Halloween party ideas 2015
Tampilkan postingan dengan label Akhlak. Tampilkan semua postingan


Suatu malam, seseorang mendatangi Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah yang ketika itu beliau sedang menulis dan lampu yang meneranginya hampir padam.

Mengetahui hal tersebut, tamu itu lantas berkata, "Bagaimana bila kuperbaiki lampu itu?"

Beliau menjawab, "Bukan merupakan suatu kemuliaan jika seseorang mempekerjakan tamunya."

Tamu itu berkata lagi, "Kalau begitu, aku akan membangunkan pelayan."

Beliau menjawab, "Ini malam pertama kali dia tidur, jangan bangunkan dia."

Lalu beliau mengambil sendiri sebuah botol dan mengisi lampu itu dengan minyak.

Tamu itu bertanya lagi, "Bagaimana mungkin engkau melakukannya sendiri, wahai Amirul Mukminin?

Beliau menjawab, "Saya pergi, saya tetap Umar. Saya kembali dan saya pun tetap Umar, tidak berkurang sedikit pun dariku, dan orang yang paling baik adalah orang yang rendah diri di sisi Allah."

Kisah di atas hanyalah satu gambaran dari akhlak tawadu' yang merupakan akhlak yang mulia dan sifat yang luhur.

Secara bahasa "akhlak" adalah bentuk jamak dari "al-khuluq" yang berarti tabiat, budi pekerti, atau kebiasaan.

Secara istilah, akhlak adalah kondisi yang kuat dalam jiwa yang darinya muncul keinginan berusaha dalam bentuk kebaikan, keburukan, keindahan, dan kejelekan. Secara tabiat, akhlak dapat dipengaruhi oleh pendidikan yang baik dan pendidikan yang buruk.

Apabila kondisi tersebut dibina untuk memilih keutamaan dan kebenaran, mencintai kebaikan, antusias terhadap kebaikan, dilatih untuk mencintai keindahan, serta membenci keburukan, niscaya itu semua akan menjadi tabiatnya. Dari tabiat itu akan muncul perbuatan-perbuatan baik seperti lembut, sayang, sabar, dermawan, berani, adil, tawadu', dan jujur.

Begitu pula, apabila akhlak itu tidak dibimbing sebagaimana mestinya, tidak ditanamkan bibit-bibit kebaikan di dalamnya, atau malah dididik dengan pendidikan yang buruk, niscaya yang jelek akan disukai, sedangkan yang baik akan dibenci.

Maka muncullah darinya secara otomatis perkataan dan perbuatan yang buruk seperti khianat, dusta, keluh kesah, tamak, kikir, hasad, dengki, keji, sombong, dan malas.

Dari sinilah Islam menyeru kepada kaum muslimin untuk memiliki akhlak yang baik. Oleh karena itu, Islam mengukur keimanan seorang hamba berdasarkan keutamaan-keutamaan yang ada pada dirinya, serta akhlak baik yang ada padanya.

Allah menjadikan akhlak mulia sebagai penyebab meraih jannah. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman:

"Dan bersegeralah  kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang - orang yang bertakwa; (yaitu) orang - orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang - orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang - orang yang berbuat kebajikan. " (QS Ali-Imran: 133-134)

Rasulullah juga telah menjelaskan keutamaan akhlak yang baik dalam sabdanya,

"Tak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan amal selain akhlak yang baik," (HR. At-Tirmidzi).

Pendapat Ulama tentang Akhlak yang Baik
Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata, "Akhlaqlk yang baik adalah wajah yang ceria, murah hati, dan tidak mengganggu yang lain."

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, "Akhlak yang baik ada pada tiga kebiasaan; menjauhi hal-hal yang haram, mencari yang halal, dan berbuat lapang pada keluarga."

Ulama yang lain berkata, "Akhlak yang baik adalah menahan diri untuk tidak mengganggu orang mukmin, tetapi membantu penderitaan seorang mukmin."

Ulama yang lain juga berkata, "Akhlak yang baik adalah engkau tidak memiliki tujuan selain Allah. "

Demikianlah keutamaan dan kemuliaan pemilik akhlak yang baik. Allah memuji Nabi-Nya dengan kebaikan akhlaknya:

"Dan sesungguhnya kamu benar - benar berbudi pekerti yang agung," (QS Al-Qalam : 4)

Semoga  kita dimudahkan oleh Allah untuk dapat meraih mutiara berupa  akhlak yang baik. Amiin

Nguter, 29 Juli 2015.
Najih Ibrahim,
Staf pengajar Fiqih di Pondok Pesantren Tahfizul Quran At-Taqwa Nguter.

Referensi:
Minhajul Muslim karya Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza'iri
Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia


Oleh Ust Lukman Al-Azhar, Lc*
Pada hakikatnya meminta adalah perbuatan yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Dan dianjurkan bagi seorang muslim menahan dirinya dari meminta sesuatu yang bersifat keduniaan yang ada ditangan orang lain. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ

Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai oleh Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu,” (HR. Ibnu Majah).

Dan Rasulullah juga mengabarkan tentang tercelanya orang yang meminta-minta sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Tidaklah seorang lelaki senantiasa meminta-minta hingga pada hari kiamat kelak ia akan datang dan dengan wajah yang tak berdaging,” (HR. Bukhari).

Ada pun hukum mengabulkan permintaan orang yang meminta maka hal ini terbagi dalam beberapa keadaan.

1. Seseorang meminta dengan cara umum yang digunakan oleh manusia tanpa mengaitkan dengan Allah

Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta kepada orang lain dengan mengatakan, “Wahai Fulan, berilah saya sesuatu.” Permintaan semacam ini dianjurkan bagi kita untuk memberinya selagi tidak digunakan untuk kemaksiatan seperti meminta uang untuk membeli Khamr. Namun, mengabulkan permintaan ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan.

2. Meminta dengan mengaitkan permintaannya kepada Allah

Permintaan semacam ini ada dua jenis:
a. Meminta dengan syari’at Allah
Hal ini sebagimana seorang fakir yang meminta haknya secara syar’i kepada seseorang yang kaya, seperti meminta zakat, sedekah dan yang sejenisnya.

Hukum mengabulkan permintaan yang semacam ini tergantung pada keadaannya. Apabila ia adalah orang yang berhak dan sangat membutuhkan, maka wajib bagi kita untuk mengabulkan sekadar apa yang ia butuhkan. Dan apabila ia tidak termasuk orang yang berhak, maka kita tidak diwajibkan untuk mengabulkannya.

b. Meminta dengan cara menyebut atau bersumpah atas nama Allah
Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta dengan menggunakan kata-kata ( أسألك بالله ) “Saya meminta kepadamu atas nama Allah.”

Maka, mengabulkan permintaan yang semacam tergantung kepada apa yang dimintanya. Apabila yang diminta adalah sesuatu yang mubah secara syar’i, maka hukumnya adalah wajib untuk dikabulkan. Akan tetapi, apabila yang diminta adalah sesuatu yang diharamkan atau membahayakan, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.

Sebagaimana seseorang yang meminta uang atas nama Allah namun akan digunakan untuk membeli khamr, dan juga orang yang meminta untuk menceritakan rahasia atau aib keluarga, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.

Wajibnya mengabulkan permintaan orang yang meminta atas nama Allah ini disandarkan kepada hadist Rasulullah:

مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

Barang siapa yang meminta perlindungan kepada Allah maka lindungilah ia. Dan barang siapa yang meminta kepada Allah maka berilah ia. Dan barang siapa siapa mengundangmu maka datangilah ia. Dan barang siapa berbuat baik kepadamu maka balaslah kebaikan kepadanya. Dan apabila engkau tidak mendapatkan apa yang cukup untuk membalas kebaikannya maka berdoalah baginya sampai engkau merasa bahwa engkau telah cukup dalam membalas budinya,” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

Demikian juga dengan hadits Rasulullah:

مَلْعُوْنٌ مَنْ سُئِلَ بِوَجْهِ اللهِ وَمَلْعُوْنٌ مَنْ يُسْأَلُ بِوَجْهِهِ ثُمَ مَنَعَ سَائِلَهُ مَالَمْ يَسْأَلْ هَجْرًا

Terlaknat orang yang dimintai dengan wajah Allah dan terlaknatlah orang yang dimintai atas nama Allah kemudian ia menolak permintaannya, kecuali permintaan untuk memutuskan hubungan,” (HR. Thabrani, beliau berkata di dalam tanbihul ghafilin bahwa rijal isnadnya shahih kecuali syaikhnya yang bernama Yahya bin Utsman bin Shalih dan kebanyakan ahlu hadits mentsiqahkannya).

Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ الْبَرِيَّةِ قَالُوا بَلَى قَالَ الَّذِي يُسْأَلُ بِاللَّهِ وَلَا يُعْطِي بِهِ

Maukah aku kabarkan kepada kalian seburuk-buruk manusia? Mereka (para sahabat) berkata, ‘Iya wahai Rasulullah.’ Rasulullah bersabda, “Seseorang yang dimintai dengan nama Allah namun ia tidak memberinya,” (HR. Ahmad).

Beberapa hadist di atas sangat jelas mewajibkan untuk mengabulkan permintaan orang yang meminta atas nama Allah. Ada beberapa alasan tentang diwajibkannya mengabulkan permintaan ini:

Karena membebaskan sumpah adalah wajib, maka ketika seseorang bersumpah kepada kita agar kita melakukan sesuatu maka diwajibkan bagi kita untuk melakukannya selagi tidak dalam kemaksiatan. Hal ini sebagaimana hadist Rasulullah terhadap seorang wanita yang diberi hadiah kurma namun ia hanya memakan sebahagiannya dan meninggalkan sebahagian yang lain. Maka kemudian sang pemberi hadiah bersumpah kepada wanita tersebut agar memakan sisanya, namun ia menolak, sehingga Rasulullah bersabda kepadanya:

أَبِرِّيهَا فَإِنَّ الْإِثْمَ عَلَى الْمُحَنِّثِ

Bebaskanlah ia dari sumpahnya karena akan mendapat dosa bagi orang yang mengingkari sumpahnya,” (HR.Ahmad).

Sebagai bentuk pengagungan terhadap terhadap nama Allah yang disebutkan saat meminta.

Referensi:
1. Fathul Majid, karya Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab
2. Qoulul Mufid, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
3. Taisirul Azizil Hamid, karya Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad Bin Abdul Wahhab
4. Minhajul Muslim, karya Abu Bakar Jabir Al-Jazairiy

*Penulis adalah Mudir (Direktur) Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa, Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah.


Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc
“Tidaklah aku berdiskusi dengan orang lain

kecuali aku berharap Allah menampakkan kebenaran melalui lesannya.”

(Imam Syafi’i)

Berbicara tentang perbedaan, tentu tidak ada di antara kita yang dapat lepas darinya. Sebab, perbedaan merupakan keniscayaan yang tak dapat dihindari. Oleh karenanya, perbedaan perlu disikapi secara bijak.

Acapkali salah dalam menyikapi perbedaan hanya menghasilkan perselisihan dan permusuhan. Perbedaan tidak lagi mendatangkan rahmat, namun berubah menjadi laknat. Lantas bagaimana kita menyikapi perbedaan yang ada?

Dalam menyikapi hal ini, kita dapat mencoba untuk mempertemukan dua belah pihak dalam rangka melakukan tabayyun (klarifikasi), saling menasehati, atau diskusi. Usaha tersebut dapat berupa pertemuan intens antara kedua belah pihak atau diskusi terbuka yang dihadiri oleh semua orang. Tujuannya adalah untuk mencari titik temu.

Forum ini kirannya akan banyak mendatangkan manfaat sebagaimana yang dikatakan oleh Al Barbahari: “Mengadakan majelis untuk saling menasehati akan membuka pintu kebaikan. Adapun bermajelis untuk berdebat hanya akan menutup pintu kebaikan.”

Tentunya dalam pertemuan ini ada beberapa adab yang perlu dijaga oleh kedua belah pihak. Agar nantinya tujuan awal untuk mendapatkan titik temu dapat dicapai. Kalaupun tidak tercapai, pertemuan tersebut tidak meninggalkan bekas luka akibat perbedaan. Di antara adab tersebut adalah:

1. Ikhlas
Dalam semua perkara yang dilakukan seorang muslim, niatan ikhlas haruslah terwujud. Tak terkecuali ketika berdiskusi. Karenanya, sedari awal tujuan diskusi terbuka hendaknya selalu ditujukan semata ikhlas karena Allah dan untuk menemukan jalan yang paling benar. Bukan untuk menunjukkan yang kalah ataupun yang menang. Atau untuk unjuk kecerdasan dan wawasan yang dimiliki. Terlebih, hanya ingin mengundang decak kagum serta pujian para pendengar. Na’udzubillah min dzalik.

Pun, ketika diskusi berlangsung, jangan sampai keikhlasan ternodai karena enggan untuk mengakui kebenaran yang berasal dari lawan bicara. Tak jarang hal ini terjadi disebabkan rasa malu karena tengah berada di hadapan publik. Di sinilah keikhlasan akan diuji.

Alangkah indah perkataan Imam Syafi’i: “Aku tidak pernah khawatir dari manakah kebenaran tersebut ada. Apakah dari diriku ataukah dari lawan bicaraku.” Ucapan tersebut bukan saja sebagai pemanis bibir. Tetapi betul-betul berasal dari kesucian hati yang menjadi identitas diri.

2. Adil dan Obyektif
Selanjutnya, diskusi haruslah disandarkan pada ilmu. Tentunya sebelum diskusi berlangsung, masing-masing pihak mempersiapkan materi yang akan didiskusikan. Jangan berdiskusi dalam perkara yang tidak dikuasai dengan baik.

Jangan pula hanya berdasar pada akal belaka. Sehingga diskusi yang berlangsung hanya sekadar debat kusir yang tak ada kunjung akhirnya.

Obyektif juga berarti tidak ta’assub (fanatik) terhadap pendapat tertentu yang jelas-jelas salah. Kadang fanatik dapat membutakan mata hati seseorang yang menyebabkan dirinya kehilangan obyektifitas dalam menilai sesuatu. Oleh sebab itu Ibnu Taimiyah mengingatkan: “Diskusi tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai dengan sikap adil.

Pada prinsipnya, kebenaran tidaklah terpatok kepada seseorang. Tetapi yang menjadi tolok ukur adalah kebenaran itu sendiri. Sehingga kita dapat menilai dengan obyektif siapa yang berada di atas kebenaran dan siapa yang berada di atas kebatilan. Ali bin Abi Thalib pernah bertutur:

اعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ , وَ لاَ تَعْرِفِ اْلحَقَّ بِالرِّجَالِ

“Ketahuilah kebenaran, niscaya kamu akan mengetahui siapa yang berada di atasnya. Karena kamu tidak akan mengetahui kebenaran dengan menjadikan seseorang sebagai patokan!”

3. Santun Bertutur kata
Bagaimanapun juga, mereka yang berbeda pendapat dengan kita adalah seorang muslim. Sudah barang tentu hak-hak dia sebagai seorang muslim harus tetap dipenuhi. Walaupun di sisi lain mereka berbeda pendapat dengan kita. Salah satunya adalah dengan santun dalam bertutur kata dan menjaga suara ketika berbicara. Jangan sampai meninggikan suara.

Apabila berada di atas kebenaran mengapa harus meninggikan suara? Sedangkan apabila berada di atas kebatilan, masih pantaskah meninggikan suara? Kadang, mereka yang meninggikan suara adalah mereka yang berada di pihak yang salah. Dengan begitu, dia ingin menunjukkan dirinyalah yang benar. Sedangkan yang berada di atas kebenaran akan memiliki pembawaan tenang ketika menyampaikan argumennya. Sebab dia yakin dirinyalah yang benar. Walaupun tak selamanya keadaan ini berlaku.

Hal inilah yang kadang terlupakan. Akibatnya, pendengar lebih terkesima dengan mereka kepada yang memiliki pembawaan tenang walaupun pendapat tersebut salah. Padahal, dengan menjaga suara seseorang lebih mampu menguasai suasana diskusi dan emosi. Apa yang disampaikan pun lebih mengena di hati pendengarnya.

4. Tidak Terbawa Emosi
Pada awal diskusi mungkin setiap pihak mampu menjaga emosi. Namun seiring dengan perbedaan yang tak kunjung mencapai titik temu kadang emosi mulai menghampiri. Maka ketika marah diperturutkan hanya akan membawa kepada keburukan.

Oleh karenanya, para salaf mewanti-wanti setiap diskusi dari sifat ini. Ibnu Abbas bertutur: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlu hawa. Sesungguhnya bermajelis dengan mereka hanya akan menyakitkan hati.”

Lagipula, diskusi yang dicampuri dengan emosi tidak akan mendatangkan manfaat. Malah yang ada hanyalah permusuhan dan perpecahan antara kedua belah pihak.

Inilah yang diperingatkan oleh Ibrohim An Nakho’i: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlu hawa, sesungguhnya bermajelis dengan mereka menghilangkan cahaya keimanan, menghilangkan wajah kebaikan, dan mewariskan permusuhan di hati orang-orang mukmin.”

Apabila orang lain tidak sependapat denganmu, maka janganlah marah. Jangan pula kamu paksakan pendapatmu kepada dirinya. Walaupun pendapat itulah yang benar.

Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Umar sekitar seratus permasalahan. Namun tidak ada di antara mereka yang memaksakan pendapat antara satu dan yang lainnya. Tidak pula mereka marah.

5. Menjadi pendengar yang baik
Diskusi bukanlah pembicaraan satu pihak layaknya ceramah. Tetapi, diskusi merupakan pembicaraan dua pihak. Untuk itu setiap pihak haruslah mendengarkan lawan bicaranya. Sebab, pembicara cerdas adalah yang mempu menjadi pendengar yang baik.

Jangan sampai memotong pembicaraan meskipun membuat kurang nyaman telinga pendengar. Baik karena ingin mengintrupsi, membantah, atau karena sebab lainnya. Hal ini dapat membuat pembicara bimbang dan lupa apa yang akan disampaikan. Sebaiknya ia harus memperhatikan dengan seksama apa yang dibicarakan.

Dengan begitu, mereka juga akan mendengarkan dengan seksama apabila kita berbicara. Sebab, menjadi tabiat manusia akan mereka menaruh hormat kepada yang memperhatikan omongannya.

Para ulama banyak menyebutkan adab berdiskusi di antaranya mempersilahkan pihak lain untuk menyampaikan argumennya. Jangan memotong perkataan pihak lain hingga paham maksud perkataan tersebut. Hendaknya dia menunggu pihak yang sedang berbicara hingga menyelesaikan perkataannya. Yang seperti ini lebih mempermudah untuk menerima kebenaran dan kembali dari kesalahan.

6. Cukup di forum
Adakalanya perbedaan tak dapat disatukan. Masing-masing pihak masih sama seperti sedia kala. Maka apabila hal ini terjadi tidaklah mengapa. Namun yang harus dijaga adalah persatuan. Jangan sampai perbedaan tersebut terbawa hingga ke luar forum yang mengakibatkan permusuhan.

Mungkin perkara ini sering diremehkan. Akibatnya banyak yang salah dalam menyikapinya. Bukan saja oleh orang awam. Mereka yang telah bergumul dengan dunia ilmu juga tidak lepas dari “fitnahnya”. Tak pelak, ada di antara mereka yang tidak mau lagi bersilaturahmi. Semua berawal dari tidak adanya titik temu di forum diskusi. Karenanya, cukuplah perseteruan yang terjadi hanya di forum diskusi.

Mengapa kita tidak mencoba untuk memahami alasan saudara muslim lainnya. Tidak dengan turut menyalahkan mereka karena berbeda pendapat dengan kita. Toh, hal yang diperselisihkan hanyalah permasalahan ijtihadiyah yang para ulama masih berselisih tentangnya.

Setiap orang mempunyai seribu alasan untuk berbeda pendapat. Tapi setiap orang sebenarnya juga memiliki sejuta alasan untuk bisa saling mengerti akan perbedaan tersebut. Kita boleh saja tetap berpegang teguh dengan pendapat yang kita yakini kebenarannya. Namun, tidak kemudian menyalahkan orang lain yang berselisih pendapat dengan kita. Lebih-lebih memaksakan pendapat yang kita yakini kebenarannya. Boleh jadi pendapat tersebut cocok untuk kita dan tidak tepat bagi orang lain. Wallahu muwaffiq ila aqwamis sabiil.

Bahan bacaan:
- Fie Ushulil Hiwar, An Nadwah al Alamiah Li Syabab al Islami (WAMI), Cetakan keempat, 1415 H/ 1994 M.
- Fiqhul Ikhtilaf Qodhiyatul Khilaf al Waqi’ baina hamlatisy Syariah, Abu Amru/ Majdi Qosim, Darul Iman, Cetakan pertama 1421 H/ 2000 M.
- Al Khilaf baina al ulama, Muhammad bin Sholih bin Muhammad al Utsaimin, Maktabah syamilah.
- Al khilaf asbabuhu wa adabuhu, Aidh Al Qorni, Maktabah syamilah
- Al Hawa wa Atsaruha fil khilaf, Abdullah Al Ghunaiman, maktabah syamilah
- Adabul hiwar wa qowaidul ikhtilaf, Amru bin Abdullah Kamil, maktabah syamilah
- Adabul Hiwar wa Afaquha fi As Sunnah al Muthohharoh, Dr. Abdus Salam Hamdan Al Lauh, Maktabah Syamilah.


Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc
1. Muqoddimah
Lidah merupakan salah satu nikmat Allah yang sangat besar dan merupakan salah satu simbol kesempurnaan jasad manusia. Tanpanya maka manusia akan dikatakan cacat dan bisa mengurangi kepercayaan diri seseorang untuk tampil di hadapan orang lain. Lidah merupakan salah satu organ yang sangat fital karena seseorang tidak akan mampu untuk mengadakan hubungan komunikasi secara sempurna bila ia tidak berfungsi. Namun, banyak diantara manusia yang kurang bisa menghayati nikmat tersebut dan menganggapnya sebagai suatu organ yang biasa-biasa saja.

Memang terkadang kita akan merasakan betapa besarnya arti sebuah nikmat ketika ia telah sirna dari diri kita. Betapa banyak orang yang telah rabun matanya baru bisa merasakan betapa berharganya nikmat penglihatan tersebut. Begitu pula lisan. Mungkin kita akan bisa merasakan betapa besarnya nikmat mempunyai lidah bila ia telah sirna.

Bagi seorang muslim, pengakuan terhadap nikmat Allah bukanlah atas landasan perasaan belaka. Namun lebih jauh dari itu bahwa kita diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’alantuk mensyukuri segala nikmat yang diberikan kepada kita meski perasaan menganggapnya sebagai sesuatu yang baisa-biasa.

Allah berfiman:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Jika kalian bersyukur maka niscaya akan aku tambahkan (nikmat) tersebut kepada kalian dan apabila kalian kufur maka sesungguhnya adzabku amatlah pedih,” (Ibrahim: 7).

Inilah landasan yang lebih dari sekedar mengikuti perasaan, yaitu ketundukan terhadap perintah Allah. Dari ayat di atas ada dua kondisi yang kontradiktif yaitu pilihan syukur atau kufur dan menghasilkan dua kesudahan yang berbeda pula yaitu penambahan nikmat atau adzab yang pedih.

Kaitannya dengan nikmat lisan, maka sebagai bentuk implementasi rasa syukur kita terhadapnya adalah dengan senantisa menjaganya dari hal-hal yang menyelisihi hakikat kesyukuran tersebut. Di antaranya adalah menjaga dari perbuatan Ghibah. Ghibah merupakan suatu kebisaan yang hampir manusia tidak bisa luput darinya.dan berakibat sangat fatal karena bisa mengahancurkan harga diri seseorang.

Betapa banyak kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khamr, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah.

Padahal Allah dan rasulNya sangatlah membenci dan mengecam perbuatan tersebut di dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Tentunya ini perlu menjadi evaluasi bagi diri kita, karena ternyata Ghibah bukanlah suatu hal yang biasa namun luarbiasa.

2. Definisi
Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang ada pada diri seseorang saat ia tidak hadir di hadapannya dan apabila ia mengetahuinya maka niscaya ia tidak akan menyukainya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّ رَسُوْلَ اللهِr قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Huroiroh bahwsanya Rosulullah bersabda: Tahukah kalian apa ghibah itu? Sahabat menjawab: Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi ditanya: Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya? Nabi menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.[1]

Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah duniawinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia goib (tidak hadir).

Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu itu: “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.

عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ:إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ....فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا

Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata: ”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek,” maka Nabi berkata: ”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [2]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ لِلنَّبِيِّ rحَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَاز قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ: تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.

Dari ‘Aisyah beliau berkata: Aku berkata kepada Nabi: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata: ’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek,” Maka Nabi berkata: ”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya.” [3]

Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia.

Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits:

قَالَتْ: وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ: مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا

‘Aisyah berkata: “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang. Maka Nabi pun berkata: ”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian.” [4]

Bagaimana jika yang dighibahi adalah orang kafir ?
Berkata As-Shon’ani: “Dan perkataan Rosulullah (dalam hadits Abu Huroiroh di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”.

Berkata Ibnul Mundzir: ”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya.”[5]

Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Berkata Syaikh Salim Al-Hilal: ”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang haram, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah:ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11)-pent) yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu).” [6]

3. Hukum ghibah dan mendengarkannya
Hukum Ghibah sangatlah jelas keharamannya karena ia bisa merusak harga diri seorang muslim. Bahkan seseorang yang menggibah diibaratkan dengan orang yang memakan bangkai saudaranya. Disebutkan dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَلاَ يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ

“Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih,” (Al Hujurat 12).

َ عنْ قَيْسٍ قَالَ: مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى ببَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)

Dari Qois berkata: ‘Amru bin Al-‘Ash t melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata:”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim).”[7]

Syaikh Salim Al-Hilaly berkata: “..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah) saudara engkau seagama? Sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [8]

Bahkan dikatakan bahwa dosa menggibah adalah lebih besar dari seseorang menzinahi ibu kandungnya. Padahal berzina dengan ibu kandung adalah tingkatan zina yang paling besar dosanya. Rasulullah bersabda:

فإن أدنى الربا كإتيان الرجل أمه و أربى الربا الإستطالة فى عرض المسلم

“Sesunnguhnya riba yang paling ringan adalah sebagaimana seseorang menzinahi ibunya sendiri dan riba yang paling besar adalah melecehkan harga diri seorang muslim.”

Mendengarkan ghibah juga merupakan perbuatan yang diharamkan. Berkata Imam Nawawi dalam Al-Adzkar: ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang bakal menimpa. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika memungkinkan hal itu. Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat. Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah,” namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).

Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta dia tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis”[9]. Seorang penyair berkata:

وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ

فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ

Dan pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan

Sebagaimana menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.

Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,

Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah

Dan meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ

“Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya,” (Al-Qosos: 55).

وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,” (Al-Mu’minun: 3).

Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam:

عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ tعَنِ النَّبِيِّ r قَالَ: مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ

Dari Abu Darda’ berkata: Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat.[10]

4. Cara Menghindari ghibah
Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir,” (QS Qaaf: 18)

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً

“Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnyapendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban),” (Al-Isro’: 36).

Dan jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga kita bisa berbicara seenak kita tanpa kita timbang-timbang dahulu yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam

وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟

“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka?”

Demikian juga sabda Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam:

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ: الفَمُ و الْفَرَجُ

“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.” [11]

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ r يَقُوْلُ: إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ

Dari Abu Huroiroh bahwasanya beliau mendengar Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Sungguh seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah yang dia tidak menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam neraka jahannam gara-gara kalimat itu,” (HR Bukhari).

Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:

عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ tقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِ r: مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Dari Sahl bin Sa’d t dia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada diantara dagunya (yaitu lisannya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (yaitu kemaluannya) maka aku jamin baginya surga,” (Bukhari dan Muslim)

Berkata Imam Nawawi: “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia,” [12]

Berkata Imam Syafi’i:

اِحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا الإِنْسَـانُ لاَ يَـلْدَغَنَّكَ فَإِنـَّهُ ثُعْـبَانٌ

كَمْ فِيْ الْمَقَايِرِ مِنْ قَتِيْلِ لِسَانِهِ كَانَتْ تَهَابُ لِقَائَهُ الشُّجْعَانُ

Jagalah lisanmu wahai manusia

Janganlah lisanmu sampai menyengat engkau, sesungguhnya dia seperti ular

Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya

Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya

5. Ghibah yang dibolehkan
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar yang syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali dengan ghibah itu.” [13]

Dan hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّطٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ

وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok

Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan

Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa

Dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran

Pertama: Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian-demikian”. Dalilnya firman Allah:

لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مِنْ ظُلِمَ

“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya,” (QS An-Nisa’: 148).

Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang didzholimi untuk mengghibahi orang yang mendzoliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka.[14]

Kedua: Minta, bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran. Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah harom.

Ketiga: Meminta fatwa, misalnya dia berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat dzolim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah dia mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya.

Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَتْ هِنْدُ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ لِلنَّبِيِّ r: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ

Dari ‘Aisyah berkata: Hindun istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam: ”Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja untukku dan unutuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar pengetahuannya”. Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”. [15]

Keempat: Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Hal ini diantaranya:

Apa yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at.[16] Seperti perkataan ahlul hadits:”Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hafits”, dan lain-lainnya.

Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut.

Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ r فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله r: أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ)

Fatimah binti Qois berkata: Saya datang kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata:Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya. Maka Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya,” (Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480): ”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)” [17]

Kelima: Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ

‘Aisyah berkata: Seseorang datang minta idzin kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam, maka Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya.” [18]

Namun diharamkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.[19]

Keenam: Untuk pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’aroj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.

Perhatian
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali:
1. Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah sifat yang menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang ‘illahnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal yaitu haramnya ghibah.

2. Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja –pent). Maka tidak boleh berluas-luas terhadap bentuk-bentuk di atas (yang dibolehkan ghibah). Bahkan hendaknya orang yang terkena darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah –pent) untuk bertaqwa kepada Allah dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui batas. [20]

Maroji’:
Kitab As-Somt, karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
Syarah Riadlus Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
Tafsir Karimir Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
Bahjatun Nadzirin syarah riadlus sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid 3
Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
Al-Muntaqo Al-Mukhtar min kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab tahrimul ghibah
Tuhfatul Ahwadzi
Kitabuz Zuhud, karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
Subulus Salam, karya As-Shon’ani, jilid 4 bab tarhib min masawiil akhlaq.
Taudlihul Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
Hajrul Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid


[1] (Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain)

[2] (Riwayat Abu Dawud no 4875 dan Ahmad (6/189,206), berkata Syaikh Abu Ishaq: “Isnadnya shohih”)

[3] (yaitu merubah rasanya atau baunya karena saking busuk dan kotornya perkataan itu –pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin 3/25, dan hadits ini shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

[4] (maksudnya walaupun saya mendapatkan kedunaiaan yang banyak). (Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

[5] (Subulus salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam 6/328).

[6] (Bahjatun Nadzirin 3/47)

[7] (Riwayat Bukhari dalam Al-adab Al-Mufrod no 736, lihat Kitab As-Somt no 177, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini: "Isnadnya shohih", sedangkan tambahan yang ada dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab Az-Zuhud hal 748)

[8] (Bahjatun Nadzirin 3/6)

[9] (Bahjatun Nadzirin 3/29,30)

[10] (Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Shohih atau hasan”)

[11] (Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Isnadnya hasan”)

[12] (Tuhfatul Ahwadzi hal 63)

[13] (Bahjatun Nadzirin 3/33).

[14] Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang didzolimi mencela orang yang mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut. Adapun mengghibahnya (mencelanya dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini tidak boleh karena bertentangan dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits yang shohih yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin 3/36,37)

[15] (Riwayat Bukhari dalam Al-Fath 9/504,507, dan Muslim no 1714)

[17] Dan ini merupakan tafsir dari riwayat:(ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya)

[18] (Riwayat Bukhari dan Muslim no 2591), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam, kalau benar ini adalah ghibah maka tidak boleh kita mengikutinya sebab Allah dan Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung oleh Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut ternyata hanya Islam secara dzohir sedangkan keadaannya goncang dan masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih lengkap lihat Bahjatun Nadzirin 3/46)

[19] (Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan:Jika yang tujuan menyebutkan aib-aib orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia dari bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya adalah untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah masuk dalam bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian tersendiri adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46)

[20] (Bahjatun Nadzirin 4/35,36)
Diberdayakan oleh Blogger.