinya," [QS. Al-Mujadilah: 14].
===============
*raih pahala dengan berbagi konten bermanfaat
===============
Berlangganan tausiyah dari Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter-Sukoharjo:

Instal aplikasi Telegram via Playstore, klik dan join channel kami di:

telegram.me/pptqattaqwa
===============


Seorang hamba diperintahkan untuk menurnikan niat, tujuan, tendensi segala amalnya hanya tertuju kepada Allah semata. Inilah esensi tauhid yang lurus, yang terbebas dari segala bentuk kesyirikan, penyekutuan atau penyetaraan Allah dengan ciptaanNya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus," [QS. Al-Bayyinah: 5].

Berikut adalah kumpulan nasihat generasi terbaik umat ini, generasi pendahulu yang saleh, tentang makna ikhlas di dalam niat.

Fudhail bin Iyadh berkata:

"Meninggalkan suatu amal karena manusia adalah riya', dan beramal karena manusia adalah syirik, sedangkan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya," [dalam Al-Kabair].

Abdullah bin Mubarrak Rahimahullah berkata:

"Betapa banyak amalab kecil menjadi besar pahalanya karena niat, dan berapa banyak pula amalan besar menjadi kecil karena niat," [dalam Jamiul Ulum Wal Hikam].

Rabi' bin Khutsain Rahimahullah berkata:

"Segala sesuatu yang dilakukan tidak untuk mencari keridhaan Allah niscaya akan sia-sia," [dalam Aifatush Shafwah].

Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata:

"Amal yang dilakukan tanpa keikhlasan dan meneladani Rasulullah bagaikan seorang musafir yang memenuhi kantongnya dengan pasir. Pasir itu memberatkan dirinya dan tidak memberi manfaat apa-apa bagi dirinya," [dalam Al-Fawāid].

Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata:

"Orang yang ikhlas adalah siapa saja yang menyembunyikan segala kebaikannya seperti ia menyembunyikan segala kesalahannya," [dalam Tazkiyatun Nafs].

Mutharif Rahimahullah berkata:

"Kebaikan hati bergantung kepada kebaikan amal, dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat," [dalam Az-Zuhd].

Malik bin Dinar Rahimahullah berkata:

"Niat seorang mukmin lebih cepat sampai daripada amalnya," [dalam Az-Zuhd].

Uwais Al-Qarni Rahimahullah berkata:

"Kamu tidak akan pernah mampu mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati hati dan niat. Adakalanya hati sudah bersamamu, tetapi niat telah lebih dulu berpaling jauh. Adakalanya hatimu berpaling darimu, tetapi niat datang menghampiri. Jangan melihat pada kecilnya dosa, tetapi lihatlah kepada agungnya Zat yang kamu maksiati," [dalam Sifhatush Shafwah].

Sumber:
Jawahirul Mukhtar, disusun oleh Tim Kitabah Dhiyaul Ilmi, terbitan Pustaka Arafah.



Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih," (QS. Asy-Syu’ara: 88 – 89).

Sebagaimana bahwa bumi yang baik untuk bertani memiliki beberapa sifat, begitu pula hati orang yang beriman yang di dalamnya terdapat beberapa sifat, di antaranya:

1. Menerima kebenaran

Hati yang menumbuhkan pengetahuan tentang kebenaran dan mengikutinya. Allah berfirman:

فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat," (QS. Az-Zumar : 17 – 18).

Adapun hati orang-orang kafir yang sakit, maka engkau akan melihatnya, mereka  mengingkari  kebenaran, tetap dalam kebodohannya dan tidak mendapat petunjuk. Allah berfirman:

وَمَا تَأْتِيهِمْ مِنْ آَيَةٍ مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِمْ إِلَّا كَانُوا عَنْهَا مُعْرِضِينَ

“Dan setiap ayat dari ayat-ayat Tuhan yang sampai kepada mereka (orang kafir), semuanya selalu diingkarinya," (QS. Al-An’am : 4).

2. Mencintai kebenaran dan melapangkan dadanya untuk Islam

Pemilik hati yang selamat akan mencintai kebenaran dan melapangkan dadanya untuk mempelajari Islam. Maka atas hal itu, ia pantas mendapatkan hidayah Allah. Adapun pemilik hati yang sakit, mereka membenci kebenaran dan sempit dadanya untuk mendengarkan Islam. Dan atas hal ini, ia ditimpa kesesatan sebagai suatu bentuk hukuman Allah baginya. Allah berfirman:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit," (QS. Al-An’am: 125).

Dan hal tersebut dikarenakan mereka membenci kebenaran. Allah berfirman:

بَلْ جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ وَأَكْثَرُهُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ

“Padahal, dia telah datang membawa kebenaran kepada mereka, tetapi kebanyakan mereka membenci kebenaran," (QS. Al-Mu’minun: 70).

3. Memenuhi seruan iman dan mencintai penambahannya

Pemilik hati yang selamat akan memenuhi seruan iman, sebagaimana Allah menceritakan tentang pemilik hati yang selamat. Allah berfirman tentang mereka:

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آَمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآَمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada iman, (yaitu),” Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,” maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan matikanlah kami beserta orang-orang yang berbakti," (QS. Ali-‘Imran: 193).

Dan orang yang beriman akan senantiasa mencintai bertambahnya iman. Allah berfirman:

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ (124) وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ

“Dan apabila diturunkan suatu surah, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata,”Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini ?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, maka (dengan surah itu) akan menambah kekafiran mereka yang telah ada," (QS. At-Taubah: 124 – 125).

Adapun para pemilik hati yang sakit, engkau lihat mereka menghalangi dari jalan Allah. Allah berfirman:

الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآَخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ بَعِيدٍ

“(yaitu) orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada (kehidupan) akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan (jalan yang) bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh," (QS. Ibrahim: 3).

Dan engkau melihat para pemilik hati yang selamat akan memikirkan di dalam diri mereka dan dalam penciptaan langit dan bumi serta dalam petunjuk yang datang kepada mereka dari pencipta mereka. Yang mengenalkan kepada mereka hikmah dari kehidupan dan kematian serta mensifati bagi mereka dari sesuatu yang telah berlalu maupun yang akan datang, jannah (surga) yang disediakan Allah bagi para hamba-Nya yang beriman, dan adzab (siksaan) yang akan menanti orang-orang kafir. Mereka memikirkan dalam mukjizat rasul shallallahu’alaihi wa sallam, petunjuk tentang kebenarannya dan bagaimana mereka merealisasikan apa saja yang telah Allah perintahkan untuk mewujudkan bagi mereka kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, serta mereka menjauhi adzab neraka. Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka," (QS. Ali ‘Imran: 191).

Akan tetapi orang-orang kafir melepaskan pendengaran dan akal mereka. Adapun segala yang diciptakan bagi mereka dari bahan-bahan perenungan, mereka tidak mengetahuinya kecuali di hari penyesalan pada hari kiamat. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ (10) فَاعْتَرَفُوا بِذَنْبِهِمْ فَسُحْقًا لِأَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Dan mereka berkata, "Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala. Maka mereka mengakui dosanya. Tetapi jauhlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka yang menyala-nyala itu," (QS. Al-Mulk: 10 – 11).

4. At-tadzakkur (mengingat-ingat)

Manusia itu pelupa, akan tetapi pemilik hati yang selamat akan mengingat-ingat. Maka, dia akan melihat dan tidak mendapatinya buta. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya),” (QS. Al-A’raaf: 201).

Oleh karena itu, Allah mensyari’atkan untuk memberi peringatan. Allah berfirman:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin," (QS. Adz-Dzariyat: 55).

Dan firman-Nya:

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى (9) سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى (10) وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى (11) الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى (12) ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى

“Oleh sebab itu berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, dan orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, (yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka), selanjutnya dia di sana tidak mati dan tidak (pula) hidup," (QS. Al-A’la: 9 – 13).

Adapun para pemilik hati yang sakit, engkau lihat mereka dalam kelalaian; tidak beriman. Allah berfirman:

وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْحَسْرَةِ إِذْ قُضِيَ الْأَمْرُ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ وَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus, sedang mereka dalam kelalaian dan mereka tidak beriman," (QS. Maryam: 39).

Maka, jika engkau mengingatkan sebagian dari mereka yang lalai dari akhirat, barangkali dia akan berkata kepadamu, “Apakah hari ini engkau datang untuk mengajarkan Islam kepadaku ? Dan saya seorang muslim yang lebih baik darimu ?!”

5. Al-yaqin (keyakinan)
Pemilik hati yang selamat akan memikirkan, mempelajari, dan mengingat; telah sampai pada keyakinan sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya:

إِنَّ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِلْمُؤْمِنِينَ (3) وَفِي خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَابَّةٍ آَيَاتٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Sungguh, pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang mukmin. Dan pada penciptaan dirimu dan pada makhluk bergerak yang bernyawa yang bertebaran (di bumi) terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) untuk kaum yang meyakini," (QS. Al-Jatsiyah: 3 – 4).

Adapun orang yang lalai dan sakit, maka engkau melihatnya dalam keraguan dan kebimbangan. Allah ta’ala berfirman:

بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ يَلْعَبُونَ

“Tetapi mereka dalam keraguan, mereka bermain-main," (QS. Ad-Dukhan: 9).

Dan dia tidak mengenal al-yaqin (keyakinan) kecuali sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ

“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata),”Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin," (QS. As-Sajdah: 12).

6. Kemudahan hati untuk mengingat Allah

Hati dan kulit para pemilik hati yang selamat akan cenderung mudah untuk mengingat Allah dan ayat-ayat-Nya.

Adapun orang-orang kafir, maka hati mereka akan cenderung keras. Allah berfirman:

أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (22) اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu) ? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah," (QS. Az-Zumar: 22-23).

Engkau lihat para pemilik hati yang keras ini sombong, menentang, dan mengingkari ayat-ayat dan dalil-dalil. Allah berfirman:

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya," (QS. An-Naml: 14).

Dan mereka yang sombong ini dihukum sebagaimana firman Allah ta’ala:

سَأَصْرِفُ عَنْ آَيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

“Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alas an yang benar," (QS. Al-A’raf: 146).

Ini di dunia, dan adapun pada hari kiamat maka mereka akan mendapat balasan sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ

“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (seraya dikatakan kepada mereka),”Kamu telah menghabiskan (rezeki) yang baik untuk kehidupan duniamu, dan kamu telah bersenang-senang (menikmatinya); maka pada hari ini kamu dibalas dengan adzab yang menghinakan, karena kamu sombong di bumi tanpa mengindahkan kebenaran, dank arena kamu berbuat durhaka (tidak taat kepada Allah)," (QS. Al-Ahqaf: 20).

7. Mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah

Orang yang hatinya selamat, akan senantiasa berkomitmen dan taat kepada Rabbnya dan kepada rasul-Nya, serta mengambil jalan di dunia ini di setiap keadaan dari berbagai keadaannya sesuai dengan kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana," (QS. At-Taubah: 71).

Dan komitmen atas perintah Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ

“Wahai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad)," (QS. An-Nisa’: 59).

Dan firman-Nya:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya,” (QS. Al-Hasyr: 7).

Hal itu karena taat kepada rasul maka dia telah menaati Allah. Allah berfirman:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

“Barangsiapa menaati rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah," (QS. An-Nisa’: 80).

Adapun pemilik hati yang sakit, maka engkau lihat dia mengikuti setan yang durhaka, hawa nafsunya, serta mengabdikan dirinya kepada selain Allah. Dan dia akan menyesal, akan tetapi pada hari di mana sudah tak lagi berguna penyesalan. Allah berfirman:

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا

“Pada hari (ketika) wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Wahai, kiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul," (QS. Al-Ahzab: 66).

Dan jika kita mensifati hati kita dengan sifat-sifat baik yang telah disebutkan, kita akan menjadi pemilik hati yang selamat, yang akan menumbuhkan pohon iman di dalamnya. Dan akan berkembang dan berbuah amal-amal shalih. Jika kita tidak mendapati di dalam diri kita amal-amal shalih, maka sesungguhnya hal itu akan menjadikan pohon iman lemah yang telah tumbuh di dalam hati kita dan yang belum sempurna sifat-sifat shalih.  Dan jika kita tidak bersegera untuk memperbaiki apa saja yang ada di hati kita, maka tidak akan pernah mendapati suatu perubahan dari keadaannya. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri," (QS. Ar-Ra’d: 11).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati," (HR. Bukhari dan Muslim).

Hati tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan menumbuhkan keimanan di dalamnya serta menguatkannya.

Sumber:
Kitab Al-Iman, karya Syeikh Abdul Majid Az-Zindani.

Penerjemah:
Ust Najih Ibrahim Hafizahullah
Staf pengajar Bahasa Arab dan Ilmu Fiqih di Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo.



Di sana ada sebab-sebabnya. Apabila iman itu bertambah kuat, maka akan bertambah. Allah berfirman,

وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا

Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya.” (QS. Al-Anfal : 2)

Dan di sana ada sebab-sebab dari kemaksiatan yang melemahkan iman, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Tidaklah seseorang itu berzina, ketika dia berzina dalam keadaan mukmin.”

Jika kita menginginkan kebahagiaan dengan kebenaran iman, maka hendaknya kita menunaikan:

1.Pembenaran dengan kuat di dalam hati melalui ilmu.

2.Amalan di hati dengan jalan mengingat dan merenungkan, terkhusus dalam ayat-ayat kauniyah Allah (yang meliputi seluruh alam) dan ayat-ayat Qur’aniyah (di dalam Al-Qur’an). Baik berupa kabar gembira maupun ancaman.

3.Perkataan lisan, yakni dengan memperbanyak dzikir, berkata benar, berdakwah kepada Allah, memerintahkan pada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran, menuntut ilmu dan mengajarkannya, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

4.Amalan dengan anggota badan, yakni dengan menunaikan rukun-rukun Islam, berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa, dan dengan kesungguhan jiwa untuk melaksanakan perintah Allah serta mendudukkan orang-orang yang shalih sebagaimana dalam firman-Nya,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (28) وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” [28] Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” (QS. Al-Kahfi : 28 – 29)

Sumber:
Az-Zindani, Abdul Majid. --------. Al-Iman. Beirut: ------

Diterjemahkan oleh:
Ust Najih Ibrahim Hafizahullah
Staf pengajar ilmu Fiqih di Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo


Di materi sebelumnya, Syeikh Abdul Majid Az-Zindani menjelaskan dua syarat iman yang hakiki berdasarkan firman Allah:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar," (QS. Al-Hujurat : 15).

Dari sana bisa kita pahami bahwa iman yang benar adalah iman yang mengandung:

1. Al-Aqidah Ats-Tsabitah (akidah yang kuat), yakni keyakinan yang tidak tercampuri oleh keraguan.

2. Amalan yang membenarkan akidah, yang juga merupakan buah dari akidah itu sendiri.

Yang dimaksud dengan amalan pembenar akidah terdiri atas tiga kategori:

1. 'Amalul Qalbi (amalan hati), seperti; takut kepada Allah, bertaubat kepada Allah, dan bertawakkal kepada Allah.

2. 'Amalul Lisan (amalan lisan), seperti; mengucapkan dua kalimat syahadat, bertasbih, istighfar, dan berdakwah kepada Allah.

3. 'Amalul Jawarih (amal anggota badan), seperti; shalat, zakat, puasa, berjihad di jalan Allah, menuntut ilmu karena Allah, serta berdagang, bertani, dan bekerja merupakan perwujudan atas perintah Allah di bumi yang sesuai dengan pengajaran Islam.

Sumber:
Kitab Iman karya Syeikh Abdul Majid Az-Zindani.

Diterjemahkan oleh:
Ust. Najih Ibrahim Hafizahullah
Staf pengajar ilmu fiqih di Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter.


Sesungguhnya Allah telah menjelaskan bagi hamba-Nya tentang hakikat iman, yang merupakan syarat diterimanya amal. Dan akan mewujudkan apa saja yang telah dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang yang beriman.

Iman adalah i’tiqadun (keyakinan) dan ‘amalun (perbuatan)

Allah berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar," (QS. Al-Hujurat : 15).

Dari ayat di atas, kita bisa memahami bahwasanya iman akan benar dan diterima bila; 1) tidak tercampuri keraguan di dalamnya dan 2) disertai dengan amalan jihad lewat harta dan jiwa di jalan Allah.

Keyakinan hati belum cukup untuk diterimanya iman. Sebab iblis sungguh telah beriman kepada Allah. Iblis telah berbicara dengan lisannya sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an:

رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Ya Tuhanku, tangguhkanlah aku sampai pada hari mereka dibangkitkan," (QS. Shaad : 79).

Oleh karenanya, Allah telah menyifati setan dengan kekafiran karena kesombongan atas segala amalan yang telah Allah perintahkan kepadanya. Allah berfirman:

إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“…… kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir," (QS. Al-Baqarah : 34).

Sumber:
Kitab Iman karya Syeikh Abdul Majid Az-Zindani.

Diterjemahkan oleh:
Ust. Najih Ibrahim Hafizahullah
Staf pengajar ilmu fiqih di Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter.


Oleh Ust Lukman Al-Azhar, Lc*
Pada hakikatnya meminta adalah perbuatan yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Dan dianjurkan bagi seorang muslim menahan dirinya dari meminta sesuatu yang bersifat keduniaan yang ada ditangan orang lain. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ

Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai oleh Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu,” (HR. Ibnu Majah).

Dan Rasulullah juga mengabarkan tentang tercelanya orang yang meminta-minta sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Tidaklah seorang lelaki senantiasa meminta-minta hingga pada hari kiamat kelak ia akan datang dan dengan wajah yang tak berdaging,” (HR. Bukhari).

Ada pun hukum mengabulkan permintaan orang yang meminta maka hal ini terbagi dalam beberapa keadaan.

1. Seseorang meminta dengan cara umum yang digunakan oleh manusia tanpa mengaitkan dengan Allah

Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta kepada orang lain dengan mengatakan, “Wahai Fulan, berilah saya sesuatu.” Permintaan semacam ini dianjurkan bagi kita untuk memberinya selagi tidak digunakan untuk kemaksiatan seperti meminta uang untuk membeli Khamr. Namun, mengabulkan permintaan ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan.

2. Meminta dengan mengaitkan permintaannya kepada Allah

Permintaan semacam ini ada dua jenis:
a. Meminta dengan syari’at Allah
Hal ini sebagimana seorang fakir yang meminta haknya secara syar’i kepada seseorang yang kaya, seperti meminta zakat, sedekah dan yang sejenisnya.

Hukum mengabulkan permintaan yang semacam ini tergantung pada keadaannya. Apabila ia adalah orang yang berhak dan sangat membutuhkan, maka wajib bagi kita untuk mengabulkan sekadar apa yang ia butuhkan. Dan apabila ia tidak termasuk orang yang berhak, maka kita tidak diwajibkan untuk mengabulkannya.

b. Meminta dengan cara menyebut atau bersumpah atas nama Allah
Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta dengan menggunakan kata-kata ( أسألك بالله ) “Saya meminta kepadamu atas nama Allah.”

Maka, mengabulkan permintaan yang semacam tergantung kepada apa yang dimintanya. Apabila yang diminta adalah sesuatu yang mubah secara syar’i, maka hukumnya adalah wajib untuk dikabulkan. Akan tetapi, apabila yang diminta adalah sesuatu yang diharamkan atau membahayakan, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.

Sebagaimana seseorang yang meminta uang atas nama Allah namun akan digunakan untuk membeli khamr, dan juga orang yang meminta untuk menceritakan rahasia atau aib keluarga, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.

Wajibnya mengabulkan permintaan orang yang meminta atas nama Allah ini disandarkan kepada hadist Rasulullah:

مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

Barang siapa yang meminta perlindungan kepada Allah maka lindungilah ia. Dan barang siapa yang meminta kepada Allah maka berilah ia. Dan barang siapa siapa mengundangmu maka datangilah ia. Dan barang siapa berbuat baik kepadamu maka balaslah kebaikan kepadanya. Dan apabila engkau tidak mendapatkan apa yang cukup untuk membalas kebaikannya maka berdoalah baginya sampai engkau merasa bahwa engkau telah cukup dalam membalas budinya,” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

Demikian juga dengan hadits Rasulullah:

مَلْعُوْنٌ مَنْ سُئِلَ بِوَجْهِ اللهِ وَمَلْعُوْنٌ مَنْ يُسْأَلُ بِوَجْهِهِ ثُمَ مَنَعَ سَائِلَهُ مَالَمْ يَسْأَلْ هَجْرًا

Terlaknat orang yang dimintai dengan wajah Allah dan terlaknatlah orang yang dimintai atas nama Allah kemudian ia menolak permintaannya, kecuali permintaan untuk memutuskan hubungan,” (HR. Thabrani, beliau berkata di dalam tanbihul ghafilin bahwa rijal isnadnya shahih kecuali syaikhnya yang bernama Yahya bin Utsman bin Shalih dan kebanyakan ahlu hadits mentsiqahkannya).

Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ الْبَرِيَّةِ قَالُوا بَلَى قَالَ الَّذِي يُسْأَلُ بِاللَّهِ وَلَا يُعْطِي بِهِ

Maukah aku kabarkan kepada kalian seburuk-buruk manusia? Mereka (para sahabat) berkata, ‘Iya wahai Rasulullah.’ Rasulullah bersabda, “Seseorang yang dimintai dengan nama Allah namun ia tidak memberinya,” (HR. Ahmad).

Beberapa hadist di atas sangat jelas mewajibkan untuk mengabulkan permintaan orang yang meminta atas nama Allah. Ada beberapa alasan tentang diwajibkannya mengabulkan permintaan ini:

Karena membebaskan sumpah adalah wajib, maka ketika seseorang bersumpah kepada kita agar kita melakukan sesuatu maka diwajibkan bagi kita untuk melakukannya selagi tidak dalam kemaksiatan. Hal ini sebagaimana hadist Rasulullah terhadap seorang wanita yang diberi hadiah kurma namun ia hanya memakan sebahagiannya dan meninggalkan sebahagian yang lain. Maka kemudian sang pemberi hadiah bersumpah kepada wanita tersebut agar memakan sisanya, namun ia menolak, sehingga Rasulullah bersabda kepadanya:

أَبِرِّيهَا فَإِنَّ الْإِثْمَ عَلَى الْمُحَنِّثِ

Bebaskanlah ia dari sumpahnya karena akan mendapat dosa bagi orang yang mengingkari sumpahnya,” (HR.Ahmad).

Sebagai bentuk pengagungan terhadap terhadap nama Allah yang disebutkan saat meminta.

Referensi:
1. Fathul Majid, karya Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab
2. Qoulul Mufid, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
3. Taisirul Azizil Hamid, karya Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad Bin Abdul Wahhab
4. Minhajul Muslim, karya Abu Bakar Jabir Al-Jazairiy

*Penulis adalah Mudir (Direktur) Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa, Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Diberdayakan oleh Blogger.