Halloween party ideas 2015
Tampilkan postingan dengan label Akidah. Tampilkan semua postingan

Oleh Ust. Uwais Abdullah, Lc

Iman terhadap takdir atau ketetapan Allah merupakan pokok aqidah ahlus sunah wal jamaah. Apa yang menimpa seorang manusia berupa kebaikan dan keburukan, dan apa-apa yang terjadi di muka bumi telah dicatat Allah  di Lauhil Mahfud. Allah berfirman:
"مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ" {الحديد 22 }

"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." {Al Hadid 22}

Ibnu Abbas mengomentari ayat diatas seraya berkata: "Itu semua –penulisan takdir- telah selesai sebelum diciptakan nafsi –manusia-(tafsir At Thobary 13/265)
Imam muslim meriwatyat dari Abdillah bin Amr, ia berkata saya mendengar Rusululloh  bersabda :
 
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ



"Allah telah menulis takdir seluruh alam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi"(Shohih Muslim Lisyarkh An Nawawi 16/166, Kitab Qodar, Bab Hujaj Adam Wa Musa, hadits 2653, )


Maka, ketika manusia mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, ridho dan menerima akan ketentuan Allah  sebauh keharusan baginya. 
Kita diperintahkan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah , tatkala kita diberi cobaan oleh Allah  berupa musibah atau yang semisalnya. Mungkin dengannya Allah  ingin mengangkat derajat kita disisi-Nya. Rosululloh  bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
"sesungguhnya besarnya balasan itu sesuai dengan besarnya cobaan, dan bahwa sannya Allah tatkala mencintai sebauah kaum (hambnya) maka mereka akan diberi cobaan. Barang siapa yang ridho terhadapnya baginya adalah keridhoan Allah  dan barang siapa yang menolak maka baginya kemurkaan-Nya (HR At Tirmidzi)

Sifat Orang Munafiq
Salah satu sifat seorang munafiq adalah menolak takdir Allah  dengan menggunakan perkataan-perkataan mereka. Sebagamana yang Allah  abadikan dalam Al-Qur'an surat Ali Imron:


يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا

Mereka –orang-orang munafik- berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini"(Ali Imron 154).

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair bahwa ayahnya berkata: "dan telah diperlihatkan kepaduku, tatkala rasa takut yang sangat menylinap pada diri kami, Allah menurunkan rasa kantuk, dan tidak ada seorang diantara kami kecuali dagunya menempel di dada. Demi Allah, sesungguhnya saya mendengar perkataan mu'tab bin qusyair, dan tidaklah aku mendengarnya kecuali bagaikan mimpi. Ia mengatakan: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini, maka saya hafal perkataannya. Ketika itu turunlah surat (Ali Imron 154) (fathul majid 2/766).

Beginilah perkataan orang munafiq, mereka sering mengucapkan kata (اللو) "andai kata" sebagai unkapan untuk menolak takdir. Kemudian Allah membantah perkataan mereka dengan firman-Nya:

قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ


Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.

Hukum mengatakan (اللو) "seandainya" dan sejenisnya.

Sering kita mendegar ucapan "seandainya bigini tentu aku akan begini" atau yang sejinisnya, bahkan ungkapan itu keluar dari lisan kita secara sadar maupun tidak. Kalau orang munafiq sering mengucapkannya sebagai ungkapan untuk menolak ketentuan Allah. Apakah hal itu menunjukkan larangan secara mutlaq?

Abdurrohman Asy Sya'di di dalam bukunya "qoulu syadid fi syarkh kitabut at tauhid" menerangkan bahwa kata (اللو) seandainya" mempunyai dua keadaan. Pertama tercela seperti orang mengalami sesuatu yang tidak disukai kemudian berkata: 

"Seandainya saya tidak melakukannya tentu saya tidak akan terkena musibah ini" atau yang semisalnya. Kedua: boleh bahkan merupakan hal yang terpuji. Seperti orang yang berangan-angan dalam hal kebaikan atau haya sebagai sebagai berita.

Sedangkan Syeikh Syeih Utsaimin lebih rinci dalam menjelaskannya. Beliau mengelompokkan penggukaan kata (اللو) "seandainya" menjadi enam kelompok (Qoulu Al Mufid 2/361-362) yaitu:

1. Kata itu digunakan sebagai ungkapan untuk menolak sebuat syareat Allah swt.

Hal ini sebagai mana yang dilakukan oleh orang-orang munafiq terkhusus Abdullah bin Ubai. Allah berfirman:

الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا (آل عمران:168)


Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: 

"Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh," (Ali Imron 168).

Imam At Thobari dalam tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Ishaq bahwa ia menafsirkan ayat " لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا " yaitu : kematian adalah sebuah keniscayaan. Jikalau –Oranng munafiq- sanggup menolak mati pada dirinya, maka lakukanlah. Mereka mengatakan hal itu hayalah untuk menyembunyikan kemunafikan dan ingin meninggalkan Jihad Fi Sabilillah. Mereka menginginkan tinggal didunia dan lari dari kematian. (Tafsir Ath Thobary 3/206). Maka hal ini diharomkan Allah.

2. Digunakan sebagai ungkapan untuk menolak takdir Allah.

Hal ini sebagaimana yang telah kami terangkan diatas –salah satu sifat orang munafiq-. Maka, ini juga di larang Allah.

3. Sebagai ungkapan penyesalan. 
Seperti perkataan siswa yang tidak naik kelas "seandainya tahun ini saya belalajar rajin, saya akan naik kelas" ia mengucapkannya bukan untuk menolak takdir akan tetapi haya sebagai sebatas penyesalan. Maka, Hal ini juga dilarang oleh islam, karena penyesalan akan menimbulkan kesedihan dan kefuturan yang mana itu semua adalah pintu-pintu masuknya syaithon untuk menggoda manusia.

4. Berhujah dengan tadir dalam hal kemaksiatan kepada Allah. 

Seringkali ketika kita menasehati orang yang berbuat maksiat, mereka mengatakan "ini adalah takdir Allah. Seandainya Allah  tidak menakdirkannya, saya tidak akan melakukannya". Allah  menolok hujah orang-orang yang menyekutukan-Nya, dan tetap memasukkan mereka dalam neraka. Allah  berfirman:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا 
حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ

Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: 

"Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun". 

Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: 

"Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. (Al An'am:148)

5. Digunakan sebagai angan-agan atau cita-cita. 
Dalam masalah ini, hukumnya tergantung kepada obyek atau apa yang menjadi angan-angannaya. Jika digunakan utuk angan-angan yang baik maka hukumnya juga baik. 


Sebaliknya jika ia mengangan-angan hal yang buruk maka tidak diperbolehkan. 

Sebagaimana hadits yang panjang tentang empat golongan, salah satu dari mereka berangan-angan "seandainya saya mempunyai harta, sungguh saya akan beramal sebagaimana sifulan beramal" yaitu dalam ketaatan kepada Allah. Dan yang lain juga mengatakan sebagaimana yang pertama, akan tetapi ia berangan-angan dalam kemaksiatan. Rosululloh bersabda untuk yang pertama

فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ


"Dan ia hanya meniatkan maka pahala keduanya sama."

Kemudian beliau bersabda bagi golangan kedua:


فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ


"Dan ia hanya meniatkan maka dosa keduanya sama" 

6. Digunakan sebatas berita. 
seperti "seandainya ustadz masuk saya akan selalu memperhatikannya dan mengambil faedah yang banyak dari beliau." Hal ini diperbolehkan oleh islam. Sebab Rosululloh pernah bersabda:


لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الهَدْيِ وَلَأَحَلَلْتُ مَعَكُمْ


"Seandainya aku menemui urusanku (haji) saya tidak akan berpaling, saya tidak akan membawa hewan qurban dan pasti akan bertahalul bersama kalian"

Penutup 
Takdir adalah rahsia Allah  dan tidak perlu untuk dicari. Kita hanya diperintahkan untuk bersemangat dalam beramal. Rosululloh  bersabda:


"Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah  dari pada mukmin yang lemah dan semuanya mempunyai kebaikan. bersegeralah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah  -dalam segala urusan-, dan janganlah bersikap lemah. 

Dan apabila kalian mendapatkan musibah jangan katakan "seandainya saya berbuat begitu, saya akan begini atau begitu" akan tetapi telah ditetapkan Allah  dan apa bila Dia berkehendak maka akan terlaksana, karena sesungguhnya (اللو) "seandainya" membuka amalan syaithon" (HR muslim).

Dari hadits ini rosululloh memberikan anjuran kepada kita untuk selalu bersemangat beramal dalam dua keadaan. Keadaang yang sesuai dengan cita-cita, dan keadaan yang tidak menyenangkan. 


Maroji'
• Taisir Al-Aziz Al-Hamid fi Syarh Kitabut Tauhid / Sulaiman bin Abdillah bin Abdul Wahhab /Al Maktab Al Islamy / Beirut / Cet. Ke-6 / 1985 M
• Fathul Majid Li Syarkh Kitabut Tauhid / Abdurrohman bin Hasan bin Muahammad bin Abdulwahab
• Qoulu Al Mufid Fi Syarhi Kitabut Tauhid / Syikh Muhammad Sholih Al Utsaimin /Daru Ibnu Al Jauyi / 1419 H – 1999 M
• Qoulu Syadid Fi Syarkh Kitabut At Tauhid /Abdurrohman Asy Sya'di 
• Syarh Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi / Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad Dimsyaqi /Al Maktabah Asy Syamilah
• Jami'ul Al Bayan 'An Ta'wili Ayyil Al Qur'an / Imam Ibnu Jarir Ath Thobary/ Darul Fikr / 1421 H – 2001 M

Oleh Sheikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Penyimpangan dari akidah yang benar adalah kehancuran dan kesesatan karena aqidah yang benar merupakan motivator utama bagi amal yang bermanfaat.

Tanpa akidah yang benar, seseorang akan menjadi mangsa bagi persangkaan dan keragu-raguan yang lama-kelamaan mungkin menumpuk dan menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan, sehingga hidupnya terasa sempit lalu ia ingin terbebas dari kesempitan tersebut dengan menyudahi hidup, sekalipun dengan bunuh diri, sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang telah kehilangan hidayah aqidah yang benar. Masyarakat yang tidak dipimpin oleh akidah yang benar merupakan masyarakat bahimi (hewani), tidak memiliki prinsip-prinsip hidup bahagia, sekalipun mereka bergelimang materi tetapi terkadang justru sering menyeret mereka pada kehancuran, sebagaimana yang kita lihat pada masyarakat jahiliyah karena sesungguhnya kekayaan materi memerlukan taujih (pengarahan) dalam penggunaannya dan tidak ada pemberi arahan yang benar kecuali akidah yang benar.

Allah berfirman,

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih,” (QS Al-Mu’minuun: 51).

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dawud kurnia dari Kami. Kami berfirman, ‘Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud,’ dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya, dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS Saba: 10-11).

Maka kekuatan aqidah tidak boleh dipisahkan dari kekuatan madiyah (materi). Jika hal itu dilakukan dengan menyelewengkan kepada akidah batil, maka kekuatan materi akan berubah menjadi sarana penghancur dan alat perusak, seperti yang terjadi di negara-negara kafir yang memiliki materi, tetapi tidak memiliki akidah yang benar dan lurus.

Sebab-sebab penyimpangan dari akidah shahihah yang harus kita ketahui yaitu:

1. Kebodohan terhadap akidah shahihah, karena tidak mau (enggan) mempelajari dan mengajarkannya, atau karena kurangnya perhatian terhadapnya, sehingga tumbuh suatu generasi yang tidak mengenal akidah shahihah dan juga tidak mengetahui lawan atau kawan. Akibatnya, mereka meyakini sesuatu yang haq sebagai sesuatu yang batil dan yang batil dianggap sebagai haq. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Umar bin Khattab:

“Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu demi satu, manakala di dalam Islam terhadap orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan.”
2. Ta’ashub (Fanatik) kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya, sekalipun hal itu batil dan mencampakkan apa yang menyalahinya, sekalipun hal itu benar. Sebagaimana firman Allah:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al-Baqarah: 170).

3. Taklid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah akidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenarannya, sebagaimana yang terjadi pada golongan-golongan mu’tazilah, jahmiyah, dan lainnya. Mereka bertaklid kepada orang-orang sebelum mereka dari para pemimpin yang sesat, sehingga mereka juga sesat, dan jauh dari akidah yang benar.

4. Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya, sehingga meyakini pada diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik berupa mendatangkan kemanfaatan maupun menolak kemudharatan, juga menjadikan para wali itu sebagai perantara antara Allah dan Makhluk-Nya, sehingga sampai pada tingkat penyembahan para wali tersebut dan bukan menyembah Allah. Mereka bertaqarrub kepada kuburan para wali itu dengan hewan qurban, nadzar, doa, istighatsah, dan meminta pertolongan. Sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh terhadap orang-orang shalih mereka berkata,

“Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula kamu meninggalkan penyembahan Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan nasr,” (QS Nuh: 23).

Dan demikianlah yang terjadi pada para pengagung kuburan di berbagai negara sekarang ini.

5. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam kitab-Nya (ayat-ayat Quraniyah). Di samping itu, juga terbuat dengan hasil-hasil teknologi dan kebudayaan, sampai-sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi manusia semata, sehingga mereka mengagung-agungkan manusia serta menisbathkan seluruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan-penemuan manusia semata sebagaimana kesombongan Qarun yang mengatakan,

“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku,” (QS Al-Qashsh: 78).

Dan sebagaimana perkataan orang lain yang juga sombong:

“Ini adalah hakku...” (QS Fushilat: 50).

“Sesungguhnya aku diberi nikmat ini hanyalah karena kepintaranku,” (QS Az-Zumar: 49).


Mereka tidak berpikir dan tidak pula melihat keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam ini dan yang telah menimbun berbagai macam keistimewaan di dalamnya. Juga yang telah menciptakan manusia lengkap dengan bekal keahlian dan kemampuan guna menemukan keistimewaan-keistimewaan alam serta memfungsikannya demi kepentingan manusia,

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu,” (QS Ash-Shaffat: 96).

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah...” (QS Al-A’raf: 185).

"Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah),” (QS Ibrahim: 32-34).


6. Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong dari pengarahan yang benar (menurut Islam). Padahal, Rasulullah telah bersabda:

“Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang kemudian membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi,” (HR Bukhari).

Jadi, orang tua mempunya peranan besar dalam meluruskan jalan hidup anak-anaknya.

7. Enggannya media pendidikan dan media informasi melaksanakan tugasnya. Kurikulum pendidikan kebanyakan tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap pendidikan agama Islam, bahkan ada yang tidak peduli sama sekali. Sedangkan media informasi baik media cetak maupun elektronik berubah menjadi sarana peghancur dan perusak, atau paling tidak hanya memfokuskan pada hal-hal yang bersifat materi dan hiburan semata, tidak memperhatikan hal-hal yang dapat meluruskan moral dan menanamkan akidah serta menangkis aliran-aliran sesat. Dari sini muncullah generasi yang telanjang tanpa senjata, yang tidak berdaya di hadapan pasukan kekufuran yang lengkap persenjataannya.

Cara-cara Menanggulangi Penyimpangan Akidah
Cara menaggulangi penyimpangan di atas teringkas dalam poin-poin berikut ini:

1. Kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk mengambil akidah yang benar dan lurus. Sebagaimana para salaf shalih mengambil aqidah mereka dari keduanya. Tidak akan dapat memperbaiki akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah memperbaiki umat pendahulunya. Juga dengan mengkaji aqidah golongan sesat dan mengenal syubhat-syubhat mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, karena siapa yang tidak mengenal keburukan, ia dikhawatirkan terperosok ke dalamnya.

2. Memberi perhatian pada pengajaran akidah yang lurus berdasarkan aqidah para salah, di berbagai jenjang pendidikan. Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini.

3. Harus ditetapkan kita-kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran. Sedangkan kita-kitab kelompok yang menyimpang harus dijauhkan.

4. Menyebar para da’i yang meluruskan akidah umat Islam dengan mengajarkan akidah salaf serta menjawab dan menolak seluruh akidah batil. Wallahu’alam bish shawwab.

Oleh Sheikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan

Akidah adalah taqifiyah. Artinya, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalamnya kecuali terbatas kepada apa yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Sebab tidak seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allah Ta’ala, tentang apa-apa yang wajib bagi-Nya dan apa yang harus disucikan dari-Nya melainkan Allah ta’ala sendiri. Dan tidak seorang pun sesudah Allah yang lebih mengetahui tentang Allah selain Rasulullah. Oleh karena itu, manhaj salaf ash-shalih dan para pengikutnya dalam mengambil aqidah terbatas pada Al-Quran dan As-Sunnah.

Maka segala yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah tentang hak Allah, mereka mengimani, meyakini, dan mengamalkannya. Sedangkan apa yang tidak ditunjukkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, mereka menolak dan menafikkannya dari Allah. Karena itu, tidak ada pertentangan di antara mereka dalam i’tiqad. Bahkan akidah mereka adalah satu, dan jamaah mereka adalah satu. Karena Allah ta’ala sudah menjamin orang yang berpegang teguh dengan Al-Quran dan As-Sunnah dengan kesatuan kata, kebenaran aqidah dan kesatuan manhaj. Allah ta’ala berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semua pada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” (Ali Imran: 103).

“Jika datang kepadamu petunjuk dari padaKu, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka,” (Thahaa: 123).
Karena itulah mereka dinamakan firqah najiyah (golongan yang selamat). Sebab, Rasulullah telah bersaksi bahwa merekalah yang selamat, ketika memberitahukan bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan yang kesemuanya di neraka, kecuali satu golongan. Ketika ditanya tentang yang satu itu, beliau menjawab:

“Mereka adalah orang yang berada di atas ajaran yang sama dengan ajaranku pada hari ini, dan para sahabatku,” (HR Ahmad).
Kebenaran sabda baginda Rasulullah tersebut telah terbukti ketika sebagian manusia membangun akidahnya di atas landasan selain Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Mereka membangunnya di atas landasan ilmu kalam dan kaidah-kaidah manthiq yang diwarisi dari filsafat Yunani dan Romawi. Maka terjadilah peyimpangan dan perpecahan dalam aqidah yang mengakibatkan pecahnya umat dan retaknya masyarakat Islam.

Oleh Sheikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Akidah Secara Etimologi
Akidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. “I’tiqadtu kadzaa” artinya “saya beri’tiqad begini.” Maksudnya, “saya mengikat hati terhadap hal tersebut.” Akidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan, “Dia mempunyai akidah yang benar,” berarti akidahnya bebas dari keraguan.

Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.

Akidah Secara Syara’
Akidah secara syara’ berarti iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.

Syariat terbagi menjadi dua: i’tiqadiyah dan amaliyah.

I’tiqadiyah adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Seperti i’tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, juga beri’tiqad terhadap rukun-rukun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok agama).

Amaliyah adalah segala yang berhubungan dengan tata cara amal, seperti shalat, zakat, puasa, dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Bagian ini disebut far’iyah (cabang agama), karena ia dibangun di atas i’tiqadiyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i’tiqadiyah.

Maka akidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana Firman Allah:

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya,” (Al-Kahfi: 110).

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalmu, dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi,” (Az-Zumar: 65).

“Maka sembahlah Allaj dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih dari syirik,” (Az-Zumar: 2-3).

Ayat-ayat di atas dan yang senada, yang jumlahnya banyak, menunjukkan bahwa segala amal tidak diterima jika tidak bersih dari syirik. Karena itulah, perhatian Nabi yang pertama kali adalah pelurusan akidah. Dan hal pertama yang didakwahkan para Rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia. Sebagaimana Firman Allah:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut,” (An-Nahl: 36).

Dan setiap Rasul selalu mengucapkan pada awal dakwahnya,

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada tuhan bagimu selain Allah,” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85).
Pernyataan tersebut diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan seluruh Rasul. Selama 13 tahun di Makkah – sesudah bi’tsah – Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan akidah, karena hal itu merupakan landasan bangunan Islam. Para dai dan para pelurus agama dalam setiap masa telah mengikuti jejak para Rasul dalam berdakwah. Sehingga mereka memulai dengan dakwah kepada tauhid dan pelurusan akidan, setelah itu mereka mengajak kepada seluruh perintah agama Islam secara kaffah. 
Diberdayakan oleh Blogger.