Halloween party ideas 2015


Oleh Ust Lukman Al-Azhar, Lc*
Pada hakikatnya meminta adalah perbuatan yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Dan dianjurkan bagi seorang muslim menahan dirinya dari meminta sesuatu yang bersifat keduniaan yang ada ditangan orang lain. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ

Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai oleh Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu,” (HR. Ibnu Majah).

Dan Rasulullah juga mengabarkan tentang tercelanya orang yang meminta-minta sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Tidaklah seorang lelaki senantiasa meminta-minta hingga pada hari kiamat kelak ia akan datang dan dengan wajah yang tak berdaging,” (HR. Bukhari).

Ada pun hukum mengabulkan permintaan orang yang meminta maka hal ini terbagi dalam beberapa keadaan.

1. Seseorang meminta dengan cara umum yang digunakan oleh manusia tanpa mengaitkan dengan Allah

Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta kepada orang lain dengan mengatakan, “Wahai Fulan, berilah saya sesuatu.” Permintaan semacam ini dianjurkan bagi kita untuk memberinya selagi tidak digunakan untuk kemaksiatan seperti meminta uang untuk membeli Khamr. Namun, mengabulkan permintaan ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan.

2. Meminta dengan mengaitkan permintaannya kepada Allah

Permintaan semacam ini ada dua jenis:
a. Meminta dengan syari’at Allah
Hal ini sebagimana seorang fakir yang meminta haknya secara syar’i kepada seseorang yang kaya, seperti meminta zakat, sedekah dan yang sejenisnya.

Hukum mengabulkan permintaan yang semacam ini tergantung pada keadaannya. Apabila ia adalah orang yang berhak dan sangat membutuhkan, maka wajib bagi kita untuk mengabulkan sekadar apa yang ia butuhkan. Dan apabila ia tidak termasuk orang yang berhak, maka kita tidak diwajibkan untuk mengabulkannya.

b. Meminta dengan cara menyebut atau bersumpah atas nama Allah
Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta dengan menggunakan kata-kata ( أسألك بالله ) “Saya meminta kepadamu atas nama Allah.”

Maka, mengabulkan permintaan yang semacam tergantung kepada apa yang dimintanya. Apabila yang diminta adalah sesuatu yang mubah secara syar’i, maka hukumnya adalah wajib untuk dikabulkan. Akan tetapi, apabila yang diminta adalah sesuatu yang diharamkan atau membahayakan, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.

Sebagaimana seseorang yang meminta uang atas nama Allah namun akan digunakan untuk membeli khamr, dan juga orang yang meminta untuk menceritakan rahasia atau aib keluarga, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.

Wajibnya mengabulkan permintaan orang yang meminta atas nama Allah ini disandarkan kepada hadist Rasulullah:

مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

Barang siapa yang meminta perlindungan kepada Allah maka lindungilah ia. Dan barang siapa yang meminta kepada Allah maka berilah ia. Dan barang siapa siapa mengundangmu maka datangilah ia. Dan barang siapa berbuat baik kepadamu maka balaslah kebaikan kepadanya. Dan apabila engkau tidak mendapatkan apa yang cukup untuk membalas kebaikannya maka berdoalah baginya sampai engkau merasa bahwa engkau telah cukup dalam membalas budinya,” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

Demikian juga dengan hadits Rasulullah:

مَلْعُوْنٌ مَنْ سُئِلَ بِوَجْهِ اللهِ وَمَلْعُوْنٌ مَنْ يُسْأَلُ بِوَجْهِهِ ثُمَ مَنَعَ سَائِلَهُ مَالَمْ يَسْأَلْ هَجْرًا

Terlaknat orang yang dimintai dengan wajah Allah dan terlaknatlah orang yang dimintai atas nama Allah kemudian ia menolak permintaannya, kecuali permintaan untuk memutuskan hubungan,” (HR. Thabrani, beliau berkata di dalam tanbihul ghafilin bahwa rijal isnadnya shahih kecuali syaikhnya yang bernama Yahya bin Utsman bin Shalih dan kebanyakan ahlu hadits mentsiqahkannya).

Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ الْبَرِيَّةِ قَالُوا بَلَى قَالَ الَّذِي يُسْأَلُ بِاللَّهِ وَلَا يُعْطِي بِهِ

Maukah aku kabarkan kepada kalian seburuk-buruk manusia? Mereka (para sahabat) berkata, ‘Iya wahai Rasulullah.’ Rasulullah bersabda, “Seseorang yang dimintai dengan nama Allah namun ia tidak memberinya,” (HR. Ahmad).

Beberapa hadist di atas sangat jelas mewajibkan untuk mengabulkan permintaan orang yang meminta atas nama Allah. Ada beberapa alasan tentang diwajibkannya mengabulkan permintaan ini:

Karena membebaskan sumpah adalah wajib, maka ketika seseorang bersumpah kepada kita agar kita melakukan sesuatu maka diwajibkan bagi kita untuk melakukannya selagi tidak dalam kemaksiatan. Hal ini sebagaimana hadist Rasulullah terhadap seorang wanita yang diberi hadiah kurma namun ia hanya memakan sebahagiannya dan meninggalkan sebahagian yang lain. Maka kemudian sang pemberi hadiah bersumpah kepada wanita tersebut agar memakan sisanya, namun ia menolak, sehingga Rasulullah bersabda kepadanya:

أَبِرِّيهَا فَإِنَّ الْإِثْمَ عَلَى الْمُحَنِّثِ

Bebaskanlah ia dari sumpahnya karena akan mendapat dosa bagi orang yang mengingkari sumpahnya,” (HR.Ahmad).

Sebagai bentuk pengagungan terhadap terhadap nama Allah yang disebutkan saat meminta.

Referensi:
1. Fathul Majid, karya Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab
2. Qoulul Mufid, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
3. Taisirul Azizil Hamid, karya Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad Bin Abdul Wahhab
4. Minhajul Muslim, karya Abu Bakar Jabir Al-Jazairiy

*Penulis adalah Mudir (Direktur) Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa, Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Diberdayakan oleh Blogger.