Halloween party ideas 2015
Tampilkan postingan dengan label Tarbiyah. Tampilkan semua postingan


"Di masa kecilku, ayah sering membentakku, biasa menghinaku di hadapan kerabat dan sahabat-sahabatku, selalu menyebut-nyebut kesuksesan orang lain di hadapanku. Dia selalu mencari-cari kesempatan untuk merendahkanku. Dia menganggapku orang yang lemah. Sebagaimana seringnya ayah menghinaku, aku pun semakin keras kepala. Aku kehilangan semangat belajarku. Aku telah membangun sebuah kompleks rendah diri. Aku mulai melalaikan pekerjaanku. Aku tak ingin menerima tanggungjawab apapun. Kepribadianku telah terlukai oleh omelan ayahku. Sekarang, aku adalah orang yang malas dan senang menyendiri," kenang seorang pemuda akan masa lalunya.

Kebanyakan orangtua menganggap sepele hal di atas. Namun, tanpa sadar dari hal-hal yang sepele tersebut, merupakan titik awal dari apa yang disebut dengan kenakalan remaja. Walau bukan satu-satunya faktor, tetapi inilah kenyataan yang ada di tengah-tengah kita. Karena faktanya banyak orangtua yang memiliki paradigma pendidikan yang salah terhadap anak-anak mereka. Sekadar memberikan perintah tanpa adanya keteladanan, atau hanya sekadar doktrin untuk menjaga kewibawaan tanpa menghiraukan emosi kejiwaan sang anak. Akankah kita selalu menyalahkan anak-anak kita?

Memang, tak ada orangtua yang rela ketika melihat anaknya berperilaku buruk, bermoral rendah, atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Namun, maukah orangtua dengan tulus hati mengakui kesalahannya dalam mendidik anak-anak mereka? Kemudian memperbaiki cara berinteraksi dengan anak-anak mereka untuk mengantarkan anak-anak kita sukses melewati masa-masa kritis mereka, masa-masa sulit mereka; masa-masa remaja.

➡Fase Remaja

Tak diragukan lagi bahwa fase remaja merupakan fase yang labil dan penuh kebimbangan, sehingga membutuhkan cara khusus dari orangtua dan pendidik dalam bergaul dengan mereka. Maka jika terjadi kesalahan, justru akan menimbulkan dampak yang merusak, karena remaja bukan lagi anak-anak. Bahkan, mereka memiliki potensi yang selalu berkembang.

Berawal dari potensi tersebut, mereka mampu menghasilkan kreativitas yang begitu banyak. Namun, terkadang mereka juga melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti memberontak terhadap orangtua, guru, ataupun pembina jika mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Fase remaja merupakan fase peralihan. Secara fisik mungkin mereka telah tumbuh besar layaknya orang dewasa, namun ketika kita ajak berpikir secara dewasa, maka mereka masih kekanak-kanakan.

Fase ini memiliki kekhususan dan keistimewaan tersendiri, sehingga menuntut orangtua untuk menggunakan metode-metode yang benar dan tepat dalam berinteraksi.

➡Diantara Kesalahan-Kesalahan dalam Mendidik Remaja:

1. Mengabaikan Pembinaan Keimanan Remaja.
Sungguh, anak adalah tanggungjawab besar yang dibebankan di atas pundak orangtua. Walaupun anak-anak telah belajar di sekolah atau di tempat-tempat pendidikan lainnya, tidak akan sempurna pendidikan mereka kecuali dalam asuhan (bimbingan) keluarga. Oleh karena itu, keluarga mempunyai peran penting dalam mengasuh dan menerapkan pembinaan keimanan bagi anak-anak karena keluarga adalah tiang masyarakat yang memiliki dasar kuat, yang akan menghadang propaganda jika para musuh Islam hendak merusaknya, dan mereka pasti melakukannya.

Pendidikan iman mencakup sejumlah hal sebagai berikut:
a. Pendidikan akidah
Hendaknya seorang anak belajar sejak kecil tentang akidah Islam, yang tentunya disesuaikan dengan fase umurnya. Sehingga dia mengetahui siapa Rabbnya, apa agamanya, dan siapa rasulnya, kemudian mempelajari surat-surat pendek dari Al-Qur'an Al-Karim, meyakini bahwa ada kehidupan setelah kematian, mengimani adanya surga dan neraka, adanya perhitungan amal serta hukumannya, dan lain sebagainya. Semua hal itu disampaikan dengan menyesuaikan kemampuan akal dan pertumbuhannya.

b. Pendidikan ibadah
Kemudian disempurnakan dengan membiasakan ibadah-ibadah sejak kecil. Seyogyanya memerintahkan anak shalat lima waktu ketika sudah berumur tujuh tahun, memukulnya ketika berumur sepuluh tahun jika tidak mau mengerjakannya, dan memisahkan tempat tidurnya. Sehingga tempat tidur anak laki-laki terpisah dengan tempat tidur anak perempuan. Jika memungkinkan, alangkah baiknya jika anak laki-laki dan anak perempuan memiliki kamar sendiri-sendiri.

Hendaknya pula, membiasakan anak-anak untuk berpuasa, sehingga ketika besar sangat mudah sekali melaksanakannya. Dianjurkan juga untuk mengajarkan kepada mereka tentang peperangan yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sa'ad radhiyallahu 'anhu berkata, "Kami mengajari anak-anak kami tentang peperangan yang dilakukan Rasulullah sebagaimana kami mengajari mereka surat dari Al-Qur'an Al-Karim.

Serta mengajarkan kepada mereka tentang pahlawan-pahlawan Islam seperti Khalid bin Walid radhiyallahu 'anhu, Sa'ad bin Abi WAqqash radhiyallahu 'anhu, Abu 'Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu 'anhu, Shalahuddin Al-Ayyubi rahimahullah, Saifuddin Qutuz rahimahullah, dan pahlawan-pahlawan Islam lainnya.

c. Pendidikan akhlak
"Sesungguhnya yang ditinggalkan umat adalah akhlak. Jika akhlaknya telah hilang, hilanglah harga dirinya."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak." (HR. Al-Baihaqi)

Ya, pada hakikatnya akhlak yang kokoh merupakan pondasi Islam, dan dilaksanakannya ibadah adalah untuk mencapai tujuan yang agung, yaitu mewujudkan akhlak yang mulia.

Maka diwajibkan kepada para orangtua untuk menanamkan dasar-dasar akhlak yang utama kepada anak sejak kecil. Mengajari kejujuran, amanah, dermawan, berani, menepati janji, kasih sayang, adil, berbuat baik, berbakti kepada orangtua, bersyukur kepada Allah, dan lain sebagainya.

2. Terlalu Memanjakan Remaja
Sebagai contoh adalah para orangtua yang memberikan kebebasan mutlak kepada anak remajanya, tidak bertanya dari mana ketika masuk rumah dan ke mana ketika keluar rumah, bertanya tentang teman-temannya, selalu memenuhi keinginan dan tuntutan-tuntutan anak remajanyameskipun hal itu membebani dan berlebih-lebihan.

Orangtua yang berinteraksi terhadap anak remajanya dengan cara seperti ini, justru akan merusak generasi remaja, menjadikannya anak manja yang tidak mampu untuk mengemban tanggungjawab di kemudian hari karena selalu menyandarkan diri kepada orangtuanya.

Setiap orangtua harus memahami bahwa menghindari tindakan keras bukan berarti memanjakannya atau memberikan kebebasan yang berlebihan terhadap anak-anaknya, tetapi seimbang dalam mendidiknya. Tegurlah ketika anak melakukan kesalahan, "Nak, kamu salah...," atau jika terlambat pulang dari waktu yang telah ditentukan maka katakan kepadanya, "Mengapa kamu terlambat pulang? Besok, jangan kamu ulangi lagi... " dan begitulah seharusnya.

Jika seorang remaja meminta sesuatu yang membebani orangtua, sehingga tidak mampu mewujudkannya, maka tolaklah permintaannya tersebut dan jangan sekali-kali dituruti karena hal itu di luar kemampuan orangtua.

Permasalahan lain yang timbul dari sifat manja adalah tidak adanya kematangan emosi, yang akan menghantarkan terjadinya berbagai guncangan jiwa ketika dalam suatu keadaan mendapatkan kondisi-kondisi sulit dan tidak mampu menghadapinya. Perkara ini sangat berbahaya sekali. Hendaknya para orangtua memperhatikan anak remajanya yang mereka sangka telah dapat membahagiakannya ketika memanjakan mereka dan memenuhi segala keinginannya.

3. Selalu Mengomentari Kesalahan Mereka
Selalu berkomentar atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat anak remaja, akan menimbulkan kebingungan pada dirinya, merasa bahwa setiap perbuatannya akan disalahkan, sehingga hilanglah ke-pede-annya. Padahal dalam fase ini, kepercayaan diri menjadi sesuatu yang sangat penting bagi remaja. Jika telah hilang, maka akan tumbuh benih-benih kegagalan dalam dirinya.

Jika kita selalu mengomentari dan mengomeli setiap kesalahan -baik kesalahan besar maupun kecil- akan membuat mereka merasa minder dan pesimis. Bahkan, mereka merasa telah terbiasa dengan omelan kita, sehingga acuh tak acuh, kemudian menjadi kebiasaan. Ketika kita mengoreksi kesalahan yang besar dan fatal akibatnya, mereka tak menghiraukan. Maka sebaiknya kita mengoreksi dan mengomentari setiap kesalahan yang pokok saja.

4. Tidak Adanya Keteladanan dalam Perbuatan
Terkadang seorang ayah berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, janganlah berbohong, karena berbohong adalah awal dari kehancuran, dan orang yang berbohong tempatnya di neraka."

Kadang perkataan seperti ini telah membuat anak tunduk. Akan tetapi perkataan seperti ini akan pergi bersama hembusan angin jika seorang anak mendapati ayahnya melakukan satu kebohongan.

Begitu juga dengan seorang ayah yang merokok. Maka bagaimana bisa dia melarang anaknya untuk tidak merokok?! Meskipun sang ayah menyampaikan tentang bahaya rokok, meskipun dia telah mengingatkan tentangnya, meskipun dia telah memberikan alasan yang melemahkan tentang tidak adanya kemampuan menghindarkan diri darinya, maka sekali-kali perkara ini tidak akan membuat anak tunduk untuk tidak melakukannya.

Sesungguhnya sejelek-jelek pendidikan yang salah adalah perkataanmu yang menyelisihi perbuatanmu, sehingga orang yang kamu didik akan hilang kepercayaan terhadap apa-apa yang kamu katakan. Allah berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٢﴾ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٣﴾
"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?" Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." [QS. Ash-Shaff (61) :2 - 3]

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.....

"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya..." (Muttafaqun 'Alaih)

Ini adalah tanggungjawab yang sangat besar, yang harus dipikul oleh kedua orangtua dalam memberikan pendidikan yang baik, memberikan teladan yang baik bagi anak-anak mereka dalam amal shalih, dan menjauhkan mereka dari keburukan dengan segala macam bentuknya.* (Najih)

*Sumber: Sukses Melewati Masa Sulit, 'Adil Fathi Abdullah. 2009. Solo: Samudera


Pertanyaan:
Ustadz, saya memiliki beberapa teman beda agama. Sebagian mereka taat dan sebagian lain seperti halnya muslim yang awam terhadap Islamnya. Secara umum pertemanan kami berjalan seperti biasa, tidak akrab sekali tapi tidak juga jauh. Malah, jika waktu shalat tiba, mereka sering mengingatkan dan menjaga barang - barang kami. Pertanyaannya, apakah hubungan semacam itu termasuk mencintai orang kafir yang dilarang? Sebenarnya apa batasan sikap mencintai dan berlepas diri dari orang kafir dalam hal berinteraksi? Beberapa teman memandang pertemanan semacam ini sebagai hal yang tidak baik dan mereka dingin terhadap orang yang beda agama.

Jawab:
Alhamdulillah, wa shalatu wassalamu 'ala Rasulillah.

Berteman dan bergaul secara baik dengan orang kafir hukumnya haram apabila orang kafir tersebut adalah kafir harbi. Kafir harbi adalah orang - orang kafir militan yang secara nyata memusuhi umat Islam. Kita bisa melihat track record kehidupannya. Mulai dari perkataan, perbuatan maupun tulisan - tulisannya. Atau kegiatannya yang anti Islam.

Allah telah melarang umat Islam menjalin hubungan baik dengan mereka dalam ayat:
"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang - orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.... " (QS. Al-Mujadilah: 22)

Akan tetapi jika mereka bukan kafir harbi, hukumnya boleh. Seperti kita tahu, tidak semua orang kafir memiliki militansi dalam keagamaan mereka. Tidak semuanya memusuhi umat Islam dan senantiasa memendam misi kristenisasi atau hinduisasi dalam setiap aktifitas mereka. Tidak sedikit yang awam dan bahkan tidak terlalu peduli dengan agamanya. Yang mereka utamakan adalah bisa bergaul dengan siapapun dengan nyaman.

Bergaul dengan orang kafir seperti ini hukumnya boleh bahkan memang demikianlah seharusnya. Kita bisa menunjukkan keindahan Islam pada mereka. Apa jadinya jika semua orang kafir disikapi keras dan diabaikan? Siapa yang akan membimbing mereka menuju hidayah?

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang - orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang - orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8).

Inilah batasan dalam sikap berlepas diri dari orang kafir. Yaitu berlepas diri dalam pergaulan dari orang kafir yang memusuhi. Adapun terhadap orang kafir yang tidak memusuhi, kita berlepas diri dari kekufuran - kekufuran yang dilakukan dan tetap bermuamalah dengan baik. Wallahu a'lam.*

Sumber: Majalah Islam Ar-Risalah Edisi 172/ Vol.XXVIII / No. 04 Dzulhijjah - Muharram 1437 H/ Oktober 2015


Oleh Syeikh Abdullah Nashih Ulwan
Apabila hati kedua orang tua mencerminkan perasaan yang jujur berupa kecintaan dan kasih sayang kepada anak, maka hendaknya perasaan itu tidak menghalanginya dari berjihad di jalan Allah, serta menyampaikan seruan Allah di muka bumi. Sebab, kepentingan Islam harus didahulukan dari yang lainnya. Dan karena merealisasikan terbentuknya masyarakat yang Islami adalah tujuan seorang mukmin, dan sasaran hidupnya dan karena sesungguhnya memberikan petunjuk kepada manusia adalah usaha tertinggi seorang muslim dan yang paling ia maksimalkan dalam menyebarkannya.

Demikianlah yang dipahami generasi pertama dari kalangan Sahabat Rasulullah dan yang mengikuti jejaknya dengan baik. Mereka tidak mengenal suatu pergerakan selain jihad, dan seruan kecuali dakwah, dan tujuan selain Islam. Tidak aneh bila kita mendengar mereka yang besar di dalam kancah dakwah Islamiyah dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi penuh dengan pengorbanan di jalan tersebut dan besarnya cita-cinta mereka untuk meraih kesyahidan di jalan Allah.

Simaklah apa yang dikatakan oleh sahabat Ubadah bin Shamit ketika berhadapan dengan penguasa Mesir, yaitu Raja Muqauqis yang mengancamnya dengan kekuatan pasukan Romawi dan membujuknya dengan harta dan dinar, “Janganlah kalian menipu diri kalian sendiri dan sahabat-sahabat Anda. Anda menakut-nakuti kami dengan kekuatan Romawi yang berjumlah banyak. Anda juga mengatakan bahwa kami tidak akan mampu mengalahkan mereka. Demi usiaku, sungguh, bukan itu yang membuat kami takut dan bukan pula kematian, jika yang kamu katakan itu memang benar.

“Dalam hal ini, kami berada dalam salah satu dari dua kebaikan. Apabila kami dapat mengalahkanmu, maka kami akan mendapatkan keuntungan di dunia. Atau, jika kamu dapat mengalahkan kami maka kami akan mendapatkan keuntungan di akhirat. Dan sesungguhnya Allah telah menyatakan di dalam firmanNya:

...Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabat,” (QS Al-Baqarah: 249).

“Tak ada seorang pun di antara kami ini kecuali ia berdoa kepada Rabbnya di waktu pagi dan sore hari agar dapat gugur di jalan Allah, agar Allah tidak mengembalikannya ke kampung halaman dan negerinya. Tidak ada di antara kami yang mempunyai keinginan untuk kembali kepada keluarganya dan anaknya. Sebab, setiap orang di antara kami telah menitipkan keluarga dan anaknya kepada Rabbnya. Kami hanya memiliki tujuan berjihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat-kalimatNya. Adapun jika Anda mengatakan bahwa kehidupan kami ini sempit, maka sesungguhnya kami lebih lapang. Dan sekiranya dunia ini milik kami seluruhnya, maka kami pun tidak akan mengambilnya lebih banyak dari yang kami perlukan.”

Inilah sikap seorang Ubadah bin Shamit Radhiyallahuanhu yang hanya satu dari seribu sikap mulia dari para leluhur kita yang mulia pada rentang sejarah yang panjang. Dan tidaklah semua pengorbanan mereka semua ini dan prioritas cintanya mereka kepada jihad dan dakwah mengalahkan cintanya mereka kepada anak dan keluarga, rumah dan kerabat. Mereka selalu merenungkan firman Allah:

“Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik,” (QS At-Taubah: 24).

Berikut adalah perkataan mulia yang pernah disampaikan oleh Imam Asy-Syahid Hassan Al-Banna Rahimahullah, tatkala beliau menginspeksi para pemuda yang berdakwah kepada Allah di setiap kejadian dan kondisi. Saat beliau hendak keluar untuk urusan tersebut, anaknya yang bernama Saiful Islam jatuh sakit keras yang hampir merenggut nyawanya. Maka berkatalah sang istri kepada beliau, “Sekiranya engkau bisa menyempatkan tinggal sejenak bersama kami dan duduk di samping anakmu yang sedang sakit.”

Beliau menjawab sambil membawa tas di tangannya, “Jika Allah menganugerahi kesembuhan kepada anakku maka segala puji bagi Allah atas pemberianNya, tetapi jika ia ditakdirkan untuk mati, maka kakeknya lebih mengetahui jalan ke kubur.” Kemudian beliau berlalu sambil membaca firman Allah:

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak...” (QS At-Taubah: 24).

Allah Akbar! Itulah hendaknya semboyan di dalam meninggikan kalimat Allah. Demikian juga pula seorang dai harus bersikap. Sekiranya para pendahulu kita dan pengemban amanah dakwah berbekal sikap mulia seperti ini, maka cukuplah untuk mengekalkan kemuliaan dan ketinggian sepanjang masa.

Wahai para orang tua yang beriman, haruslah yang namanya kecintaan kepada Islam, jihad dan dakwah kepada Allah itu menguasai hatimu dan hati keluargamu. Kecintaan tersebut harus lebih didahulukan daripada kecintaan kepada keluarga, anak, dan kerabat, sehingga Anda dapat bertolak menuju dakwah dan mengusung panji jihad. Mudah-mudahan Anda termasuk orang-orang yang membangun kemegahan Islam dengan tekad yang kuat. Semua itu tidaklah sulit bagi Allah.

Simak pula apa yang menjadi sabda dari Rasulullah kepada orang-orang yang hendak menyempurnakan keimanannya, yang ingin merasakan manisnya iman dari hati yang paling dalam, dan mengenyam lezatnya iman, jauh di dalam rongga dadanya.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dari Anas bin Malik Radhiyallahuanhu, bahwa Rasulullah bersabda:

Tiga hal yang manakala seseorang berada di salah satu darinya, maka ia akan mendapatkan manisnya iman; hendaknya Allah dan RasulNya lebih ia cintai daripada selainnya, tidaklah mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan membenci jika dikembalikan kepada kekafiran sebagaimana ia takut diemparkan ke dalam neraka.

Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari, bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahuanhu berkata kepada Nabi , “Sesungguhnya engkau, wahai Rasulullah, adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri yang berada di antara kedua sisiku.”

Maka beliau menjawab, “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sebelum kaliam mencintai aku melebihi cinta kalian kepada diri mereka sendiri.”

Umar Radhiyallahuanhu lalu berkata, “Demi zat yang telah menurunkan Al-Kitab kepadamu, sungguh engkau lebih aku cintai daripada diriku yang berada di antara kedua sisiku.”

Nabi menjawab, “Sekarang (telah sempurna imanmu), wahai Umar.

Disebutkan di dalam Ash-Shahihah, bahwa Rasulullah bersabda:

Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga ia menjadikan hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang di datangkan kepadaku (wahyu).

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda:

Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga aku menjadi yang paling kalian cintai daripada hartanya, anaknya, dan manusia semuanya.

Sumber:
Ulwan, Abdullah Nashih. 2012. Pendidikan Anak dalam Islam. Solo: Insan Kamil. Hal. 30-33



Dari Ibnu Abbas Radhiyallahuanhu ia berkata, pada suatu hari aku membonceng Rasulullah kemudian dia bersabda kepadaku, "Wahai anak muda, aku akan mengajarimu beberapa perkara:

احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ

1. Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu.

"Jika engkau mengamalkan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya, niscaya Allah akan menjaga urusanmu di dunia dan di akhirat," [Syeikh Jamil Zainu].

احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ

2. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatin-Nya di hadapanmu.

"Jika engkau memelihara hukum-hukum Allah dan memelihara hak-hak-Nya, niscaya engkau akan mendapati Allah senantiasa memberimu taufik dan pertolongannya kepadamu," [Syeikh Jamil Zainu].

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

3. Jika engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah, dan jika engkau meminta tolong, mintalah kepada Allah.

"Jika engkau menginginkan pertolongan Allah atas urusanmu di dunia atau di akhirat, mintalah kepada Allah, terutama untuk urusan yang tidak ada yang sanggup memberi pertolongan kecuali Allah semata, seperti kesembuhan dari penyakit, atau rejeki.

وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ

4. "Ketahuilah sesungguhnya jika seluruh manusia bersatu untuk memberimu manfaat, maka mereka tidak akan memberi manfaat apa pun selain yang telah ditakdirkan Allah untukmu. Seandainya bila mereka bersatu untuk membahayakanmu, mereka tidak akan membahayakanmu sama sekali kecuali yang telah ditakdirkan Allah kepadamu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering (maksudnya takdir telah ditetapkan)," [HR Tirmidzi].

"Seorang muslim hendaknya mengimani takdir yang telah ditetapkan Allah atasnya, baik itu takdir yang baik atau pun takdir yang buruk," [Syeikh Jamil Zainu].

Pelajaran dari hadist di atas antara lain:
1. Rasulullah sangat cinta kepada anak-anak. Beliau memboncengkan Ibnu Abbas dan memanggilnya dengan, "Yaa Ghulam.." (Wahai anak muda..).

2. Perintah kepada orang tua agar memerintahkan anak-anak mereka menaati Allah dan menjauhkan mereka dari kemaksiatan demi kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.

3. Allah akan menolong seorang mukmin yang sedang mengalami kesulitan apabila ia mau memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia ketika ia dalam keadaan lapang, sehat, dan kaya raya.

4. Perintah kepada orang tua agar menanamkan akidah tauhid di dalam jiwa anak dengan menyuruh mereka untuk meminta sesuatu atau pertolongan hanya kepada Allah.

5. Menetapkan akidah keimanan terhadap takdir yang baik dan yang buruk karena itu merupakan bagian dari rukun iman.

6. Perintah kepada orang tua agar mendidik anak-anak mereka bersikap optimis agar bisa menghadapi hidup dengan penuh keberanian dan harapan, serta menjadi pribadi yang bermanfaat bagi umatnya.

Sumber:
Zainu, Jamil. 2005. Seruan kepada Pendidik dan Orang Tua. Solo: Pustaka Barokah.
===============
Telegram: telegram.me/pptqattaqwa Website: http://www.el-taqwa.com
Whatsapp: +6285647172180
Facebook: facebook.com/pptqattaqwa
===============
Donasi untuk Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo:
(BRI): 6913-01-018205-53-4
a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa
Konfirmasi: +6285647172180


Oleh Syeikh Salim Sholih Ahmad bin Madhi
Anak-anak pada fase pertama memiliki karakteristik ingatan yang kuat. Sudah semestinya kita arahkan untuk menuntut ilmu dan mengajari mereka perkara-perkara agama. Seperti menghafal al-Quran al-Karim dan sunah nabi yang suci serta menanamkan aqidah yang benar.

Umat ini amat butuh kepada ulama yang kuat dan dai-dai yang berpandangan luas dengan al-Quran dan sunah. Hal ini tidak akan terwujud selain dengan menuntut ilmu sedini mungkin. Jangan katakan hal ini sulit atau mustahil.

Di dalam Al-Adabush Syariah (I/244), Ibnu Muflih berkata:
"Ilmu yang didapat sejak kecil lebih kuat. Sudah seharusnya memperhatikan pelajar muda, terlebih lagi mereka yang memiliki kecerdasan, penalaran dan semangat menuntut ilmu. Janganlah menjadikan usia dini, kefakiran dan kelemahan mereka sebagai penghalang dalam memperhatikan dan fokus pada mereka.”

Di dalam kitab Siar A’lam An-Nubala (III/343) terekam sejarah Ibnu Abbas yang mulai menuntut ilmu sedari dini.

Ibnu Abbas mengisahkan,

Ketika Rasulullah wafat, aku berkata kepada seorang anak lelaki Anshar:

“Ayo kita bertanya (mengumpulkan hadits) kepada para sahabat Nabi yang sekarang jumlah mereka masih banyak.”

Anak laki-laki itu menjawab:

“Engkau ini aneh, wahai Ibnu Abbas, apakah engkau merasa bahwa orang-orang akan membutuhkanmu?! Bukankah para sahabat Nabi masih cukup banyak seperti yang engkau tahu!”

Aku pun meninggalkan anak itu dan mulai menanyai para sahabat. Jika merasa akan mendapatkan hadits dari seseorang, aku akan mendatanginya dan membentangkan selendangku di depan pintu rumahnya, walau angin bertiup dan debu-debu beterbangan mengenaiku.

Ketika orang itu keluar dan melihatku, dia berkata:

“Wahai sepupu Rasulullah, mengapa tidak engkau utus saja seseorang kepadaku dan aku akan mendatangimu?!”

“Aku lebih berhak mendatangimu untuk menanyaimu (menimba ilmu darinya)...” Jawabku.

Di saat yang sama, anak lelaki itu masih tetap pada keadaannya. Ketika dia melihatku dikerumuni banyak orang yang belajar kepadaku, dia berkata:
“Anak muda ini lebih berakal dariku.”

Demikianlah kisah Ibnu Abbas yang keilmuannya diakui di kalangan sahabat. Prestasi sedemikian rupa bukanlah didapat secara instan, tetapi melalui proses yang panjang dimulai sedari dini berkat asuhan orang tua bijak yang mengerti dan memahami arti pendidikan.

Sungguh benar nasihat Ummu Darda,

“Pelajarilah ilmu dari kecil, maka ketika besar engkau akan mengamalkannya. Sesungguhnya apa yang dipetik adalah apa yang dulu ditanam,” (Siar a’lam an-Nubala XII/615).

Sumber:

Madhi, Salim Sholih Ahmad. 2011. 30 Langkah Mendidik Anak Agar Mengamalkan Ajaran Agama. Riyadh: Islamhouse

🌾🌾🌾🌾🌾
______________
👍Zakat, infak, atau sedekah Anda untuk PPTQ At-Taqwa Sukoharjo bisa melalui transfer ke No. Rek (BRI): 6913-01-018205-53-4 a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa

📩Berlangganan tausiyah dari PPTQ At-Taqwa Nguter. Ketik "GABUNG" kirim via Whatsapp ke: +6285647172180

🔊Raih pahala dengan berbagi konten bermanfaat


Sejarah Islam yang mulia merekam kisah-kisah dan contoh kepribadian anak yang dipengaruhi oleh kepribadian ayah dan ibu mereka. Berikut adalah tiga penggal kisah tentang Abdullah bin Zubair Radhiyallahuanhum, seorang sahabat besar dengan kepribadian yang kuat, buah dari kepribadian orang tuanya yang kuat pula.

Kepribadian Zubair bin Awwam (Sang Ayah) dan Pengaruhnya terhadap Kepribadian Abdullah bin Zubair
Al-Laits meriwayatkan dari Abul Aswad dari Urwah, katanya:

"Az-Zubair memeluk Islam dalam usia 8 tahun. Suatu waktu  dia pernah mendapat bisikan setan bahwa Rasulullah shalallahualaihi wasallam ditangkap di dataran tinggi Mekkah.

Az-Zubair yang masih kanak-kanak, berusia 12 tahun keluar rumah sambil membawa pedang. Setiap orang yang melihatnya terheran-heran dan berkata:

“Anak kecil menenteng pedang?!”

Hingga akhirnya Abdullah bin Zubair bertemu Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Nabi turut heran terhadapnya dan bertanya:

“Ada apa denganmu wahai az-Zubair?!”

Az-Zubair lalu menceritakan bisikan setan yang ia terima itu lalu berkata: 

“Aku datang untuk memenggal dengan pedangku ini siapa pun yang menangkapmu, wahai Rasulullah!” (Siar A’lam An-Nubala: 1/41-42).

Kepribadian Asma binti Abu Bakar (Sang Ibu) dan Pengaruhnya terhadap Kepribadian Abdullah bin Zubair
Imam adz-Zahabi berkata:
Abu al-Muhayyah Ibn Ya’la at-Taymi Menceritakan kepada kami dari ayahnya, katanya:

“Aku masuk ke Mekkah tiga hari setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubair karena dipasung (oleh khilafah masa itu). Ibunya yang sudah renta datang dan berkata kepada al-Hajjaj (khalifah masa itu): 
“Bukankah sekarang saatnya bagi yang terpasung untuk turun?”

“Si munafik? (Al-Hajjaj menyebut Abdullah bin Zubair sebagai munafik)” ujar al-Hajjaj menyela.

“Demi Allah, dia bukanlah orang munafik. Dia adalah anak yang senantiasa berpuasa, shalat malam dan berbakti kepada orang tua,” sergah Ibu Ibnu az-Zubair.

“Pergilah engkau wahai orang tua, engkau tengah membual,” ucap al-Hajjaj.   

Ibu Abdullah bin Zubair berkata lagi, “Tidak, demi Allah, aku tidaklah membual karena Rasulullah bersabda: 

فِيْ ثَقِيْفٍ كَذَّابٌ وَمُبِيْرٌ
“Di Tsaqif akan ada pendusta dan orang yang sadis...” (HR Tirmidzi).*

*Imam Tirmidzi menjelaskan bahwa yang dimaksud pendusta di sini adalah Al-Mukhtar bin Abu Ubaid, sedangkan “orang yang sadis” adalah Al-Hajjaj bin Yusuf. Beliau menambahkan—dari riwayat Hisyam bin Hassan—bahwa jumlah korban yang dibunuh oleh Hajjaj bin Yusuf mencapai 120.000 orang.

Keberanian Abdullah bin Zubair
Ishaq bin Abu Ishaq berkata:

“Aku hadir pada peristiwa terbunuhnya Abdullah bin Zubair. Banyak tentara mendatangi masjid untuk mengepung Abdullah bin Zubair dari semua pintu.

Ketika ada satu kelompok pasukan masuk dari suatu pintu, Abdullah bin Zubair berhasil menghalaunya dan mengeluarkannya.

Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba sebuah atap masjid rubuh dan menimpanya hingga tersungkur. Di kala itulah Abdullah bin Zubair membaca syair:

Asma’, wahai Asma’ (Ibu Abdullah bin Zubair) janganlah kau menangis karenaku,

Tidak akan tertinggal selain kemuliaan dan agamaku,

Serta pedang yang tergenggam di tangan kananku,” (Siar A’lam An-Nubala: 3/377).

Sumber:

Madhi, Salim Solih Ahmad. 2011. 30 Langkah Mendidik Anak agar Mengamalkan Ajaran Agama. Riyadh: Islamhouse.
====================
👍Zakat, infak, atau sedekah Anda untuk Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo bisa melalui transfer ke No. Rek (BRI): 6913-01-018205-53-4 a/n PP Tahfizhul  Qur'an At-Taqwa

📩Berlangganan tausiyah dari Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter, Sukoharjo . Ketik "GABUNG" kirim via Whatsapp ke: +6285647172180


🔊Raih pahala dengan berbagi konten bermanfaat


Kesalehan orang tua berpengaruh besar terhadap kesalehan anak. Sejarah Islam merekam kisah dan contoh kepribadian anak yang dipengaruhi oleh kepribadian ayah dan ibu mereka.

Rasa takut Fudhail Bin Iyadh dan pengaruhnya terhadap anaknya Ali bin Fudhail bin Iyadh

Muhammad Ibn Nâhiah mengisahkan:

"Aku shalat subuh bermakmum di belakang Fudhail bin Iyadh. Dia membaca surat al-Hâqah. Ketika tiba pada bacaan:

خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ  ۙ
"(Allah berfirman): "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya," [QS. Al-Haqqah: 30].

Maka Fudhail bin Iyadh tak kuasa membendung tangisnya.

Ishaq Ibn Ibrahim at-Thabari berkata:

“Aku tidak mengetahui seseorang yang lebih takut terhadap dirinya dan lebih perhatian kepada manusia dari pada al-Fudhail.

"Bacaan al-Qurannya miris, merindu, perlahan, dan syahdu, seolah sedang berkomunikasi dengan seseorang. Jika lewat pada ayat yang menyebutkan tentang surga, ia mengulang-ulanginya."

Kesalehan Fudhail bin Iyadh tak pantas diragukan, hingga kesalehan itu menurun kepada putranya, Ali bin Fudhail Ibn 'Iyâdh.

Dari Abu Bakar Ibn 'Iyâsy ia berkisah:

"Aku shalat magrib di belakang Fudhail Ibnu 'Iyadh, sementara putranya, Ali berada di sampingku.

"Saat itu Fudhail membaca Surat At-Takatsur. Ketika sampai pada ayat:

لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَۙ
"niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim," [QS. At-Takasur: 6].

Maka seketika itu juga Ali bin Fudhail jatuh pingsan, sedangkan ayahnya Fudhail bin Iyadh terus melanjutkan bacaannya."

Abu Sulaiman ad-Dârani menambahkan, "Ali Ibn Fudhail tidak sanggup membaca surat al-Qori'ah atau dibacakan kepadanya."

Sumber:
Ibn Madhi, Salim Salih Ahmad. 30 Langkah Mendidik Anak.


Allah ta'ala berfirman:
"Wahai orang - orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.... " (QS. At-Tahrim: 6)

Kedua orang tua, pendidik, serta masyarakat bertanggungjawab di hadapan Allah akan pendidikan generasi muda. Jika mereka mendidik dengan pendidikan yang baik, maka mereka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Namun, bila mereka mengabaikan pendidikannya, maka mereka akan merasakan kesengsaraan dan beban dosanya berada di pundak mereka (orang tua, pendidik, dan masyarakat).

Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah bersabda,

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang telah dipimpinnya," (Muttafaqun 'alaihi).

Adalah kabar gembira bagi pendidik dengan sabda Rassulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

"Maka demi Allah, petunjuk yang Allah berikan kepada seseorang melalui kamu lebih baik bagimu daripada unta merah (kendaraan yang mewah)," (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dan merupakan kabar gembira bagi kedua orang tua dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya," (HR. Muslim).

Akan tetapi, hendaknya seorang murabbi (pendidik) memperbaiki dirinya terlebih dahulu. Sebab, kebaikan di mata anak-anak adalah apa saja yang dikerjakan oleh pendidik, dan keburukan di mata anak-anak adalah yang ditinggalkan oleh mereka para pendidik. Sesungguhnya, tingkah laku yang baik dari seorang guru dan kedua orang tua di depan anak-anak adalah pendidikan yang paling utama bagi mereka.

Berikut adalah beberapa kewajiban orang tua, pendidik atau pun guru:

1. Melatih anak-anak untuk mengucapkan kalimat syahadat.
لا إله إلا الله محمد رسول الله
dan menjelaskan maknanya ketika mereka sudah besar.
"لا معبود بحق الا الله"
"Tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah."

2. Menanamkan rasa kecintaan dan  keimanan kepada Allah dalam hati mereka, karena Allah adalah Pencipta, Pemberi rizki dan Penolong satu-satuya tanpa ada sekutu bagi-Nya.

3. Memberi kabar gembira kepada mereka dengan janji surga, bahwa surga akan diberikan kepada orang-orang yang melakukan shalat, puasa, mentaati kedua orang tua dan beramal dengan apa  yang diridhai oleh Allah, serta memberikan peringatan bagi  mereka dengan neraka, bahwa neraka diperuntukkan bagi orang yang meninggalkan shalat, durhaka kepada kedua orang tua, membenci Allah, melaksanakan hukum selain hukum Allah, serta  memakan harta orang lain dengan menipu, membohongi, riba dan lain sebagainya.

4. Mengajarkan anak-anak untuk meminta dan memohon pertolongan hanya kepada Allah semata, sebagaimana sabda Rasulullah (kepada anak pamannya),

"Jika engkau meminta sesuatu mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan mohonlah kepada Allah," (HR. At-Tirmidzi; hadits hasan shahih). Wallahu'alam bish shawwab

Diterjemahkan oleh Najih Ibrahim* dari kitab berjudul, "Taujihat Islamiyah Li Ishlaahil Fardi wal Mujtama'" karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

*Staf pengajar Ilmu Fiqih di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an At-Taqwa Nguter, Sukoharjo.
Diberdayakan oleh Blogger.