Halloween party ideas 2015


Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc
1. Muqoddimah
Lidah merupakan salah satu nikmat Allah yang sangat besar dan merupakan salah satu simbol kesempurnaan jasad manusia. Tanpanya maka manusia akan dikatakan cacat dan bisa mengurangi kepercayaan diri seseorang untuk tampil di hadapan orang lain. Lidah merupakan salah satu organ yang sangat fital karena seseorang tidak akan mampu untuk mengadakan hubungan komunikasi secara sempurna bila ia tidak berfungsi. Namun, banyak diantara manusia yang kurang bisa menghayati nikmat tersebut dan menganggapnya sebagai suatu organ yang biasa-biasa saja.

Memang terkadang kita akan merasakan betapa besarnya arti sebuah nikmat ketika ia telah sirna dari diri kita. Betapa banyak orang yang telah rabun matanya baru bisa merasakan betapa berharganya nikmat penglihatan tersebut. Begitu pula lisan. Mungkin kita akan bisa merasakan betapa besarnya nikmat mempunyai lidah bila ia telah sirna.

Bagi seorang muslim, pengakuan terhadap nikmat Allah bukanlah atas landasan perasaan belaka. Namun lebih jauh dari itu bahwa kita diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’alantuk mensyukuri segala nikmat yang diberikan kepada kita meski perasaan menganggapnya sebagai sesuatu yang baisa-biasa.

Allah berfiman:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Jika kalian bersyukur maka niscaya akan aku tambahkan (nikmat) tersebut kepada kalian dan apabila kalian kufur maka sesungguhnya adzabku amatlah pedih,” (Ibrahim: 7).

Inilah landasan yang lebih dari sekedar mengikuti perasaan, yaitu ketundukan terhadap perintah Allah. Dari ayat di atas ada dua kondisi yang kontradiktif yaitu pilihan syukur atau kufur dan menghasilkan dua kesudahan yang berbeda pula yaitu penambahan nikmat atau adzab yang pedih.

Kaitannya dengan nikmat lisan, maka sebagai bentuk implementasi rasa syukur kita terhadapnya adalah dengan senantisa menjaganya dari hal-hal yang menyelisihi hakikat kesyukuran tersebut. Di antaranya adalah menjaga dari perbuatan Ghibah. Ghibah merupakan suatu kebisaan yang hampir manusia tidak bisa luput darinya.dan berakibat sangat fatal karena bisa mengahancurkan harga diri seseorang.

Betapa banyak kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khamr, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah.

Padahal Allah dan rasulNya sangatlah membenci dan mengecam perbuatan tersebut di dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Tentunya ini perlu menjadi evaluasi bagi diri kita, karena ternyata Ghibah bukanlah suatu hal yang biasa namun luarbiasa.

2. Definisi
Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang ada pada diri seseorang saat ia tidak hadir di hadapannya dan apabila ia mengetahuinya maka niscaya ia tidak akan menyukainya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّ رَسُوْلَ اللهِr قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Huroiroh bahwsanya Rosulullah bersabda: Tahukah kalian apa ghibah itu? Sahabat menjawab: Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi ditanya: Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya? Nabi menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.[1]

Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah duniawinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia goib (tidak hadir).

Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu itu: “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.

عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ:إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ....فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا

Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata: ”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek,” maka Nabi berkata: ”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [2]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ لِلنَّبِيِّ rحَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَاز قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ: تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.

Dari ‘Aisyah beliau berkata: Aku berkata kepada Nabi: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata: ’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek,” Maka Nabi berkata: ”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya.” [3]

Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia.

Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits:

قَالَتْ: وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ: مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا

‘Aisyah berkata: “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang. Maka Nabi pun berkata: ”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian.” [4]

Bagaimana jika yang dighibahi adalah orang kafir ?
Berkata As-Shon’ani: “Dan perkataan Rosulullah (dalam hadits Abu Huroiroh di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”.

Berkata Ibnul Mundzir: ”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya.”[5]

Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Berkata Syaikh Salim Al-Hilal: ”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang haram, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah:ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11)-pent) yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu).” [6]

3. Hukum ghibah dan mendengarkannya
Hukum Ghibah sangatlah jelas keharamannya karena ia bisa merusak harga diri seorang muslim. Bahkan seseorang yang menggibah diibaratkan dengan orang yang memakan bangkai saudaranya. Disebutkan dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَلاَ يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ

“Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih,” (Al Hujurat 12).

َ عنْ قَيْسٍ قَالَ: مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى ببَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)

Dari Qois berkata: ‘Amru bin Al-‘Ash t melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata:”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim).”[7]

Syaikh Salim Al-Hilaly berkata: “..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah) saudara engkau seagama? Sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [8]

Bahkan dikatakan bahwa dosa menggibah adalah lebih besar dari seseorang menzinahi ibu kandungnya. Padahal berzina dengan ibu kandung adalah tingkatan zina yang paling besar dosanya. Rasulullah bersabda:

فإن أدنى الربا كإتيان الرجل أمه و أربى الربا الإستطالة فى عرض المسلم

“Sesunnguhnya riba yang paling ringan adalah sebagaimana seseorang menzinahi ibunya sendiri dan riba yang paling besar adalah melecehkan harga diri seorang muslim.”

Mendengarkan ghibah juga merupakan perbuatan yang diharamkan. Berkata Imam Nawawi dalam Al-Adzkar: ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang bakal menimpa. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika memungkinkan hal itu. Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat. Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah,” namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).

Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta dia tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis”[9]. Seorang penyair berkata:

وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ

فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ

Dan pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan

Sebagaimana menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.

Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,

Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah

Dan meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ

“Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya,” (Al-Qosos: 55).

وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,” (Al-Mu’minun: 3).

Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam:

عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ tعَنِ النَّبِيِّ r قَالَ: مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ

Dari Abu Darda’ berkata: Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat.[10]

4. Cara Menghindari ghibah
Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir,” (QS Qaaf: 18)

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً

“Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnyapendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban),” (Al-Isro’: 36).

Dan jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga kita bisa berbicara seenak kita tanpa kita timbang-timbang dahulu yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam

وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟

“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka?”

Demikian juga sabda Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam:

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ: الفَمُ و الْفَرَجُ

“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.” [11]

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ r يَقُوْلُ: إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ

Dari Abu Huroiroh bahwasanya beliau mendengar Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Sungguh seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah yang dia tidak menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam neraka jahannam gara-gara kalimat itu,” (HR Bukhari).

Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:

عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ tقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِ r: مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Dari Sahl bin Sa’d t dia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada diantara dagunya (yaitu lisannya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (yaitu kemaluannya) maka aku jamin baginya surga,” (Bukhari dan Muslim)

Berkata Imam Nawawi: “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia,” [12]

Berkata Imam Syafi’i:

اِحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا الإِنْسَـانُ لاَ يَـلْدَغَنَّكَ فَإِنـَّهُ ثُعْـبَانٌ

كَمْ فِيْ الْمَقَايِرِ مِنْ قَتِيْلِ لِسَانِهِ كَانَتْ تَهَابُ لِقَائَهُ الشُّجْعَانُ

Jagalah lisanmu wahai manusia

Janganlah lisanmu sampai menyengat engkau, sesungguhnya dia seperti ular

Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya

Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya

5. Ghibah yang dibolehkan
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar yang syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali dengan ghibah itu.” [13]

Dan hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّطٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ

وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok

Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan

Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa

Dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran

Pertama: Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian-demikian”. Dalilnya firman Allah:

لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مِنْ ظُلِمَ

“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya,” (QS An-Nisa’: 148).

Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang didzholimi untuk mengghibahi orang yang mendzoliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka.[14]

Kedua: Minta, bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran. Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah harom.

Ketiga: Meminta fatwa, misalnya dia berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat dzolim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah dia mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya.

Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَتْ هِنْدُ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ لِلنَّبِيِّ r: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ

Dari ‘Aisyah berkata: Hindun istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam: ”Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja untukku dan unutuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar pengetahuannya”. Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”. [15]

Keempat: Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Hal ini diantaranya:

Apa yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at.[16] Seperti perkataan ahlul hadits:”Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hafits”, dan lain-lainnya.

Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut.

Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ r فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله r: أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ)

Fatimah binti Qois berkata: Saya datang kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata:Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya. Maka Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya,” (Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480): ”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)” [17]

Kelima: Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ

‘Aisyah berkata: Seseorang datang minta idzin kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam, maka Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya.” [18]

Namun diharamkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.[19]

Keenam: Untuk pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’aroj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.

Perhatian
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali:
1. Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah sifat yang menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang ‘illahnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal yaitu haramnya ghibah.

2. Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja –pent). Maka tidak boleh berluas-luas terhadap bentuk-bentuk di atas (yang dibolehkan ghibah). Bahkan hendaknya orang yang terkena darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah –pent) untuk bertaqwa kepada Allah dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui batas. [20]

Maroji’:
Kitab As-Somt, karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
Syarah Riadlus Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
Tafsir Karimir Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
Bahjatun Nadzirin syarah riadlus sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid 3
Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
Al-Muntaqo Al-Mukhtar min kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab tahrimul ghibah
Tuhfatul Ahwadzi
Kitabuz Zuhud, karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
Subulus Salam, karya As-Shon’ani, jilid 4 bab tarhib min masawiil akhlaq.
Taudlihul Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
Hajrul Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid


[1] (Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain)

[2] (Riwayat Abu Dawud no 4875 dan Ahmad (6/189,206), berkata Syaikh Abu Ishaq: “Isnadnya shohih”)

[3] (yaitu merubah rasanya atau baunya karena saking busuk dan kotornya perkataan itu –pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin 3/25, dan hadits ini shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

[4] (maksudnya walaupun saya mendapatkan kedunaiaan yang banyak). (Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

[5] (Subulus salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam 6/328).

[6] (Bahjatun Nadzirin 3/47)

[7] (Riwayat Bukhari dalam Al-adab Al-Mufrod no 736, lihat Kitab As-Somt no 177, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini: "Isnadnya shohih", sedangkan tambahan yang ada dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab Az-Zuhud hal 748)

[8] (Bahjatun Nadzirin 3/6)

[9] (Bahjatun Nadzirin 3/29,30)

[10] (Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Shohih atau hasan”)

[11] (Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Isnadnya hasan”)

[12] (Tuhfatul Ahwadzi hal 63)

[13] (Bahjatun Nadzirin 3/33).

[14] Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang didzolimi mencela orang yang mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut. Adapun mengghibahnya (mencelanya dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini tidak boleh karena bertentangan dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits yang shohih yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin 3/36,37)

[15] (Riwayat Bukhari dalam Al-Fath 9/504,507, dan Muslim no 1714)

[17] Dan ini merupakan tafsir dari riwayat:(ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya)

[18] (Riwayat Bukhari dan Muslim no 2591), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam, kalau benar ini adalah ghibah maka tidak boleh kita mengikutinya sebab Allah dan Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung oleh Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut ternyata hanya Islam secara dzohir sedangkan keadaannya goncang dan masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih lengkap lihat Bahjatun Nadzirin 3/46)

[19] (Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan:Jika yang tujuan menyebutkan aib-aib orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia dari bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya adalah untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah masuk dalam bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian tersendiri adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46)

[20] (Bahjatun Nadzirin 4/35,36)
Diberdayakan oleh Blogger.