Halloween party ideas 2015


Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc
“Tidaklah aku berdiskusi dengan orang lain

kecuali aku berharap Allah menampakkan kebenaran melalui lesannya.”

(Imam Syafi’i)

Berbicara tentang perbedaan, tentu tidak ada di antara kita yang dapat lepas darinya. Sebab, perbedaan merupakan keniscayaan yang tak dapat dihindari. Oleh karenanya, perbedaan perlu disikapi secara bijak.

Acapkali salah dalam menyikapi perbedaan hanya menghasilkan perselisihan dan permusuhan. Perbedaan tidak lagi mendatangkan rahmat, namun berubah menjadi laknat. Lantas bagaimana kita menyikapi perbedaan yang ada?

Dalam menyikapi hal ini, kita dapat mencoba untuk mempertemukan dua belah pihak dalam rangka melakukan tabayyun (klarifikasi), saling menasehati, atau diskusi. Usaha tersebut dapat berupa pertemuan intens antara kedua belah pihak atau diskusi terbuka yang dihadiri oleh semua orang. Tujuannya adalah untuk mencari titik temu.

Forum ini kirannya akan banyak mendatangkan manfaat sebagaimana yang dikatakan oleh Al Barbahari: “Mengadakan majelis untuk saling menasehati akan membuka pintu kebaikan. Adapun bermajelis untuk berdebat hanya akan menutup pintu kebaikan.”

Tentunya dalam pertemuan ini ada beberapa adab yang perlu dijaga oleh kedua belah pihak. Agar nantinya tujuan awal untuk mendapatkan titik temu dapat dicapai. Kalaupun tidak tercapai, pertemuan tersebut tidak meninggalkan bekas luka akibat perbedaan. Di antara adab tersebut adalah:

1. Ikhlas
Dalam semua perkara yang dilakukan seorang muslim, niatan ikhlas haruslah terwujud. Tak terkecuali ketika berdiskusi. Karenanya, sedari awal tujuan diskusi terbuka hendaknya selalu ditujukan semata ikhlas karena Allah dan untuk menemukan jalan yang paling benar. Bukan untuk menunjukkan yang kalah ataupun yang menang. Atau untuk unjuk kecerdasan dan wawasan yang dimiliki. Terlebih, hanya ingin mengundang decak kagum serta pujian para pendengar. Na’udzubillah min dzalik.

Pun, ketika diskusi berlangsung, jangan sampai keikhlasan ternodai karena enggan untuk mengakui kebenaran yang berasal dari lawan bicara. Tak jarang hal ini terjadi disebabkan rasa malu karena tengah berada di hadapan publik. Di sinilah keikhlasan akan diuji.

Alangkah indah perkataan Imam Syafi’i: “Aku tidak pernah khawatir dari manakah kebenaran tersebut ada. Apakah dari diriku ataukah dari lawan bicaraku.” Ucapan tersebut bukan saja sebagai pemanis bibir. Tetapi betul-betul berasal dari kesucian hati yang menjadi identitas diri.

2. Adil dan Obyektif
Selanjutnya, diskusi haruslah disandarkan pada ilmu. Tentunya sebelum diskusi berlangsung, masing-masing pihak mempersiapkan materi yang akan didiskusikan. Jangan berdiskusi dalam perkara yang tidak dikuasai dengan baik.

Jangan pula hanya berdasar pada akal belaka. Sehingga diskusi yang berlangsung hanya sekadar debat kusir yang tak ada kunjung akhirnya.

Obyektif juga berarti tidak ta’assub (fanatik) terhadap pendapat tertentu yang jelas-jelas salah. Kadang fanatik dapat membutakan mata hati seseorang yang menyebabkan dirinya kehilangan obyektifitas dalam menilai sesuatu. Oleh sebab itu Ibnu Taimiyah mengingatkan: “Diskusi tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai dengan sikap adil.

Pada prinsipnya, kebenaran tidaklah terpatok kepada seseorang. Tetapi yang menjadi tolok ukur adalah kebenaran itu sendiri. Sehingga kita dapat menilai dengan obyektif siapa yang berada di atas kebenaran dan siapa yang berada di atas kebatilan. Ali bin Abi Thalib pernah bertutur:

اعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ , وَ لاَ تَعْرِفِ اْلحَقَّ بِالرِّجَالِ

“Ketahuilah kebenaran, niscaya kamu akan mengetahui siapa yang berada di atasnya. Karena kamu tidak akan mengetahui kebenaran dengan menjadikan seseorang sebagai patokan!”

3. Santun Bertutur kata
Bagaimanapun juga, mereka yang berbeda pendapat dengan kita adalah seorang muslim. Sudah barang tentu hak-hak dia sebagai seorang muslim harus tetap dipenuhi. Walaupun di sisi lain mereka berbeda pendapat dengan kita. Salah satunya adalah dengan santun dalam bertutur kata dan menjaga suara ketika berbicara. Jangan sampai meninggikan suara.

Apabila berada di atas kebenaran mengapa harus meninggikan suara? Sedangkan apabila berada di atas kebatilan, masih pantaskah meninggikan suara? Kadang, mereka yang meninggikan suara adalah mereka yang berada di pihak yang salah. Dengan begitu, dia ingin menunjukkan dirinyalah yang benar. Sedangkan yang berada di atas kebenaran akan memiliki pembawaan tenang ketika menyampaikan argumennya. Sebab dia yakin dirinyalah yang benar. Walaupun tak selamanya keadaan ini berlaku.

Hal inilah yang kadang terlupakan. Akibatnya, pendengar lebih terkesima dengan mereka kepada yang memiliki pembawaan tenang walaupun pendapat tersebut salah. Padahal, dengan menjaga suara seseorang lebih mampu menguasai suasana diskusi dan emosi. Apa yang disampaikan pun lebih mengena di hati pendengarnya.

4. Tidak Terbawa Emosi
Pada awal diskusi mungkin setiap pihak mampu menjaga emosi. Namun seiring dengan perbedaan yang tak kunjung mencapai titik temu kadang emosi mulai menghampiri. Maka ketika marah diperturutkan hanya akan membawa kepada keburukan.

Oleh karenanya, para salaf mewanti-wanti setiap diskusi dari sifat ini. Ibnu Abbas bertutur: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlu hawa. Sesungguhnya bermajelis dengan mereka hanya akan menyakitkan hati.”

Lagipula, diskusi yang dicampuri dengan emosi tidak akan mendatangkan manfaat. Malah yang ada hanyalah permusuhan dan perpecahan antara kedua belah pihak.

Inilah yang diperingatkan oleh Ibrohim An Nakho’i: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlu hawa, sesungguhnya bermajelis dengan mereka menghilangkan cahaya keimanan, menghilangkan wajah kebaikan, dan mewariskan permusuhan di hati orang-orang mukmin.”

Apabila orang lain tidak sependapat denganmu, maka janganlah marah. Jangan pula kamu paksakan pendapatmu kepada dirinya. Walaupun pendapat itulah yang benar.

Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Umar sekitar seratus permasalahan. Namun tidak ada di antara mereka yang memaksakan pendapat antara satu dan yang lainnya. Tidak pula mereka marah.

5. Menjadi pendengar yang baik
Diskusi bukanlah pembicaraan satu pihak layaknya ceramah. Tetapi, diskusi merupakan pembicaraan dua pihak. Untuk itu setiap pihak haruslah mendengarkan lawan bicaranya. Sebab, pembicara cerdas adalah yang mempu menjadi pendengar yang baik.

Jangan sampai memotong pembicaraan meskipun membuat kurang nyaman telinga pendengar. Baik karena ingin mengintrupsi, membantah, atau karena sebab lainnya. Hal ini dapat membuat pembicara bimbang dan lupa apa yang akan disampaikan. Sebaiknya ia harus memperhatikan dengan seksama apa yang dibicarakan.

Dengan begitu, mereka juga akan mendengarkan dengan seksama apabila kita berbicara. Sebab, menjadi tabiat manusia akan mereka menaruh hormat kepada yang memperhatikan omongannya.

Para ulama banyak menyebutkan adab berdiskusi di antaranya mempersilahkan pihak lain untuk menyampaikan argumennya. Jangan memotong perkataan pihak lain hingga paham maksud perkataan tersebut. Hendaknya dia menunggu pihak yang sedang berbicara hingga menyelesaikan perkataannya. Yang seperti ini lebih mempermudah untuk menerima kebenaran dan kembali dari kesalahan.

6. Cukup di forum
Adakalanya perbedaan tak dapat disatukan. Masing-masing pihak masih sama seperti sedia kala. Maka apabila hal ini terjadi tidaklah mengapa. Namun yang harus dijaga adalah persatuan. Jangan sampai perbedaan tersebut terbawa hingga ke luar forum yang mengakibatkan permusuhan.

Mungkin perkara ini sering diremehkan. Akibatnya banyak yang salah dalam menyikapinya. Bukan saja oleh orang awam. Mereka yang telah bergumul dengan dunia ilmu juga tidak lepas dari “fitnahnya”. Tak pelak, ada di antara mereka yang tidak mau lagi bersilaturahmi. Semua berawal dari tidak adanya titik temu di forum diskusi. Karenanya, cukuplah perseteruan yang terjadi hanya di forum diskusi.

Mengapa kita tidak mencoba untuk memahami alasan saudara muslim lainnya. Tidak dengan turut menyalahkan mereka karena berbeda pendapat dengan kita. Toh, hal yang diperselisihkan hanyalah permasalahan ijtihadiyah yang para ulama masih berselisih tentangnya.

Setiap orang mempunyai seribu alasan untuk berbeda pendapat. Tapi setiap orang sebenarnya juga memiliki sejuta alasan untuk bisa saling mengerti akan perbedaan tersebut. Kita boleh saja tetap berpegang teguh dengan pendapat yang kita yakini kebenarannya. Namun, tidak kemudian menyalahkan orang lain yang berselisih pendapat dengan kita. Lebih-lebih memaksakan pendapat yang kita yakini kebenarannya. Boleh jadi pendapat tersebut cocok untuk kita dan tidak tepat bagi orang lain. Wallahu muwaffiq ila aqwamis sabiil.

Bahan bacaan:
- Fie Ushulil Hiwar, An Nadwah al Alamiah Li Syabab al Islami (WAMI), Cetakan keempat, 1415 H/ 1994 M.
- Fiqhul Ikhtilaf Qodhiyatul Khilaf al Waqi’ baina hamlatisy Syariah, Abu Amru/ Majdi Qosim, Darul Iman, Cetakan pertama 1421 H/ 2000 M.
- Al Khilaf baina al ulama, Muhammad bin Sholih bin Muhammad al Utsaimin, Maktabah syamilah.
- Al khilaf asbabuhu wa adabuhu, Aidh Al Qorni, Maktabah syamilah
- Al Hawa wa Atsaruha fil khilaf, Abdullah Al Ghunaiman, maktabah syamilah
- Adabul hiwar wa qowaidul ikhtilaf, Amru bin Abdullah Kamil, maktabah syamilah
- Adabul Hiwar wa Afaquha fi As Sunnah al Muthohharoh, Dr. Abdus Salam Hamdan Al Lauh, Maktabah Syamilah.
Diberdayakan oleh Blogger.