Majelis ilmu bagi muslimah adalah sebuah keniscayaan yang harus ada. Dengannya muslimah memahami ilmu yang benar, ibadah yang sah, dan termotivasi untuk beramal. Di samping manfaat lain berupa ukhuwah, ta'aruf dengan muslimah lain sehingga melahirkan sikap ta'awun 'alal birri wa taqwa di antara mereka. Segala kelebihan tersebut terkumpul dalam hadits Nabi yang mensifatkan majelis ilmu sebagai "riyadhul jannah", taman-taman jannah.
Meski demikian, ternyata tidak seluruh yang hadir beruntung dengan segala kelebihan dan fadhilah majelis tersebut. Sebagian lebih memilih comberan di antara mata air yang jernih, lebih menyukai bangkai di tengah hamparan buah-buahan yang segar, dan memilih sampah di antara taman bunga yang indah. Mereka menjadikan majelis ilmu sebagai ajang untuk menggunjing, kesempatan untuk "qiil wa qaal" (menyebarkan kabar burung) dan medan untuk mengorek aib saudara-saudaranya. Majelis ilmu diperlakukan layaknya sarang gosip dan pabrik isu.
MENGHADIRI WALIMAH
Hadirnya muslimah dalam walimah pernikahan dan semisalnya adalah positif jika dimaksudkan untuk memenuhi undangan saudaranya. Kedatangannya merupakan kebahagiaan tersendiri bagi yang mengundangnya. Kesempatan untuk mempererat ukhuwah di kalangan muslimah pun terbuka dalam acara seperti ini.
Ironisnya, ada yang merasa mendapat kenikmatan jika sepulang menghadiri walimah dapat mengoceh tentang penganten yang kurang serasi fisiknya, menu tak bermutu yang tak sepadan dengan tingkat kekayaannya atau sambutan yang tidak menyejukkan para tamunya. Jelas orang semacam ini hanya memetik madharat dari kesempatan yang mulia tersebut.
BERKUNJUNG KE RUMAH SAUDARA
Saling mengunjungi antara keluarga muslim juga merupakan amal yang memiliki fadhilah tinggi, bahkan Nabi bersabda:
"Sesungguhnya di sekitar arsy ada mimbar-mimbar yang di atasnya ada kaum yang wajah mereka bercahaya, baju-baju mereka bercahaya, padahal mereka bukan para nabi dan bukan pula para syuhada', hingga para nabi dan para syuhada' takjub dengan keadaan mereka." Para sahabat berkata, "Sebutkanlah sifat mereka kepada kami wahai Rasulullah !" Beliau bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dan saling mengunjungi karena Allah." (HR. An-Nasa'i)
Di samping itu, ia juga merupakan wasilah untuk mendapatkan rejeki dan memanjangkan umur.
Akan tetapi pemilik hati yang sakit, pikiran yang kotor dan lidah usil akan luput pula dari keutamaan ini. Ia merasa mendapatkan sesuatu yang sangat berharga ketika dapat mengantongi seabrek data-data aib keluarga yang dikunjunginya. Untuk selanjutnya, akan dijadikan bahan menggunjing, keluarga fulan jorok, rumahnya seperti kapal pecah, bakhil terhadap tamu, anaknya tak terurus, anggota keluarganya kacau dan sebagainya. Padahal:
مَنْ سَتَرَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَشَفَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ كَشَفَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ حَتَّى يَفْضَحَهُ بِهَا فِي بَيْتِهِ
"Barang siapa yang menutupi aib saudaranya muslim, Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat, dan barang siapa mengumbar aib saudaranya muslim, maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya." (HR. Ibnu Majah)
Sehingga kita dapatkan bahwa orang yang suka menyebar aib akhirnya menjadi orang yang paling nampak aibnya di hadapan manusia, wal 'iyadhu billah.
LEBIH SERIUS DARI KONDISI BIASA
Jika dalam suasana, waktu dan tempat yang memiliki fadhilah utama seorang muslimah hanya dapat memetik madharat, bagaimana halnya di tempat lain yang tidak lebih steril dari pemicu dosa dan maksiat?
Para ulama memandang bahwa suatu dosa yang dilakukan dalam kondisi, waktu dan tempat utama untuk beribadah adalah lebih serius dari dosa sejenis yang dikerjakan di kesempatan yang lain. Berzina di rumah bordil memang dosa besar, namun lebih mana jika dibandingkan dengan orang yang berzina di siang Ramadhan, di masjid dan saat orang-orang sedang shalat berjamaah di dalamnya. Yang kedua jelas lebih berbahaya, karena di dalamnya mengandung unsur pelecehan dan penghinaan terhadap keutamaan suatu kesempatan.
Maka hendaknya kita waspada dari bencana besar dengan banyak-banyak memenjarakan lisan kita, menahannya kecuali untuk sesuatu yang benar dan bermanfaat.
NAFSU BICARA
Para aktivis muslimah atau istri aktivis walaupun -alhamdulillah- telah dapat menjaga dari tindakan keji dan zina, namun bukan jaminan bahwa dia dapat menjaga lisannya. Sedangkan nabi telah mengingatkan bahaya keduanya dalam tingkatan yang sejajar. Bahkan beliau memberikan jaminan jannah bagi yang mampu menjaga lisan dan kemaluannya.
Nafsu untuk bercerita kepada orang lain terhadap segala sesuatu yang pernah didengar menjadi penyakit berbahaya yang menjangkiti banyak manusia, tak terkecuali para muslimah. Padahal pelakunya dicap pendusta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِع
"Cukuplah seseorang dikatakan pendusta jika dia menceritakan setiap apa yang dia dengar." (HR. Muslim)
Karena bisa jadi yang ia dengar hanyalah isu dan berita burung atau informasi dusta belaka, jika dia turut menyebarkannya berarti dia juga pendusta karena menyebarkan kedustaan. Tidak setiap yang kita dengar boleh kita ceritakan, bahkan tak setiap berita yang benar mesti kita sebarkan. Karena bisa jadi mengandung unsur ghibah, provokasi, menyingkap rahasia saudaranya tanpa alasan yang benar atau mengungkit aib saudaranya.
MERASA LEBIH BAIK
Ke mana lagi muara segala penyakit tersebut jika bukan perasaan ujub dan merasa lebih baik. Mungkin karena orang lain lebih muda usianya, belum lama kenal agama, warna kerudung tak segelap yang dipakainya, atau bacaan Qur'annya tak sefasih dirinya. Padahal Allah membagi amal sebagaimana membagi rejeki. Bisa jadi, meski dalam amal tertentu dia lebih unggul, namun untuk urusan lain belum tentu orang yang mencatat memiliki kebaikan seperti yang dimiliki orang yang dicacat. Bisa jadi dia lebih ikhlas, lebih tulus, lebih bisa menjaga lisan dan kehormatannya, lebih banyak sedekahnya, lebih khusyuk shalatnya dan sebagainya.
Alangkah indahnya gambaran yang diungkapkan oleh seorang salaf tentang tawadhu' yang merupakan lawan dari ujub, "Tatkala engkau melihat orang yang lebih muda darimu engkau berkata "Aku telah lebih dahulu bermaksiat dibanding dia, maka dia lebih baik daripada saya" dan tatkala engkau melihat yang lebih tua berkata "Dia lebih dahulu beramal shalih daripada aku, maka dia lebih baik dariku."
Namun bukan berarti dengan alasan tersebut boleh meninggalkan nahi mungkar. Akan tetapi bagi yang telah dewasa pikirannya tentunya dapat membedakan mana yang termasuk indikasi mencegah kemungkaran, mana pula yang hanya membongkar dan mempermalukan saudaranya. Sehingga perlu pula untuk dimengerti bahwa kemungkaran yang kita ingkari, kita tegur pelakunya dan kita desak untuk menghentikannya adalah sesuatu yang disepakati sebagai suatu kemungkaran. Bukan perkara yang masuk dalam wilayah ikhtilaf para ulama. Perlu pula dibedakan antara kemungkaran dengan kekurangan dalam hal afdhaliyah amal.
JANGAN MAU MENJADI PARTNER
Pelaku ghibah dan hobi ngoceh tak akan banyak berkutik jika tidak mendapat respon dari lawan bicara. Sehingga diperlukan keberanian dan ketegasan untuk menegur atau mengacuhkan seseorang yang tengah menggunjing. Sebab bertemunya ia dengan pendengar setia yang antusias dengan gunjingannya seakan pemain bola yang mendapat support dari penontonnya. Dia kian bersemangat untuk mengumbar omongannya. Sedangkan Allah melarang kita tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Wallahu a'lam.*
*Sumber: Majalah Ar-Risalah No.22/Th.2 Muharram - Shafar 1424 H/ April 2003