Halloween party ideas 2015
Tampilkan postingan dengan label Kajian. Tampilkan semua postingan


~Khutbah Iedul Adha 1436 H oleh Ust Uwais Abdullah (Pengasuh Ponpes Tahfidzul Qur'an At-Taqwa Nguter Sukoharjo)~

"Bagaimana pun kekuatan yang dimiliki oleh seseorang, ia tetap akan membutuhkan orang-orang lemah yang akan membuat dirinya menjadi kuat. Bagaimana pun kekayaan yang dimiliki seseorang, ia akan membutuhkan orang-orang miskin yang akan menopang kekayaannya. Bagaimana pun tinggi jabatan seseorang, ia akan tetap membutuhkan orang-orang bawahan yang akan memperkuat kedudukannya."

Ust. Uwais Abdullah
(Pengasuh Ponpes Tahfidzul Qur'an At-Taqwa Nguter, Sukoharjo)

Download di:
https://www.dropbox.com/s/22qpv9358wju7jn/PPTQ%20Attaqwa%20Uwais%20Abdullah-Khutbah%20Ied%201436%20H.mp3?dl=0



Adab-adab  do'a  merupakan  kunci  ajaib bagi terkabulnya  do'a.  Jika seseorang tidak beradab dalam do'a maka  do'anya tidak berarti apa-apa. Adab-adab ini sangat berpengaruh terkabulnya do'a.

Orang yang tidak beradab dengan adab-adab dalam berdo'a, maka do'anya  seperti seorang  lelaki yang  menghadap  seorang Raja di dunia meminta kebaikannya, tetapi tidak mendahuluinya dengan mengucapkan salam, dan tidak berkata baik di hadapannya. Ia justru memulainya dengan menyampaikan  kebutuhannya secara langsung.

Maka coba kita bayangkan  orang  yang seperti  ini  perilakunya  apakah  ia akan berhasil  mendapatkan  apa  yang  ia minta?

Jika  kita memahami  hal tersebut,  maka ketahuilah  bahwa Allah  lebih  berhak  dan lebih  utama  untuk  disikapi  dengan adab yang sangat baik  oleh  hamba-Nya.  Dengan berada  di hadapan-Nya  dengan  hati  yang hina  dan  menunduk sebelum mulai dengan  hati  yang  meminta  dan memohon.

Diantara  adab  berdo'a  yang  harus diperhatikan adalah  bersimpuh  di hadapan-Nya  dengan  menguntaikan do'a sambil  merendahakan  diri;  memuji  Allah dan bershalawat  kepada  Nabi.

Inilah yang pertama kali  yang dilakukan, yaitu  memuji Allah, menyanjung-Nya sesuai dengan kedudukan-Nya, menyampaikan shalawat dan salam kepada Nabi, kemudian  menyampaikan permohonan  kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Diriwayatkan dari Fadhalah bin Abid radhiyallahu'anhu,  ia berkata:

Ketika  Rasulullah sedang duduk,  tiba-tiba datang seorang pria lalu ia shalat, lalu  berdo'a: "Ya  Allah ampuni aku dan rahmati aku."

Kemudian Rasulullah berkata: "Kamu  tergesa-gesa wahai Anda yang shalat, jika kamu shalat maka duduklah, lalu pujilah Allah dengan pujian yang sesuai untuk-Nya lalu bershalawatlah kepadaku kemudian berdo'a".

Fadhalah berkata: "Lalu datang pria lain melakukan shalat, kemudian memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi."

Maka Nabi berkata, "Wahai anda yang shalat, berdo'alah, do'amu dikabulkan," [HT Abu Dawud & Tirmizi].

1) Berwudhu
Wudhu termasuk adab yang baik, sehingga engkau disambut Allah dalam keadaan suci, siap bermunajat dan memohon kepada-Nya. Dalam hadits Abu  Musa Al-Asy'ari radhiyallahu'anhu  disebutkan:

Ketika Nabi akan memohonkan ampun untuk Abid Abu Amir, beliau berwudhu lalu mengangkat kedua tangan-Nya, lalu berdo'a: "Ya Allah ampunilah Abid Abu Amir," [HR Bukhari & Muslim].

2) Menghadap kiblat   
Menghadap kiblat merupakan simbol kejujuran untuk menghadap dengan jujur. Dan ketika Nabi mendo'akan keburukan untuk kaum kafir Quraisy beliau menghadap kiblat, [HR Bukhari & Muslim].

3) Mengangkat Tangan Ketika berdo'a
Ini merupakan simbol kehinaan, ketundukkan dan kefakiran. Semakin bertambah kebutuhan, semakin tinggi mengangkat tangan dan merendahkan diri. Oleh karena itu mengangkat tangan ketika istisqa (memohon  hujan) lebih tinggi karena kebutuhannya sangat besar.

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْن

"Sesungguhnya Allah Maha Hidup dan Maha Mulia, Dia merasa malu apabila seseorang mengangkat kedua tangannya kepadaNya dan kembali dalam keadaan kosong tidak membawa hasil," [HR Tirmizi & Ibnu Majah, Abu Isa berakata hadits ini adalah hadits hasan gharib].

4) Melakukan amal shalih sebelum berdo'a   
Jika seseorang melakukan amal shalih ketika hendak berdo'a seperti shalat, puasa, sedekah, maka itu merupakan adab yang baik yang diharapkan do'anya akan diijabah. Oleh karena itu do'a setelah shalat fardhu adalah waktu yang sangat besar kemungkinan suatu doa diijabahi. Hal ini karena doa dilakukan setelah melakikan amal shalih. 

5) Menggunakan kata-kata yang baik dan lengkap
Sangat bagus memperbanyak do'a dengan do'a-do'a yang  bersumber dari Al-Quran dan Hadist,  tetapi boleh juga jika ingin berdo'a dengan do'a yang ia kehendaki. Namun dalam beberapa kondisi lebih bagus jika mencukupkan dengan do'a-do'a yang berasal dari Al-Quran dan Hadist.

6) Merendahkan suara dalam berdo'a
Orang yang berdo'a sedang berbicara dengan Tuhannya Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Dia Maha mengetahui rahasia dan yang tersembunyi. Merendahkan suara merupakan bentuk kehinaan, ketundukan dan adab yang baik.

Allah berfirman:

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً‌  ؕ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ‌ ۚ
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas," [QS. Al-A'raf: 55].

Allah telah memuji Nabi Zakaria karena ia merendahkan suaranya ketika berdo'a.  Allah berfirman:

ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَـبْدَهٗ زَكَرِيَّا ‌  ۖ   ‌ۚ
"(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria," [QS. Maryam: 2].

اِذْ نَادٰى رَبَّهٗ  نِدَآءً خَفِيًّا
"yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut," [QS. Maryam: 3].

7) Memilih nama Allah yang sesuai dengan keagungan-Nya
Yakni berdo'a melalui nama-nama Allah yang baik yang ada di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tidak  boleh menggunakan nama-nama yang tidak pernah ada di dalam AlQur'an maupun as-sunnah, atau nama-nama yang dibuat-buat oleh ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu. Allah berfirman:

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَآءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا‌ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِىْۤ اَسْمَآٮِٕهٖ‌ ؕ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

"Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan," [QS. Al-A'raf: 180].

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: "Allah menamakan nama-nama-Nya dengan nama-nama yang indah karena indah didengar dan indah dihati. Semua nama-nama-Nya menunjukkan akan keesaan-Nya, kemuliaan-Nya, kemurahan-Nya, dan karunia-Nya." Wallahu'alam bish shawwab.

Sumber:
Mahmud, Azhari Ahmad. --------. Agar Doa Anda Mustajab. Penerjemah: Daday Hidayat.



Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih," (QS. Asy-Syu’ara: 88 – 89).

Sebagaimana bahwa bumi yang baik untuk bertani memiliki beberapa sifat, begitu pula hati orang yang beriman yang di dalamnya terdapat beberapa sifat, di antaranya:

1. Menerima kebenaran

Hati yang menumbuhkan pengetahuan tentang kebenaran dan mengikutinya. Allah berfirman:

فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat," (QS. Az-Zumar : 17 – 18).

Adapun hati orang-orang kafir yang sakit, maka engkau akan melihatnya, mereka  mengingkari  kebenaran, tetap dalam kebodohannya dan tidak mendapat petunjuk. Allah berfirman:

وَمَا تَأْتِيهِمْ مِنْ آَيَةٍ مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِمْ إِلَّا كَانُوا عَنْهَا مُعْرِضِينَ

“Dan setiap ayat dari ayat-ayat Tuhan yang sampai kepada mereka (orang kafir), semuanya selalu diingkarinya," (QS. Al-An’am : 4).

2. Mencintai kebenaran dan melapangkan dadanya untuk Islam

Pemilik hati yang selamat akan mencintai kebenaran dan melapangkan dadanya untuk mempelajari Islam. Maka atas hal itu, ia pantas mendapatkan hidayah Allah. Adapun pemilik hati yang sakit, mereka membenci kebenaran dan sempit dadanya untuk mendengarkan Islam. Dan atas hal ini, ia ditimpa kesesatan sebagai suatu bentuk hukuman Allah baginya. Allah berfirman:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit," (QS. Al-An’am: 125).

Dan hal tersebut dikarenakan mereka membenci kebenaran. Allah berfirman:

بَلْ جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ وَأَكْثَرُهُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ

“Padahal, dia telah datang membawa kebenaran kepada mereka, tetapi kebanyakan mereka membenci kebenaran," (QS. Al-Mu’minun: 70).

3. Memenuhi seruan iman dan mencintai penambahannya

Pemilik hati yang selamat akan memenuhi seruan iman, sebagaimana Allah menceritakan tentang pemilik hati yang selamat. Allah berfirman tentang mereka:

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آَمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآَمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada iman, (yaitu),” Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,” maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan matikanlah kami beserta orang-orang yang berbakti," (QS. Ali-‘Imran: 193).

Dan orang yang beriman akan senantiasa mencintai bertambahnya iman. Allah berfirman:

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ (124) وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ

“Dan apabila diturunkan suatu surah, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata,”Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini ?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, maka (dengan surah itu) akan menambah kekafiran mereka yang telah ada," (QS. At-Taubah: 124 – 125).

Adapun para pemilik hati yang sakit, engkau lihat mereka menghalangi dari jalan Allah. Allah berfirman:

الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآَخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ بَعِيدٍ

“(yaitu) orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada (kehidupan) akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan (jalan yang) bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh," (QS. Ibrahim: 3).

Dan engkau melihat para pemilik hati yang selamat akan memikirkan di dalam diri mereka dan dalam penciptaan langit dan bumi serta dalam petunjuk yang datang kepada mereka dari pencipta mereka. Yang mengenalkan kepada mereka hikmah dari kehidupan dan kematian serta mensifati bagi mereka dari sesuatu yang telah berlalu maupun yang akan datang, jannah (surga) yang disediakan Allah bagi para hamba-Nya yang beriman, dan adzab (siksaan) yang akan menanti orang-orang kafir. Mereka memikirkan dalam mukjizat rasul shallallahu’alaihi wa sallam, petunjuk tentang kebenarannya dan bagaimana mereka merealisasikan apa saja yang telah Allah perintahkan untuk mewujudkan bagi mereka kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, serta mereka menjauhi adzab neraka. Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka," (QS. Ali ‘Imran: 191).

Akan tetapi orang-orang kafir melepaskan pendengaran dan akal mereka. Adapun segala yang diciptakan bagi mereka dari bahan-bahan perenungan, mereka tidak mengetahuinya kecuali di hari penyesalan pada hari kiamat. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ (10) فَاعْتَرَفُوا بِذَنْبِهِمْ فَسُحْقًا لِأَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Dan mereka berkata, "Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala. Maka mereka mengakui dosanya. Tetapi jauhlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka yang menyala-nyala itu," (QS. Al-Mulk: 10 – 11).

4. At-tadzakkur (mengingat-ingat)

Manusia itu pelupa, akan tetapi pemilik hati yang selamat akan mengingat-ingat. Maka, dia akan melihat dan tidak mendapatinya buta. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya),” (QS. Al-A’raaf: 201).

Oleh karena itu, Allah mensyari’atkan untuk memberi peringatan. Allah berfirman:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin," (QS. Adz-Dzariyat: 55).

Dan firman-Nya:

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى (9) سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى (10) وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى (11) الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى (12) ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى

“Oleh sebab itu berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, dan orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, (yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka), selanjutnya dia di sana tidak mati dan tidak (pula) hidup," (QS. Al-A’la: 9 – 13).

Adapun para pemilik hati yang sakit, engkau lihat mereka dalam kelalaian; tidak beriman. Allah berfirman:

وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْحَسْرَةِ إِذْ قُضِيَ الْأَمْرُ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ وَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus, sedang mereka dalam kelalaian dan mereka tidak beriman," (QS. Maryam: 39).

Maka, jika engkau mengingatkan sebagian dari mereka yang lalai dari akhirat, barangkali dia akan berkata kepadamu, “Apakah hari ini engkau datang untuk mengajarkan Islam kepadaku ? Dan saya seorang muslim yang lebih baik darimu ?!”

5. Al-yaqin (keyakinan)
Pemilik hati yang selamat akan memikirkan, mempelajari, dan mengingat; telah sampai pada keyakinan sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya:

إِنَّ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِلْمُؤْمِنِينَ (3) وَفِي خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَابَّةٍ آَيَاتٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Sungguh, pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang mukmin. Dan pada penciptaan dirimu dan pada makhluk bergerak yang bernyawa yang bertebaran (di bumi) terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) untuk kaum yang meyakini," (QS. Al-Jatsiyah: 3 – 4).

Adapun orang yang lalai dan sakit, maka engkau melihatnya dalam keraguan dan kebimbangan. Allah ta’ala berfirman:

بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ يَلْعَبُونَ

“Tetapi mereka dalam keraguan, mereka bermain-main," (QS. Ad-Dukhan: 9).

Dan dia tidak mengenal al-yaqin (keyakinan) kecuali sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ

“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata),”Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin," (QS. As-Sajdah: 12).

6. Kemudahan hati untuk mengingat Allah

Hati dan kulit para pemilik hati yang selamat akan cenderung mudah untuk mengingat Allah dan ayat-ayat-Nya.

Adapun orang-orang kafir, maka hati mereka akan cenderung keras. Allah berfirman:

أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (22) اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu) ? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah," (QS. Az-Zumar: 22-23).

Engkau lihat para pemilik hati yang keras ini sombong, menentang, dan mengingkari ayat-ayat dan dalil-dalil. Allah berfirman:

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya," (QS. An-Naml: 14).

Dan mereka yang sombong ini dihukum sebagaimana firman Allah ta’ala:

سَأَصْرِفُ عَنْ آَيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

“Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alas an yang benar," (QS. Al-A’raf: 146).

Ini di dunia, dan adapun pada hari kiamat maka mereka akan mendapat balasan sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ

“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (seraya dikatakan kepada mereka),”Kamu telah menghabiskan (rezeki) yang baik untuk kehidupan duniamu, dan kamu telah bersenang-senang (menikmatinya); maka pada hari ini kamu dibalas dengan adzab yang menghinakan, karena kamu sombong di bumi tanpa mengindahkan kebenaran, dank arena kamu berbuat durhaka (tidak taat kepada Allah)," (QS. Al-Ahqaf: 20).

7. Mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah

Orang yang hatinya selamat, akan senantiasa berkomitmen dan taat kepada Rabbnya dan kepada rasul-Nya, serta mengambil jalan di dunia ini di setiap keadaan dari berbagai keadaannya sesuai dengan kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana," (QS. At-Taubah: 71).

Dan komitmen atas perintah Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ

“Wahai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad)," (QS. An-Nisa’: 59).

Dan firman-Nya:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya,” (QS. Al-Hasyr: 7).

Hal itu karena taat kepada rasul maka dia telah menaati Allah. Allah berfirman:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

“Barangsiapa menaati rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah," (QS. An-Nisa’: 80).

Adapun pemilik hati yang sakit, maka engkau lihat dia mengikuti setan yang durhaka, hawa nafsunya, serta mengabdikan dirinya kepada selain Allah. Dan dia akan menyesal, akan tetapi pada hari di mana sudah tak lagi berguna penyesalan. Allah berfirman:

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا

“Pada hari (ketika) wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Wahai, kiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul," (QS. Al-Ahzab: 66).

Dan jika kita mensifati hati kita dengan sifat-sifat baik yang telah disebutkan, kita akan menjadi pemilik hati yang selamat, yang akan menumbuhkan pohon iman di dalamnya. Dan akan berkembang dan berbuah amal-amal shalih. Jika kita tidak mendapati di dalam diri kita amal-amal shalih, maka sesungguhnya hal itu akan menjadikan pohon iman lemah yang telah tumbuh di dalam hati kita dan yang belum sempurna sifat-sifat shalih.  Dan jika kita tidak bersegera untuk memperbaiki apa saja yang ada di hati kita, maka tidak akan pernah mendapati suatu perubahan dari keadaannya. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri," (QS. Ar-Ra’d: 11).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati," (HR. Bukhari dan Muslim).

Hati tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan menumbuhkan keimanan di dalamnya serta menguatkannya.

Sumber:
Kitab Al-Iman, karya Syeikh Abdul Majid Az-Zindani.

Penerjemah:
Ust Najih Ibrahim Hafizahullah
Staf pengajar Bahasa Arab dan Ilmu Fiqih di Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo.


Do'a  yang  benar  memiliki  syarat-syarat yang harus terpenuhi;  jika engkau menginginkan  do'amu  sampai  ke langit.

1) Allah ta'ala adalah satu-satunya yang mampu mengabulkan do'a.

Ini  adalah  syarat  utama  di dalam berdo'a. Orang  yang berdo'a  harus  tahu  bahwa Allah  semata  yang  dapat mengijabah do'a. Jika  ia  telah  memiliki  keyakinan demikian, menghadaplah  kepada  Allah  dengan  hati  yang  jujur. Merendahkan  diri… menghinakan  diri.

Allah berfirman:
"Atau  siapakah  yang memperkenankan  (doa)  orang  yang dalam  kesulitan  apabila  ia  berdoa  kepada-Nya,  dan  yang menghilangkan  kesusahan," (Qs. AN-Naml :  62  ). 

2) Mentauhidkan  Allah di dalam  berdo'a.

Ini  adalah  fondasi  do'a;  yaitu  tidak  berdo'a  kecuali kepada  Allah,  menyertakan  selain  Allah  dalam  do'a  adalah syirik  (menyekutukan  Allah).

Begitulah Nabi mengajari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma.  Ini  adalah  kaidah  penting. Mengesakan Allah dalam meminta kepada-Nya merupakan pelajaran  bagi  umat  dan  dihimpun  dengan  kaidah  ini.

Rasulullah berwasiat  kepada  Ibnu  Abbas,  " Wahai  anak  kecil,  aku  mau  mengajarkan  kepadamu beberapa  kalimat;  jagalah  Allah  niscaya  Allah  menjagamu, jagalah  Allah  niscaya  engkau  mendapati-Nya  di  depanmu, jika  engkau  memint  mintalah  kepada  Allah,  jika  meminta pertolongan  minta  tolonglah  kepada  Allah," (HR Tirmizi & Ahmad).

3) Bertawassul  kepada  Allah dengan  cara-cara  yang disyari'atkan.

Bertawassaul  kepada Allah dengan tawassul yang syar'i termasuk  do'a  yang  benar.  Kita  melihat  banyak  orang keliru  dalam  bertawassul  pepada  Allah;  baik  dengan  cara yang  bersifat inovatif atau  mengandung kesyirikan.

Adapun  tawassul  yang  syar'i ada  3  (tiga) jenis:

a. Bertawassul  dengan  nama  dan  sifat  Allah.
b. Bertawassul  dengan  amal  shalih
c. Bertawassul  dengan  do'a  orang  shalih.

Semua jenis  tawassul ini telah didasarkan pada beberapa dalil dari Al-Qur'an dan  sunnah  Rasulullah  juga  perbuatan para sahabat radhiyallahu'anhum.

4) Berbaik  sangka  kepada  Allah

Seseorang berdo'a kepada Allah hendaknya berbaik  sangka  kepada  Tuhannya,  jangan  berdo'a  dengan perasaan ragu, karena Allah ta'ala  bersama hamba-Nya jika ia berhusnuzan  kepada-Nya.

Dalam hadits Qudsi Allah berfirman, "Aku dalam persangkaan baik hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku  bersama-Nya  manakala  ia  berdzikir  kepada-Ku," (HR Bukhari).

Karena itu  Nabi menganjurkan  agar  kita  berdo'a dengan  prasangka  baik  kepada  Allah. Rasulullah bersabda, "Berdo'alah  kalian  kepada  Allah  dengan keyakinan  akan diijabah," (HR Tirmizi & Hakim).

5) Jangan tergesa-gesa ingin dikabulkan.

Wajib bagi orang yang berdo'a untuk tidak  tergesagesa ingin dikabulkan. Rasulullah bersabda, "Do'a kalian akan diijabah selama tidak tergesa-gesa, yakni dengan  mengatakan, 'Saya telah berdo'a tapi belum dikabullkan,'" (HR Bukhari).

6) Makan  makanan yang baik dan halal.

Ini adalah syarat yang penting, sebagian manusia melupakannya! Mereka tidak tahu bahwa sebab ditolaknya do'a karena makanan yang tidak halal.

Allahberfirman:

"Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang  yang bertakwa," (QS Al-Maidah: 27). 

Sahal  bin  Abdullah  rahimahullah merangkum syarat do'a  ini dalam  beberapa  kalimat  ringkas,  padat  dan berharga  yang  diharapkan  bisa  mewujudkan  permohonan dan  bisa  memenuhi  keinginan  dengan  syarat  tersebut. Ia berkata, "Syarat  do'a  ada tujuh:  merendahkan  diri, takut,  berharap,  kontinyu,  khusyuk,  menyeluruh,  dan makanan  yang  halal."

Sumber:
Agar Doa Kita Mustajab, karya Syeikh Azhari Ahmad Mahmud.

Divisi Informasi & Penerbitan Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter Mempersembahkan:

=====================

Pesan Resmi dari Kiai Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter, Uwais Abdullah Lc, kepada kaum muslimin, dalam khutbah Idul Fitri 1436 H:

"JANGAN BIARKAN NILAI KEBAIKAN ITU SIRNA SEIRING DENGAN KEPERGIAN RAMADAN.."

تقبل الله منا ومنكم....

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H

Uwais Abdullah, Lc
Kiai PPTQ At-Taqwa Nguter
http://www.el-taqwa.com

Audio bisa diunduh di:

https://www.dropbox.com/s/s4gq2x54br6qd62/PPTQ%20Attaqwa%20Uwais%20Abdullah-Khutbah%20Ied%201436%20H.mp3?dl=0


Sebagaimana moda transportasi pada umumnya yang memiliki kelas-kelas tertentu seperti ekonomi, patas, eksekutif dan VIP, pun demikian dengan surga yang ternyata juga memiliki banyak tingkatan-tingkatan.

Ketika menjelaskan hadist:
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْقَ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا

Akan dikatakan kepada ahli Quran, ‘Bacalah! Dan naiklah! Serta bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya dengan tartil sewaktu di dunia, karena sesungguhnya kedudukanmu ada di akhir ayat yang kamu baca,” [HR Ahmad].

Al-Mundziri, dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib, mengatakan bahwa surga memiliki 30 tingkatan, dengan level kenikmatan dan fasilitas yang berbeda-beda di tiap tingkatannya. Seseorang akan menempati tingkatan surganya tergantung kebiasaannya membaca Quran ketika di dunia. Artinya, jika seseorang di dunia terbiasa mengkhatamkan Quran 30 juz, maka kelak ia akan menempati surga dengan tingkatan tertinggi, yakni di tingkat ke-30.

Begitu pun jika seseorang membaca Quran hanya sampai pada juz ke-10 dan seumur hidupnya belum pernah membaca sampai tamat, maka kelak - jika ia diputuskan oleh Allah untuk menjadi penghuni surga - surganya pun hanya sampai di tingkat yang ke-10.

Ada pula penjelasan dari ulama lain dari kalangan salaf yang mengatakan bahwa yang dimaksud di dalam hadist tersebut bukanlah sekedar bacaan Quran, tetapi hafalannya. Meski demikian, ada satu kesamaan di dalam dua penjelasan tersebut, yakni motivasi untuk senantiasa dekat dengan Al-Quran, dorongan untuk mencintai Quran.

Sayang seribu sayang, banyak di antara kita para orang tua yang kesulitan untuk bisa istiqamah memperbanyak jumlah bacaan Quran, apalagi meningkatkan nominal hafalannya. Sering kita temui banyak pemuda yang bisa "ngebut" dalam membaca, dengan tetap berada di dalam koridor tajwid dan tahsin, tetapi tidak dengan orang tua. Syaraf motorik mereka sudah tidak bisa gesit seperti pemuda seumuran kita, hingga wajar jika dalam setahun mungkin mereka baru selesai membaca Quran sebanyak 30 juz.

Meski demikian, tidak tertutup peluang bagi para orang tua yang kurang lancar dalam membaca Quran - bahkan untuk yang tidak bisa sekali pun - untuk menempati surga di tingkat ke-30 itu.

Bagaimana bisa? Kaidah pokoknya mudah, yakni dengan mengelola aset kita tersebut, anak-anak kita itu, dengan menerapkan kaidah Prophetic Parenting (Seni menjadi orang tua dengan mengikuti metode kenabian) seperti berikut:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه

“Jika salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya,” [HR Muslim].

Punya harta? Sedekahkan secara jariah untuk membiayai pendidikan mereka di pondok-pondok tahfiz nan Islami. Punya ilmu Quran? Transferkan kepada mereka. Punya anak? Ajari ia ilmu dan adab, persis seperti petuah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahuanhu ketika menjelaskan QS At-Tahrim: 06.

Satu lagi yang perlu diingat, banyak dari kita para orang tua yang tidak seberuntung mereka memiliki satu atau semua kompetensi di atas; harta, ilmu dan keturunan, tapi peluang itu pun masih tetap terbuka:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِه

“Barangsiapa dapat menunjuki seseorang pada suatu jalan kebaikan, maka baginya pahala yang sama seperti orang yang melakukannya,” [HR Muslim].

Artinya, peluang untuk menerapkan kaidah "دل على خير" (menunjukkan pada jalan aikan) terbuka begitu lebar. Kita masih bisa berkontribusi dengan apa-apa yang kita punya dan kita bisa, baik dengan lisan atau pun dengan perbuatan.

Mungkin inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam fragmen cerita yang tercatat rapi di dalam Musnad Ahmad seperti berikut:

َإِنَّ الْقُرْآنَ يَلْقَى صَاحِبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِينَ يَنْشَقُّ عَنْهُ قَبْرُهُ كَالرَّجُلِ الشَّاحِبِ فَيَقُولُ لَهُ هَلْ تَعْرِفُنِي

Pada hari kiamat, saat kubur seseorang terbelah, Al-Quran akan menemui pemiliknya seperti orang kurus. Ia berkata, "Apa kau mengenaliku?"

فَيَقُولُ مَا أَعْرِفُك

Pemilik Al-Quran menjawab, "Aku tidak mengenalimu."

فَيَقُولُ لَهُ هَلْ تَعْرِفُنِي

Ia berkata lagi, "Apa kau mengenaliku?"

فَيَقُولُ مَا أَعْرِفُك

Pemilik Al Quran menjawab, "Aku tidak mengenalimu."

فَيَقُولُ أَنَا صَاحِبُكَ الْقُرْآنُ الَّذِي أَظْمَأْتُكَ فِي الْهَوَاجِرِ وَأَسْهَرْتُ لَيْلَكَ

Ia berkata, "Aku adalah temanmu, Al Quran, yang membuatmu haus di tengah hari dan membuatmu begadang di malam hari."

وَإِنَّ كُلَّ تَاجِرٍ مِنْ وَرَاءِ تِجَارَتِه وَإِنَّكَ الْيَوْمَ مِنْ وَرَاءِ كُلِّ تِجَارَة

Setiap pedagang berada di belakang dagangannya dan engkau hari ini berada di belakang daganganmu.

فَيُعْطَى الْمُلْكَ بِيَمِينِهِ وَالْخُلْدَ بِشِمَالِهِ وَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الْوَقَارِ وَيُكْسَى وَالِدَاهُ حُلَّتَيْنِ لَا يُقَوَّمُ لَهُمَا أَهْلُ الدُّنْيَا

Kemudian, pemilik Al-Quran itu diberi kerajaan di tangan kanannya dan keabadian di tangan kirinya. Di kepalanya dikenakan mutiara kemuliaan dan kedua orang tuanya dikenakan dua hiasan yang tidak bisa dinilai oleh penduduk dunia.

فَيَقُولَانِ بِمَ كُسِينَا هَذِه

Lalu, kedua orang tua si pemilik Al-Quran itu bertanya, "Kenapa aku dikenakan perhiasan ini?"

فَيُقَالُ بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآن

Dikatakan pada kedua orang tua si pemilik Al-Quran tadi, "Karena anak kalian berdua mempelajari Al Quran."

ثُمَّ يُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَاصْعَدْ فِي دَرَجَةِ الْجَنَّةِ وَغُرَفِهَا

Kemudian dikatakan pada pemilik Al-Quran tadi, "Bacalah! Dan naiklah ke tingkat surga dan kamar-kamarnya."

فَهُوَ فِي صُعُودٍ مَا دَامَ يَقْرَأُ هَذًّا كَانَ أَوْ تَرْتِيلًا

Maka si pemilik Al-Quran tadi terus menerus naik tingkatan surganya, selama ia membaca Al-Quran, baik dengan cepat atau pun dengan tartil," [HR Ahmad & Ad-Darimi, Syaikh Albani menyebutkannya dalam As Shohihah: 2829].

Subhanallah..! Maha Suci Allah yang Maha Adil. Anak yang dulu kita biayai dalam menempuh studi di ma'had-ma'had Qurani, akan "membelikan surga" bagi kita di akhirat dengan bacaan Qurannya, dengan hafalannya. Anak yang dulu membonceng kita menuju majelis-majelis Quran dengan sepeda onthel nan reot itu akan memboncengkan kita para orang tua menuju Jannah.

Inilah gambaran interaksi atau kerja sama yang apik antara orang tua dan anak dalam perjalanan menuju satu keluarga di dunia dan di surga. Persis seperti gambaran Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

جَنّٰتُ عَدْنٍ  يَّدْخُلُوْنَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ اٰبَآٮِٕهِمْ وَاَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيّٰتِهِمْ‌ وَالْمَلٰٓٮِٕكَةُ  يَدْخُلُوْنَ عَلَيْهِمْ مِّنْ كُلِّ بَابٍ‌ۚ


"(yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;" [QS. Ar-Ra'd: 23].

سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ‌ فَنِعْمَ  عُقْبَى الدَّارِؕ

"(sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu," [QS. Ar-Ra'd: 24].

Semoga Allah menyatukan kita para orang tua dengan anak-anak kita di dunia dan di surga. Aamiin..

Sukoharjo, 14 Juli 2015 (27 Ramadhan 1436 H)

Irfan Nugroho, S.Pd
Staf pengajar Bahasa Inggris di Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo.


Oleh Mustofa Ali Gufron*
Islam mampu mencapai puncak kejayaannya dan menguasai peradaban dunia selama lebih dari 700 tahun sebelum bangsa-bangsa Barat karena umat Islam pada waktu itu berpegang teguh kepada Al-Quran. Tidak heran jika peradaban Islam menguasai dunia dan berkembang dengan pesat.

Sementara kini, umat Islam mengalami kemunduran. Sumber kemerosotan kaum muslimin yang paling jelas dan nyata adalah karena mereka menjadi jauh dari sumber ajaran agamanya, Al-Quran. Itulah sumber kemerosotan umat Islam yang pertama. Umat Islam kehilangan motivasi agama yang di dalamnya terkandung semangat dan ruh sebagai tenaga pendorong menuju puncak kejayaan peradaban.

Jauhnya umat dari Al-Quran merupakan suatu masalah yang sangat besar, yang begitu fundamental di dalam tubuh kaum muslimin. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

إن الله يرفع بهذا الكتاب أقوامًا ويضع به آخرين

“Sesungguhnya Allah mengangkat beberapa kaum dengan Kitab (Al-Quran) ini dan menghinakan yang lain dengannya pula,” (HR Muslim, 996).

Para musuh Islam berusaha keras untuk menjauhkan kaum muslimin secara personal maupun berjamaah dari sumber utama kekuatannya, Al-Quran. Hal ini telah diungkapkan di dalam Al-Quran sendiri, yang menjelaskan salah satu cara musuh-musuh Islam dalam memerangi kaum muslimin,

وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَا تَسْمَعُوا۟ لِهَٰذَا ٱلْقُرْءَانِ وَٱلْغَوْا۟ فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

“Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka),” (QS Al-Fushilat: 26).

Kesibukan kita terhadap Al-Quran kini diganti dengan sekedar menontot sinetron atau acara televisi lainnya, bisa musik, konser musik dan bentuk perbuatan lain yang melalaikan kita dari Al-Quran, yang sebenarnya di balik itu semua ada peran orang-orang kafir dan munafik untuk mengalihkan kita dari Islam, dari petunjuk Allah, Al-Quran Al-Karim.

Padahal, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah secara gamblang mewasiatkan agar kita senantiasa berpegang teguh kepada kedua warisan beliau (Al-Quran dan Sunnah), karena dengan inilah kita tidak akan tersesat dari jalan yang lurus.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّه

“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya,” (HR Malik).

Semestinya kedua perkara ini menjadi rujukan utama kaum muslimin, baik dalam urusan kecil maupun besar, baik urusan pribadi maupun bermasyarakat. Keduanya merupakan sumber kemuliaan dan kebanggaan kaum muslimin. Jika mereka akrab dengannya, niscaya mereka akan menjadi mulia. Jika mereka jauh dari keduanya, niscaya mereka akan dihinggapi kehinaan sebagaimana yang tampak dewasa ini.

Ada pun bentuk-bentuk meninggalkan Al-Quran sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah adalah sebagai berikut (setiap bentuknya memiliki perbedaan kadar dari yang lainnya):

Pertama: tidak mau mendengarkannya, mengimaninya dan memperhatikannya. Hal ini telah menyelisihi perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

وَإِذَا قُرِئَ ٱلْقُرْءَانُ فَٱسْتَمِعُوا۟ لَهُۥ وَأَنصِتُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat,” (QS Al-A’raaf: 204).

Kedua, tidak mau mengamalkannya dengan tidak memperhatikan apa yang telah dihalalkan dan apa yang diharamkan, walaupun seseorang telah membacanya dan mengimaninya. Padahal, dalam ayat yang disebutkan di atas, Al-Quran adalah petunjuk kepada jalan yang lurus, yang bermakna bahwa menghindarkan diri dari mengamalkannya akan berujung pada kesesatan yang benar-benar nyata.

Ketiga, tidak mau berhukum dengan Al-Quran, baik dalam masalah aqidah maupun yang lainnya, kemudian menganggap Al-Quran tidak memberi keyakinan dan lafaz-lafaz di dalamnya tidak menghasilkan keilmuan di dalam dirinya.

Keempat, tidak merenunginya, memahaminya, dan tidak berusaha untuk mengetahui Al-Quran.

Marilah kita renungi kembali dan melihat kebenaran Al-Quran dengan penuh kejujuran. Sudahkan kita menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup, petunjuk jalan kebenaran, tempat mengadu dan mencari solusi?

Marilah kita sama-sama kembali kepada Al-Quran dengan mempelajarinya, memahaminya, dan tentu saja mengamalkannya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menggerakkan hati kita, memudahkan langkah kita dan umat Islam lainnya untuk kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya sehingga menjadi umat yang baik sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah,” (QS Ali Imran: 110).

*Penulis saat ini (2015) masih berstatus sebagai santri kelas tiga Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah.


Oleh Sa’di Farindu Saif, Fahmi Burhani, Dicky Firmansyah*
Mentadabburi Al-Quran merupakan kegiatan yang sangat mulia. Ia dapat menjadikan kita selalu ingat kepada Allah dan mengetahui keagungan Allah dan juga kitab-Nya Al-Quran.

Mentadabburi Al-Quran bisa dilakukan tidak melulu dengan mengetahui artinya. Kita juga bisa mentadabburi Al-Quran dengan mengetahui Azbabun Nuzul suatu ayat atau surat. Dengan cara itu, kita bisa semakin mudah mentadabburi Al-Quran.

Pada suatu hari, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya sedang melakukan shalat Ashar. Setelah shalat, datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam yang sedang bersama sahabat-sahabatnya.

Lelaki tersebut kemudian bertanya, ‘Saya telah mencium seorang perempuan.’

Maka Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam memalingkan wajahnya sembari menahan marah.

Lelaki tersebut kemudian pergi setelah melihat reaksi Rasulullah tersebut. Tak lama berselang, Rasulullah menyuruh beberapa sahabat di sekitarnya untuk memanggil lelaki tersebut.

Ketika lelaki tersebut sudah kembali ke hadapan Rasulullah, lalu ditanyakan kepadanya, ‘Apakah kamu sudah shalat Ashar?’

Lelaki tersebut kemudian menjawab, ‘Ya, saya sudah melaksanakan shalat.’

Kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam membacakan firman Allah:

وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًۭا مِّنَ ٱلَّيْلِ ۚ إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ

Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat,” (QS Hud: 114).

Setelah mendengar ayat di atas, lelaki tersebut merasa senang dan para sahabat pun lantas bertanya, “Apakah ayat itu turun hanya untuk dia, wahai Rasulullah?”

Rasul pun menjawab, “Ayat itu untuk kita semua.”

Ketika membaca ayat di atas, lengkap dengan pengetahuan kita tentang Azbabun Nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut, maka kita menjadi tahu bahwa perbuatan baik akan menjadi pengahapus dosa-dosa kecil yang telah kita lakukan sebelumnya.

Hal ini persis seperti sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam:

إتَّقِ الله حَيْثُما كُنْتَ وأتَّبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تمحها وخالق الناس بخلق حسن

Takutlah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada. Sertailah kejahatan dengan amal kebaikan sebagai penghapusnya. Selain itu, bergaullah dengan orang lain dengan budi pekerti yang baik,” (HR Abu Dawud, Ahmad, Hasan. Shahih Al-Jami Ash-Shaghir: 97).

Hal serupa juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ustman bin Affan, ia mendengar Rasulullah bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia mengerjakan shalat dua rakaat dan ia tidak berkata-kata kepada dirinya (akan perkara dunia) dalam dua rakaat itu, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR Muslim: 226).

Di dalam riwayat lain, Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Asma’ binti Hakim, yang mengatakan bahwa dirinya pernah melihat Abu Bakar berkata kepadanya bahwa ia pernah melihat Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ
Tidak ada seorang muslim yang melakukan suatu dosa, kemudian dia berwudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat, kecuali dosanya akan diampuni,” (HR Abu Dawud: 1521. Shahih).

Setelah mengetahui kandungan ayat dan hadist di atas, tidak diragukan lagi bahwa Allah adalah Mahaagung dan Mahapengampun atas segala dosa, kesalahan, dan itulah manfaat dari mentadabburi Al-Quran. Wallahu’alam bish shawwab

*Penulis adalah santri kelas dua Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo


Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc
“Tidaklah aku berdiskusi dengan orang lain

kecuali aku berharap Allah menampakkan kebenaran melalui lesannya.”

(Imam Syafi’i)

Berbicara tentang perbedaan, tentu tidak ada di antara kita yang dapat lepas darinya. Sebab, perbedaan merupakan keniscayaan yang tak dapat dihindari. Oleh karenanya, perbedaan perlu disikapi secara bijak.

Acapkali salah dalam menyikapi perbedaan hanya menghasilkan perselisihan dan permusuhan. Perbedaan tidak lagi mendatangkan rahmat, namun berubah menjadi laknat. Lantas bagaimana kita menyikapi perbedaan yang ada?

Dalam menyikapi hal ini, kita dapat mencoba untuk mempertemukan dua belah pihak dalam rangka melakukan tabayyun (klarifikasi), saling menasehati, atau diskusi. Usaha tersebut dapat berupa pertemuan intens antara kedua belah pihak atau diskusi terbuka yang dihadiri oleh semua orang. Tujuannya adalah untuk mencari titik temu.

Forum ini kirannya akan banyak mendatangkan manfaat sebagaimana yang dikatakan oleh Al Barbahari: “Mengadakan majelis untuk saling menasehati akan membuka pintu kebaikan. Adapun bermajelis untuk berdebat hanya akan menutup pintu kebaikan.”

Tentunya dalam pertemuan ini ada beberapa adab yang perlu dijaga oleh kedua belah pihak. Agar nantinya tujuan awal untuk mendapatkan titik temu dapat dicapai. Kalaupun tidak tercapai, pertemuan tersebut tidak meninggalkan bekas luka akibat perbedaan. Di antara adab tersebut adalah:

1. Ikhlas
Dalam semua perkara yang dilakukan seorang muslim, niatan ikhlas haruslah terwujud. Tak terkecuali ketika berdiskusi. Karenanya, sedari awal tujuan diskusi terbuka hendaknya selalu ditujukan semata ikhlas karena Allah dan untuk menemukan jalan yang paling benar. Bukan untuk menunjukkan yang kalah ataupun yang menang. Atau untuk unjuk kecerdasan dan wawasan yang dimiliki. Terlebih, hanya ingin mengundang decak kagum serta pujian para pendengar. Na’udzubillah min dzalik.

Pun, ketika diskusi berlangsung, jangan sampai keikhlasan ternodai karena enggan untuk mengakui kebenaran yang berasal dari lawan bicara. Tak jarang hal ini terjadi disebabkan rasa malu karena tengah berada di hadapan publik. Di sinilah keikhlasan akan diuji.

Alangkah indah perkataan Imam Syafi’i: “Aku tidak pernah khawatir dari manakah kebenaran tersebut ada. Apakah dari diriku ataukah dari lawan bicaraku.” Ucapan tersebut bukan saja sebagai pemanis bibir. Tetapi betul-betul berasal dari kesucian hati yang menjadi identitas diri.

2. Adil dan Obyektif
Selanjutnya, diskusi haruslah disandarkan pada ilmu. Tentunya sebelum diskusi berlangsung, masing-masing pihak mempersiapkan materi yang akan didiskusikan. Jangan berdiskusi dalam perkara yang tidak dikuasai dengan baik.

Jangan pula hanya berdasar pada akal belaka. Sehingga diskusi yang berlangsung hanya sekadar debat kusir yang tak ada kunjung akhirnya.

Obyektif juga berarti tidak ta’assub (fanatik) terhadap pendapat tertentu yang jelas-jelas salah. Kadang fanatik dapat membutakan mata hati seseorang yang menyebabkan dirinya kehilangan obyektifitas dalam menilai sesuatu. Oleh sebab itu Ibnu Taimiyah mengingatkan: “Diskusi tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai dengan sikap adil.

Pada prinsipnya, kebenaran tidaklah terpatok kepada seseorang. Tetapi yang menjadi tolok ukur adalah kebenaran itu sendiri. Sehingga kita dapat menilai dengan obyektif siapa yang berada di atas kebenaran dan siapa yang berada di atas kebatilan. Ali bin Abi Thalib pernah bertutur:

اعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ , وَ لاَ تَعْرِفِ اْلحَقَّ بِالرِّجَالِ

“Ketahuilah kebenaran, niscaya kamu akan mengetahui siapa yang berada di atasnya. Karena kamu tidak akan mengetahui kebenaran dengan menjadikan seseorang sebagai patokan!”

3. Santun Bertutur kata
Bagaimanapun juga, mereka yang berbeda pendapat dengan kita adalah seorang muslim. Sudah barang tentu hak-hak dia sebagai seorang muslim harus tetap dipenuhi. Walaupun di sisi lain mereka berbeda pendapat dengan kita. Salah satunya adalah dengan santun dalam bertutur kata dan menjaga suara ketika berbicara. Jangan sampai meninggikan suara.

Apabila berada di atas kebenaran mengapa harus meninggikan suara? Sedangkan apabila berada di atas kebatilan, masih pantaskah meninggikan suara? Kadang, mereka yang meninggikan suara adalah mereka yang berada di pihak yang salah. Dengan begitu, dia ingin menunjukkan dirinyalah yang benar. Sedangkan yang berada di atas kebenaran akan memiliki pembawaan tenang ketika menyampaikan argumennya. Sebab dia yakin dirinyalah yang benar. Walaupun tak selamanya keadaan ini berlaku.

Hal inilah yang kadang terlupakan. Akibatnya, pendengar lebih terkesima dengan mereka kepada yang memiliki pembawaan tenang walaupun pendapat tersebut salah. Padahal, dengan menjaga suara seseorang lebih mampu menguasai suasana diskusi dan emosi. Apa yang disampaikan pun lebih mengena di hati pendengarnya.

4. Tidak Terbawa Emosi
Pada awal diskusi mungkin setiap pihak mampu menjaga emosi. Namun seiring dengan perbedaan yang tak kunjung mencapai titik temu kadang emosi mulai menghampiri. Maka ketika marah diperturutkan hanya akan membawa kepada keburukan.

Oleh karenanya, para salaf mewanti-wanti setiap diskusi dari sifat ini. Ibnu Abbas bertutur: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlu hawa. Sesungguhnya bermajelis dengan mereka hanya akan menyakitkan hati.”

Lagipula, diskusi yang dicampuri dengan emosi tidak akan mendatangkan manfaat. Malah yang ada hanyalah permusuhan dan perpecahan antara kedua belah pihak.

Inilah yang diperingatkan oleh Ibrohim An Nakho’i: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlu hawa, sesungguhnya bermajelis dengan mereka menghilangkan cahaya keimanan, menghilangkan wajah kebaikan, dan mewariskan permusuhan di hati orang-orang mukmin.”

Apabila orang lain tidak sependapat denganmu, maka janganlah marah. Jangan pula kamu paksakan pendapatmu kepada dirinya. Walaupun pendapat itulah yang benar.

Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Umar sekitar seratus permasalahan. Namun tidak ada di antara mereka yang memaksakan pendapat antara satu dan yang lainnya. Tidak pula mereka marah.

5. Menjadi pendengar yang baik
Diskusi bukanlah pembicaraan satu pihak layaknya ceramah. Tetapi, diskusi merupakan pembicaraan dua pihak. Untuk itu setiap pihak haruslah mendengarkan lawan bicaranya. Sebab, pembicara cerdas adalah yang mempu menjadi pendengar yang baik.

Jangan sampai memotong pembicaraan meskipun membuat kurang nyaman telinga pendengar. Baik karena ingin mengintrupsi, membantah, atau karena sebab lainnya. Hal ini dapat membuat pembicara bimbang dan lupa apa yang akan disampaikan. Sebaiknya ia harus memperhatikan dengan seksama apa yang dibicarakan.

Dengan begitu, mereka juga akan mendengarkan dengan seksama apabila kita berbicara. Sebab, menjadi tabiat manusia akan mereka menaruh hormat kepada yang memperhatikan omongannya.

Para ulama banyak menyebutkan adab berdiskusi di antaranya mempersilahkan pihak lain untuk menyampaikan argumennya. Jangan memotong perkataan pihak lain hingga paham maksud perkataan tersebut. Hendaknya dia menunggu pihak yang sedang berbicara hingga menyelesaikan perkataannya. Yang seperti ini lebih mempermudah untuk menerima kebenaran dan kembali dari kesalahan.

6. Cukup di forum
Adakalanya perbedaan tak dapat disatukan. Masing-masing pihak masih sama seperti sedia kala. Maka apabila hal ini terjadi tidaklah mengapa. Namun yang harus dijaga adalah persatuan. Jangan sampai perbedaan tersebut terbawa hingga ke luar forum yang mengakibatkan permusuhan.

Mungkin perkara ini sering diremehkan. Akibatnya banyak yang salah dalam menyikapinya. Bukan saja oleh orang awam. Mereka yang telah bergumul dengan dunia ilmu juga tidak lepas dari “fitnahnya”. Tak pelak, ada di antara mereka yang tidak mau lagi bersilaturahmi. Semua berawal dari tidak adanya titik temu di forum diskusi. Karenanya, cukuplah perseteruan yang terjadi hanya di forum diskusi.

Mengapa kita tidak mencoba untuk memahami alasan saudara muslim lainnya. Tidak dengan turut menyalahkan mereka karena berbeda pendapat dengan kita. Toh, hal yang diperselisihkan hanyalah permasalahan ijtihadiyah yang para ulama masih berselisih tentangnya.

Setiap orang mempunyai seribu alasan untuk berbeda pendapat. Tapi setiap orang sebenarnya juga memiliki sejuta alasan untuk bisa saling mengerti akan perbedaan tersebut. Kita boleh saja tetap berpegang teguh dengan pendapat yang kita yakini kebenarannya. Namun, tidak kemudian menyalahkan orang lain yang berselisih pendapat dengan kita. Lebih-lebih memaksakan pendapat yang kita yakini kebenarannya. Boleh jadi pendapat tersebut cocok untuk kita dan tidak tepat bagi orang lain. Wallahu muwaffiq ila aqwamis sabiil.

Bahan bacaan:
- Fie Ushulil Hiwar, An Nadwah al Alamiah Li Syabab al Islami (WAMI), Cetakan keempat, 1415 H/ 1994 M.
- Fiqhul Ikhtilaf Qodhiyatul Khilaf al Waqi’ baina hamlatisy Syariah, Abu Amru/ Majdi Qosim, Darul Iman, Cetakan pertama 1421 H/ 2000 M.
- Al Khilaf baina al ulama, Muhammad bin Sholih bin Muhammad al Utsaimin, Maktabah syamilah.
- Al khilaf asbabuhu wa adabuhu, Aidh Al Qorni, Maktabah syamilah
- Al Hawa wa Atsaruha fil khilaf, Abdullah Al Ghunaiman, maktabah syamilah
- Adabul hiwar wa qowaidul ikhtilaf, Amru bin Abdullah Kamil, maktabah syamilah
- Adabul Hiwar wa Afaquha fi As Sunnah al Muthohharoh, Dr. Abdus Salam Hamdan Al Lauh, Maktabah Syamilah.


Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc
1. Muqoddimah
Lidah merupakan salah satu nikmat Allah yang sangat besar dan merupakan salah satu simbol kesempurnaan jasad manusia. Tanpanya maka manusia akan dikatakan cacat dan bisa mengurangi kepercayaan diri seseorang untuk tampil di hadapan orang lain. Lidah merupakan salah satu organ yang sangat fital karena seseorang tidak akan mampu untuk mengadakan hubungan komunikasi secara sempurna bila ia tidak berfungsi. Namun, banyak diantara manusia yang kurang bisa menghayati nikmat tersebut dan menganggapnya sebagai suatu organ yang biasa-biasa saja.

Memang terkadang kita akan merasakan betapa besarnya arti sebuah nikmat ketika ia telah sirna dari diri kita. Betapa banyak orang yang telah rabun matanya baru bisa merasakan betapa berharganya nikmat penglihatan tersebut. Begitu pula lisan. Mungkin kita akan bisa merasakan betapa besarnya nikmat mempunyai lidah bila ia telah sirna.

Bagi seorang muslim, pengakuan terhadap nikmat Allah bukanlah atas landasan perasaan belaka. Namun lebih jauh dari itu bahwa kita diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’alantuk mensyukuri segala nikmat yang diberikan kepada kita meski perasaan menganggapnya sebagai sesuatu yang baisa-biasa.

Allah berfiman:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Jika kalian bersyukur maka niscaya akan aku tambahkan (nikmat) tersebut kepada kalian dan apabila kalian kufur maka sesungguhnya adzabku amatlah pedih,” (Ibrahim: 7).

Inilah landasan yang lebih dari sekedar mengikuti perasaan, yaitu ketundukan terhadap perintah Allah. Dari ayat di atas ada dua kondisi yang kontradiktif yaitu pilihan syukur atau kufur dan menghasilkan dua kesudahan yang berbeda pula yaitu penambahan nikmat atau adzab yang pedih.

Kaitannya dengan nikmat lisan, maka sebagai bentuk implementasi rasa syukur kita terhadapnya adalah dengan senantisa menjaganya dari hal-hal yang menyelisihi hakikat kesyukuran tersebut. Di antaranya adalah menjaga dari perbuatan Ghibah. Ghibah merupakan suatu kebisaan yang hampir manusia tidak bisa luput darinya.dan berakibat sangat fatal karena bisa mengahancurkan harga diri seseorang.

Betapa banyak kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khamr, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah.

Padahal Allah dan rasulNya sangatlah membenci dan mengecam perbuatan tersebut di dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Tentunya ini perlu menjadi evaluasi bagi diri kita, karena ternyata Ghibah bukanlah suatu hal yang biasa namun luarbiasa.

2. Definisi
Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang ada pada diri seseorang saat ia tidak hadir di hadapannya dan apabila ia mengetahuinya maka niscaya ia tidak akan menyukainya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّ رَسُوْلَ اللهِr قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Huroiroh bahwsanya Rosulullah bersabda: Tahukah kalian apa ghibah itu? Sahabat menjawab: Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi ditanya: Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya? Nabi menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.[1]

Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah duniawinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia goib (tidak hadir).

Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu itu: “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.

عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ:إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ....فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا

Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata: ”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek,” maka Nabi berkata: ”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [2]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ لِلنَّبِيِّ rحَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَاز قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ: تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.

Dari ‘Aisyah beliau berkata: Aku berkata kepada Nabi: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata: ’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek,” Maka Nabi berkata: ”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya.” [3]

Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia.

Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits:

قَالَتْ: وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ: مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا

‘Aisyah berkata: “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang. Maka Nabi pun berkata: ”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian.” [4]

Bagaimana jika yang dighibahi adalah orang kafir ?
Berkata As-Shon’ani: “Dan perkataan Rosulullah (dalam hadits Abu Huroiroh di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”.

Berkata Ibnul Mundzir: ”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya.”[5]

Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Berkata Syaikh Salim Al-Hilal: ”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang haram, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah:ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11)-pent) yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu).” [6]

3. Hukum ghibah dan mendengarkannya
Hukum Ghibah sangatlah jelas keharamannya karena ia bisa merusak harga diri seorang muslim. Bahkan seseorang yang menggibah diibaratkan dengan orang yang memakan bangkai saudaranya. Disebutkan dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَلاَ يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ

“Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih,” (Al Hujurat 12).

َ عنْ قَيْسٍ قَالَ: مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى ببَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)

Dari Qois berkata: ‘Amru bin Al-‘Ash t melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata:”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim).”[7]

Syaikh Salim Al-Hilaly berkata: “..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah) saudara engkau seagama? Sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [8]

Bahkan dikatakan bahwa dosa menggibah adalah lebih besar dari seseorang menzinahi ibu kandungnya. Padahal berzina dengan ibu kandung adalah tingkatan zina yang paling besar dosanya. Rasulullah bersabda:

فإن أدنى الربا كإتيان الرجل أمه و أربى الربا الإستطالة فى عرض المسلم

“Sesunnguhnya riba yang paling ringan adalah sebagaimana seseorang menzinahi ibunya sendiri dan riba yang paling besar adalah melecehkan harga diri seorang muslim.”

Mendengarkan ghibah juga merupakan perbuatan yang diharamkan. Berkata Imam Nawawi dalam Al-Adzkar: ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang bakal menimpa. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika memungkinkan hal itu. Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat. Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah,” namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).

Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta dia tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis”[9]. Seorang penyair berkata:

وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ

فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ

Dan pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan

Sebagaimana menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.

Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,

Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah

Dan meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ

“Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya,” (Al-Qosos: 55).

وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,” (Al-Mu’minun: 3).

Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam:

عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ tعَنِ النَّبِيِّ r قَالَ: مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ

Dari Abu Darda’ berkata: Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat.[10]

4. Cara Menghindari ghibah
Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir,” (QS Qaaf: 18)

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً

“Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnyapendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban),” (Al-Isro’: 36).

Dan jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga kita bisa berbicara seenak kita tanpa kita timbang-timbang dahulu yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam

وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟

“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka?”

Demikian juga sabda Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam:

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ: الفَمُ و الْفَرَجُ

“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.” [11]

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ r يَقُوْلُ: إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ

Dari Abu Huroiroh bahwasanya beliau mendengar Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Sungguh seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah yang dia tidak menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam neraka jahannam gara-gara kalimat itu,” (HR Bukhari).

Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:

عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ tقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِ r: مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Dari Sahl bin Sa’d t dia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada diantara dagunya (yaitu lisannya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (yaitu kemaluannya) maka aku jamin baginya surga,” (Bukhari dan Muslim)

Berkata Imam Nawawi: “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia,” [12]

Berkata Imam Syafi’i:

اِحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا الإِنْسَـانُ لاَ يَـلْدَغَنَّكَ فَإِنـَّهُ ثُعْـبَانٌ

كَمْ فِيْ الْمَقَايِرِ مِنْ قَتِيْلِ لِسَانِهِ كَانَتْ تَهَابُ لِقَائَهُ الشُّجْعَانُ

Jagalah lisanmu wahai manusia

Janganlah lisanmu sampai menyengat engkau, sesungguhnya dia seperti ular

Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya

Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya

5. Ghibah yang dibolehkan
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar yang syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali dengan ghibah itu.” [13]

Dan hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّطٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ

وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok

Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan

Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa

Dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran

Pertama: Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian-demikian”. Dalilnya firman Allah:

لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مِنْ ظُلِمَ

“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya,” (QS An-Nisa’: 148).

Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang didzholimi untuk mengghibahi orang yang mendzoliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka.[14]

Kedua: Minta, bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran. Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah harom.

Ketiga: Meminta fatwa, misalnya dia berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat dzolim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah dia mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya.

Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَتْ هِنْدُ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ لِلنَّبِيِّ r: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ

Dari ‘Aisyah berkata: Hindun istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam: ”Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja untukku dan unutuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar pengetahuannya”. Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”. [15]

Keempat: Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Hal ini diantaranya:

Apa yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at.[16] Seperti perkataan ahlul hadits:”Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hafits”, dan lain-lainnya.

Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut.

Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ r فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله r: أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ)

Fatimah binti Qois berkata: Saya datang kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata:Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya. Maka Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya,” (Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480): ”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)” [17]

Kelima: Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ

‘Aisyah berkata: Seseorang datang minta idzin kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam, maka Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya.” [18]

Namun diharamkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.[19]

Keenam: Untuk pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’aroj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.

Perhatian
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali:
1. Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah sifat yang menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang ‘illahnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal yaitu haramnya ghibah.

2. Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja –pent). Maka tidak boleh berluas-luas terhadap bentuk-bentuk di atas (yang dibolehkan ghibah). Bahkan hendaknya orang yang terkena darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah –pent) untuk bertaqwa kepada Allah dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui batas. [20]

Maroji’:
Kitab As-Somt, karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
Syarah Riadlus Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
Tafsir Karimir Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
Bahjatun Nadzirin syarah riadlus sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid 3
Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
Al-Muntaqo Al-Mukhtar min kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab tahrimul ghibah
Tuhfatul Ahwadzi
Kitabuz Zuhud, karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
Subulus Salam, karya As-Shon’ani, jilid 4 bab tarhib min masawiil akhlaq.
Taudlihul Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
Hajrul Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid


[1] (Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain)

[2] (Riwayat Abu Dawud no 4875 dan Ahmad (6/189,206), berkata Syaikh Abu Ishaq: “Isnadnya shohih”)

[3] (yaitu merubah rasanya atau baunya karena saking busuk dan kotornya perkataan itu –pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin 3/25, dan hadits ini shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

[4] (maksudnya walaupun saya mendapatkan kedunaiaan yang banyak). (Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

[5] (Subulus salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam 6/328).

[6] (Bahjatun Nadzirin 3/47)

[7] (Riwayat Bukhari dalam Al-adab Al-Mufrod no 736, lihat Kitab As-Somt no 177, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini: "Isnadnya shohih", sedangkan tambahan yang ada dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab Az-Zuhud hal 748)

[8] (Bahjatun Nadzirin 3/6)

[9] (Bahjatun Nadzirin 3/29,30)

[10] (Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Shohih atau hasan”)

[11] (Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Isnadnya hasan”)

[12] (Tuhfatul Ahwadzi hal 63)

[13] (Bahjatun Nadzirin 3/33).

[14] Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang didzolimi mencela orang yang mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut. Adapun mengghibahnya (mencelanya dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini tidak boleh karena bertentangan dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits yang shohih yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin 3/36,37)

[15] (Riwayat Bukhari dalam Al-Fath 9/504,507, dan Muslim no 1714)

[17] Dan ini merupakan tafsir dari riwayat:(ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya)

[18] (Riwayat Bukhari dan Muslim no 2591), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam, kalau benar ini adalah ghibah maka tidak boleh kita mengikutinya sebab Allah dan Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung oleh Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut ternyata hanya Islam secara dzohir sedangkan keadaannya goncang dan masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih lengkap lihat Bahjatun Nadzirin 3/46)

[19] (Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan:Jika yang tujuan menyebutkan aib-aib orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia dari bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya adalah untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah masuk dalam bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian tersendiri adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46)

[20] (Bahjatun Nadzirin 4/35,36)
Diberdayakan oleh Blogger.